Aku memanggilnya “Papi”. Jangan punya pikiran dia adalah ayahku. Bukan. Almarhum ayahku saja tidak aku panggil begitu. Nanti aku ceritakan awalnya mengapa aku memanggilnya “Papi”. Tapi di tempat kami bekerja sehari-hari aku memanggilnya “Bapak”, seperti juga aku memanggil orang-orang lainnya di lapangan golf. Tentu harus super hati-hati memanggilnya saat di area golf. Jangan sampai keceplos memanggil “Papi” saat bersama golfer lainnya. Memang, aku tahu teman-temanku juga banyak yang punya “papi”, ada juga yang memanggil “Papa”. Sari, Noni, Mona, dan Merly juga punya “papi” atau “papa”. Mereka mungkin tidak sadar saat bicara di telepon, memang agak menjauh, tapi aku dengar sapaan itu diucapkan beberapa kali dengan nada mesra. Aku tidak tahu pasti siapa orangnya yang dipanggil “papi” atau “papa”, namun feeling-ku mengarah ke sosok yang juga aku kenal. Tidak jauh-jauh dari lapangan golf, lah. Asal tahu saja, ketentuan di tempat kami bekerja tidak disarankan kami memanggil “Om”, namun disarankan “Bapak” agar lebih bernada hormat. Kecuali kalau golfernya masih muda atau remaja kami boleh memanggil “Mas”.
Pesawat mendarat di El Tari Airport pukul 15.20 waktu setempat. Perjalanan dari Jakarta memakan waktu lebih dari tiga jam. Sebelumnya pilot memberitahukan dari kokpit, burung besi itu harus berputar-putar dulu beberapa saat lantaran cuaca buruk ketika akan mendarat. Goncangannya sangat terasa ketika menembus awan. Pandangan di kaca jendela mengabur. Rasa kecut menghampiri hati. Tapi untunglah pesawat akhirnya landing di landasan yang basah. Deretan gunung-gunung tampak menghablur di kejauhan sana. Sesuai pesan Papi, dari bandara aku langsung naik taksi ke Sotis Hotel di wilayah Pantai Pasir Panjang. Butuh waktu sekitar dua puluh menit. Jalanan agak berkelok naik turun mengikuti kontur tanah di Pulau Timor. Aku lihat di aplikasi rute yang dilalui adalah Jalan Adi Sucipto, Jalan Piet A. Tallo, Jalan Samratulangi, Jalan R.A. Kartini, dan terakhir masuk ke Jalan Timor Raya.
Jalanan membasah. Aku mengajak bicara sang sopir untuk mengisi kebekuan. Lelaki itu menyatakan suka karena hujan habis turun. Pada hari-hari biasa, katanya, cuaca di kota Kupang sangat panas. Nusa Tenggara Timur dikatakannya jarang turun hujan. Pada tengah hari, cuaca bisa mencapai sekitar 35 derajat, bahkan lebih. Padi hanya bisa ditanam dengan sistem tadah hujan, sehingga tanaman andalannya adalah jagung. Tadi aku melihat di halaman depan bandara banyak pohon siwalan, jenis pohon yang banyak tumbuh di tanah keras berbatu. Selebihnya adalah pohon-pohon yang sengaja ditanam untuk penghijauan seperti trembesi, akasia, waru, dan glodok yang tampak tumbuh meruncing. Pusat kota terletak di tempat yang lebih tinggi.
Sementara itu Papi akan menyusul terbang dari Surabaya, memerlukan waktu sekitar dua jam. Papi, katanya, masih menyelesaikan urusan bisnis di kota pahlawan itu. Dia akan tiba sekitar pukul 16.40 setelah kedatanganku. Ini adalah janjian pertama kami untuk bertemu di tempat yang jauh, di luar pulau dengan jarak sekitar 2.663 km. Sebelumnya, kami biasa bertemu di sekitar lapangan golf. Itu pun bersama para golfer lainnya. Beberapa kali aku memang pernah diajak makan ramai-ramai bersama kelompoknya di restoran. Makan berdua juga beberapa kali dan tidak sampai melintasi batas provinsi. Tapi kali ini aku paham, Papi memang ingin menjaga privasi. Dia memilih bertemu di tempat yang jauh dari kesehariannya. Bagi kami kota Kupang saat ini tak ubahnya sebuah tee box, yakni area yang menandakan sebuah permainan golf dimulai oleh para golfer.
Taksi melambat dan merapat ke sebelah kiri. Tampak tulisan Sotis Hotel dari logam berwarna merah, ditata di atas pagar yang rendah dengan latar belakang taman. Taksi naik ke jalan melingkar di depan lobi, berhenti tepat di depan pintu. Aku segera turun. Seorang petugas pakai setelan hitam memberi salam sambil membukakan pintu. Tak lupa lelaki itu menawarkan jasa untuk membawakan koper. Tapi aku lebih suka menariknya sendiri karena berukuran kecil. Dia mengarahkan aku ke meja resepsionis yang menghadap ke depan. Ada satu laki-laki dan dua perempuan yang bertugas. Kode booking dari travel agent di email aku tunjukkan. Dia melihat ke layar komputer beberapa saat.
“Ibu Aryanti?” tanya resepsionis.
Aku tak menjawab pertanyaan perempuan berbaju merah itu. Kamar hotel memang sudah ter-booking atas namaku. Kusodorkan kartu identitas. Biar dia tahu bahwa aku belum sepatutnya disapa “ibu”. Mungkin maksudnya sapaan kehormatan, tapi ini bukan acara dinas dan terlalu formal bagiku. Mestinya dia tahu tipe wajah bagaimana yang pantas disapa “ibu”. Tidakkah dia tahu bagaimana cara menyapa wanita yang lebih menyenangkan.
“Ini kuncinya,” tangan resepsionis menyodor padaku. Kali ini tanpa embel-embel “ibu”, tapi terasa kalimatnya masih menggantung di ujung senyum. Beberapa saat baru aku bisa mengerti. Resepsionis menyapa “ibu” lantaran kamar yang aku pesan ukuran dipannya untuk dua orang. Tahu begitu mestinya aku tadi tak perlu memberikan kartu identitas. Tapi apa boleh kosongan begitu.
Kunci kamar berbentuk kartu dalam amplop kecil kuterima. Aku sempatkan melihat sekeliling. Ini hotel bintang empat. Lantai mengkilat warna putih keruh. Meja dan sepasang kursi merah berukuran besar terletak di sisi kanan. Empat lukisan besar terpacak di dinding kiri dan kanan. Melihat warna dan tipe goresannya adalah karya pelukis yang sama. Pintu lift terdapat di ruang belakang, sebelah kiri resepsionis. Sengaja aku berjalan menarik koper sendiri untuk naik ke lantai tiga. Kusempatkan melihat lukisan dengan objek perempuan berlutut memeluk macan putih, nama pelukisnya tertera di kanvas pojok kiri atas: Mas Dibyo.
Aku melihat ke layar telepon seluler. Nomor Papi tidak aktif. Mungkin telepon sengaja dimatikan karena sedang dalam penerbangan. Foto selfie-ku di depan tulisan “El Tari Airport” yang kukirimkan tadi tampaknya belum dibuka juga. Kubaca lagi pesan terakhir Papi empat jam yang lalu, “Nanti langsung masuk kamar aja.” Di bawahnya terdapat balasanku, “Ya, Papi ….”
Rencana ke Pulau Timor ini terbilang agak mendadak. Seminggu lalu Papi menawari, tepatnya mengajak aku. Syukurlah Sari, teman di tempat kerja, mau tukar hari denganku. Paling tidak, ada waktu tiga hari dengan Papi. Kebetulan hari Senin hingga Rabu kelompok golfer banyak yang tidak bermain. Jika ada, biasanya adalah kelompok pemula, bahkan pegolf tunggal. Nanti pada hari Jumat hingga Minggu lapangan golf ramai kembali, putarannya susul-menyusul. Bahkan untuk Sabtu dan Minggu waktunya sangat ketat dari pagi hingga sore. Satu kelompok pemain, yang terdiri atas 4 orang, tidak lagi bermain normal dengan 18 hole dalam satu putaran, tapi dikurangi hole-nya, kadang malah cuma 9 hole. Dalam satu putaran normal memerlukan waktu sekitar 4 jam. Jika hole dikurangi tentu lebih banyak kelompok yang bisa kebagian waktu. Untunglah aku pergi pada hari ini.
Semenjak awal tampaknya Papi memang lebih suka kalau aku bagian dari caddy-nya. Mungkin karena pertama kali masuk ke lapangan golf, akulah yang menemani. Cara-cara, ketentuan-ketentuan, dan istilah-istilah dalam permainan juga aku yang memperkenalkan. Tentu saja, sebagai pendatang awal yang baru belajar, Papi adalah pegolf tunggal. Cukuplah aku yang menemani karena belum saatnya berselancar di lapangan. Aku ingat betul, Papi suka sekali OCOP, istilah yang berarti “One Chip One Put”, yaitu menguji keterampilan golfer untuk memasukkan bola ke lubang dalam dua kali pukulan, biasa dilakukan di sekitar green. Kata Papi, ini seperti bermain kelereng saat anak-anak dulu. Tapi ingat, saat itu aku memanggilnya “Bapak”, apa lagi di tempat umum.
“Wah, Bapak DLL terus,” kataku saat bola tak berhasil masuk hole.
“Apa itu?” Papi menoleh ke arahku dan tersenyum.
“Dekat Lubang Loyo.”
“Ha …?”
“Ya, itu istilah, artinya pukulan yang tidak mampu memasukkan bola ke lubang.”
“Ada-ada saja,” kata Papi. Dan dia kembali berlatih memasukkan bola. Makin lama makin baik. Makin mendekati lubang guliran bolanya.
“Kalau ini LSM, Bapak.”
“Apa maksudnya?”
“Loyo Sebelum Masuk,” kujelaskan lagi. Leher Papi memutar ke arahku dengan cepat. “Hanya kurang beberapa guliran aja bola sudah masuk,” jawabku seraya melihat Papi yang tersenyum.
Pakai topi, kacamata agak gelap, berkaos putih lengan panjang, celana biru tua, kumisnya tipis, dan suka senyum. Itulah penampilan awal Papi yang kukesankan. Papi orangnya cenderung kalem saat di lapangan. Aku sarankan agar tidak menjadi golfer yang lambat. Sebab nanti dalam permainan sesungguhnya, kelompok yang bermain itu ditunggu oleh kelompok lainnya secara susul-menyusul. Waktu harus dipergunakan dengan baik. Memang karakter tidak mungkin berubah keseluruhan. Setelah benar-benar bermain, pukulan Papi juga sering kurang maksimal. Para golfer menyebutnya PSK, yaitu Pukulan Sayang Kedi, artinya bola yang dipukul jatuh pada area yang mudah dijangkau oleh caddy. Jadi tidak perlu berjalan jauh saat caddy mengambil bola.
Yang ini tentu juga diharapkan banyak caddy. Dan ternyata akulah yang beruntung. Bagiku, Papi orangnya baik dan pemurah. Mungkin bisnisnya lancar. Semoga lancar untuk seterusnya. Papi hampir selalu memberiku tip seusai bermain. Sepertinya teman-teman yang lain juga pernah diberi, terutama Sari yang beberapa kali memamer-mamerkan tip pemberian Papi. Jika minggu ini Papi tidak memberi, hampir pasti dia bilang “Minggu depan aja ya …” Janjinya jarang sekali meleset. Uang tip dari Papi lumayan besar. Aku merasa nggak enak kalau berterus terang tentang jumlah pada teman-teman. Khawatir mereka iri dan saling berebut mendekati Papi, terutama Sari. Jangan sampai ada yang menjadi semacam water hazard bagiku, yaitu rintangan air dalam permainan golf. Biarlah Sari pamer-pamer jumlah tip yang diterima. Tapi aku lebih suka diam. Kalau ditanya, aku katakan dengan jumlah yang lebih kecil. Sekalian menjaga perasaan mereka. Papi juga sering memberiku sesuatu yang katanya oleh-oleh dari bepergian.
Beberapa waktu lalu Papi mengatakan bahwa bisnis di negeri ini makin tidak bersih. Dulu saat reformasi, katanya, akan memberantas segala macam korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi semua itu omong kosong. Pascareformasi situasi tambah buruk. Jika dulu korupsi mungkin hanya menggumpal di pusat-pusat kekuasaan, sekarang korupsi merambah ke mana-mana. Kata Papi, mulai dari pemerintah, parlemen, hingga lembaga peradilan dipenuhi tikus. Lelang pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah juga penuh mafia, semua sudah diatur. Pihak penyedia yang merupakan badan usaha adalah titipan para pejabat dengan konsekuensi pemberian fee atau upeti. Hampir semua bermuara ke partai yang berkuasa. Bahkan, kata Papi, kalau ada para pejabat pemerintah bermain golf dan tetek bengeknya, pastilah para pengusaha yang membayari. Setiap ajakan pejabat kepada para pengusaha, pasti konsekuensinya ditanggung pengusaha. Para pengusaha tidak mampu menolak karena penguasa adalah pihak yang memiliki proyek.
“Benar kata Mancur Olson,” kata Papi. “Ngerti kamu?”
“Belum,” aku menggeleng, “apa itu?”
“Zaman kuno dulu ada bandit berkeliaran, lalu berubah jadi bandit menetap, kembali jadi bandit berkeliaran, berubah lagi jadi bandit menetap, dan seterusnya.”
“Kok gonta-ganti begitu, Pi?”
“Ya, begitu. Sejarah selalu berulang,” jawab Papi sembari manggut-manggut.
Dulu waktu kecil istilah bandit aku pakai untuk menyebut musuh dari lakon, khususnya film koboi yang banyak tembak-tembakannya. Bandit adalah gerombolan orang-orang jahat.
“Bandit berkeliaran dulu merampok dan merampas harta penduduk secara berpindah-pindah sesuai perintah panglima perangnya. Mereka adalah komplotan para bajingan yang tidak segan-segan membakar pemukiman.”
Papi berhenti beberapa saat. Kutatap wajahnya dari samping. Dia tahu kalau aku menyimak dan ingin dengar penjelasannya.
“Setelah terbentuk negara, muncullah bandit menetap, yaitu penguasa yang korup tapi kuat, mengendalikan semuanya secara terpusat. Penguasa-penguasa kecil sengaja diberi kesempatan untuk korupsi asalkan tetap setia.”
“Biar sama-sama dapat bagian?”
“Ya. Maling besar selalu punya anak buah maling-maling kecil. Tapi ingat, rakyat tak bisa diam terus-terusan. Penguasa ini akhirnya jatuh karena didemo dan dilawan oleh rakyatnya. Para anggota bandit menetap tadi berkeliaran lagi mencari kendaraan politik agar bisa berkuasa. Mereka menjarah lagi ke mana-mana dengan mengatasnamakan rakyat dan demokrasi. Mereka membentuk jaringan bersama partai politik. Ini situasi yang kacau. Nah, setelah jaringan kekuasaannya kuat, mereka kembali menjadi bandit menetap, yaitu penguasa yang korup tapi jaringannya kuat.”
“Orang-orangnya sama?” aku menimpali.
“Namanya jaringan. Terus bertambah. Bandit menetap pada pemerintah modern akan mengeruk dan menjual kekayaan alam secara membabi buta, mempermainkan pajak dan sumber-sumber keuangan negara secara manipulatif demi kepentingan kelompoknya. Bandit menetap bernaung pada partai penguasa. Semua anggota kelompoknya, meski korup, dilindungi. Para penegak hukum dipilih dan ditekan agar tetap menjadi piaraan yang penurut. Karena namanya bandit, mereka juga sangat tega untuk menangkap dan memenjarakan siapa saja yang kritis. Hukum ada, tapi dipermainkan sesuka hati seperti tukang sulap yang bodoh.”
Aku mendengarkan kata-kata Papi. Katanya, dia tahu persis permainan orang-orang di pemerintahan bersama pejabat BUMN. Termasuk besaran nilai yang dipermainkan dalam pengadaan barang dan jasa. Papi bisa menunjuk nama orang-orang itu. Papi pernah bilang akan membuka semuanya karena benar-benar dirugikan dan risiko di tangan Papi. Papi diancam sehingga membiarkan saja meski risikonya besar. Mereka juga menganggap Papi seperti water hazard, air perintang yang membahayakan. Hampir semua BUMN punya utang yang sangat besar dan bahkan merugi, kata Papi, karena dijadikan sapi perah penguasa dan kroni-kroninya. Rakyat juga yang ikut menanggung beban utang itu.
“Emangnya Papi diancam apa oleh mereka?”
“Tidak langsung dari orangnya, tapi ada teman-teman memberi tahu agar saya hati-hati. Tentulah ada teman yang dapat titipan omongan agar bilang ke saya. Beberapa pesan gelap juga masuk. Tapi secara diam-diam saya infokan pada teman-teman di lembaga pemberantasan korupsi. Semoga mereka menindaklanjuti dan dikuntit terus.”
“Papi yakin lembaga pemberantasan korupsi akan bertindak?”
“Kalau masih baru dibentuk biasanya kerjanya bagus. Tapi lama-lama nanti pasti akan dilemahkan oleh pemerintah sendiri dan anggota dewan. Mungkin malah dibubarkan.”
“Kok bisa begitu, Pi?”
“Karena mereka yang korupsi. Mana mungkin gerombolan tikus memelihara kucing?”
Papi memang kerap bicara hal demikian, tapi dia wanti-wanti “jangan bilang siapa-siapa”. Ini masalah permainan orang-orang besar. Perkara demikian sudah lama diketahui para pengusaha. Kata Papi, itu termasuk hal yang “ngeri-ngeri sedap”.
“Ada seorang menteri yang sangat pemberani,” kata Papi.
“Siapa, Pi?”
“Tidak perlu saya sebut namanya. Dia berani menolak permintaan anggota parlemen untuk menyetorkan dana. Untuk tunjangan hari raya, tahun baru, biaya perjalanan, dan macam-macam alasan. Pastilah yang di parlemen itu ada main dengan yang di pemerintahan juga. Biasanya, menteri yang menolak memberi itu akan dicari-cari kesalahannya saat tidak menjabat lagi. Jaringan bandit ada di mana-mana.”
Tampaknya Papi tahu banyak soal permainan para pejabat. Memang, sebagai caddy, aku tahu, mereka yang bermain golf adalah para pejabat dan para pengusaha. Mereka bermain sebagai sarana lobi dan membentuk jaringan. Sekaya apa pun pengusaha, dia tetap nunduk-nunduk dan melayani para pejabat yang bisa mengambil keputusan. Banyak pejabat kaya raya, mungkin bukan dari gajinya, tapi dari keputusan dan tanda tangannya.
“Saya ingin mencoba membuka usaha bidang lain di daerah-daerah, terutama di wilayah timur,” kata Papi. “Biar tidak menggantungkan di pusat yang makin parah.”
“Usaha kayak yang di Jakarta?” aku ingin tahu.
“Mencoba di sektor perikanan. Mungkin juga restoran agar bisa saling mengisi. Sektor wisata di wilayah Banyuwangi, Bali, Lombok, Labuhan Bajo hingga ke timur makin berkembang. Restoran tampaknya pas. Ada teman dari Surabaya yang sudah memulai juga. Dia mengajak kerja sama.”
Sekarang aku ceritakan awal mula aku memanggil “Papi”, yang dari awal sudah aku pakai panggilan itu. Sepertinya Papi sengaja memilih hari Senin untuk mengajakku. Dia tahu kalau awal pekan aku lebih longgar. Suatu hari tiba-tiba Papi menelepon. Dia minta ditemani makan siang. Aku dijemput di tempat yang aman. Dan kami pun ketemu. Papi mengajakku jalan menjauh dari keramaian. Sepertinya arah luar kota. Mobilnya warna putih susu. Aku duduk di sebelah kirinya. Tentu hanya berdua. Udara dalam mobil terasa mengalir dingin dan wangi, tak terasa saat ada goncangan, joknya empuk, deru mesinnya halus, bahkan nyaris tak terdengar.
“Yanti kalo Senin gini acaranya apa?” Papi menoleh ke arahku.
“Cuma tiduran di kos aja, Bapak.”
“Nggak jalan-jalan?”
“Ya, kadang-kadang gitu.”
“Sama siapa?” pertanyaannya mengejar.
“Sama teman aja, Bapak.”
“Eee … teman yang mana?”
“Ya teman-teman di tempat kerja itu, Bapak.”
“Ooo ….”
Beberapa saat Papi terdiam. Laju mobilnya terasa agak lambat dari tadi. Terdengar bunyi klakson memanjang, mirip bunyi klakson pengawalan, disusul suara deru yang besar, terpatah-patah dan keras. Belum sempurna Papi menepi, rombongan Harley Davidson mengerombol dari sebelah kanan. Tiga buah motor gede itu melaju kencang. Tepat di depan sana ada perempatan dan traffic light-nya sedang menyala merah. Semua orang tahu bahwa pengendara harus berhenti. Tapi apa yang terjadi? Tiga Harley Davidson itu menerobos lampu merah. Sebuah motor yang melaju dari arah samping tampak pengendaranya gugup, stirnya terbanting ke arah kiri dan menabrak rombong. Kendaraan-kendaraan lain tampak panik karena lajunya terpotong.
“Kurang ajar!” kata Papi sambil mengerem. “Motornya mahal tapi para pengendaranya murahan mentalnya. Kayak orang tidak berpendidikan.”
“Mentang-mentang. Kasihan yang jadi korban,” aku menimpali.
Tampak beberapa orang menolong pengendara yang menabrak rombong. Tiga Harley Davidson melaju terus dan meninggalkan derita orang lain. Papi kembali menjalankan mobilnya saat lampu berganti hijau. Kami berdiam beberapa saat. Sepertinya Papi ikut kesal dengan tiga pengendara tadi. Aku lihat jemari telunjuk Papi mengetuk-ngetuk porseneleng. Katanya makan siang, tapi Papi belum memberi tahu di mana tempatnya.
“Dari mana pembicaraan kita tadi?” Papi kembali bertanya. Entah lupa beneran atau sekadar mau menyambung omongan.
“Soal jalan-jalan dengan teman, Bapak.”
“Eee … kok tidak jalan-jalan sama pacar?”
Hmmm … aku terdiam. Papi juga terdiam. Tampaknya dia menunggu jawabanku. Beberapa saat kami tak bicara apa-apa. Kupegang aksesori yang menggantung di spion tengah. Tak lagi bergoyang-goyang kayak tadi. Kupu-kupu sutra kuning yang halus dan lembut.
“Maaf ya …,” Papi menoleh ke arahku.
“Wong belum punya pacar,” aku menjawab pelan.
Kulihat dari lirikan samping Papi tersenyum. Mobil melambat karena mendekati perempatan lagi. Papi melihat ke arah kiri-kanan. Agak tiba-tiba Papi membelokkan ke arah kiri.
“Kita makan siang di mana, Bapak?”
“Sebentar di depan sana. Eee … kalau lagi gini jangan manggil bapak.”
“Kenapa, Bapak?”
“Lo bapak lagi? Kayak di tempat resmi aja. Ini kan bukan tempat umum. Panggil dengan yang lebih familiar.”
“Tuan?”
“Nggak, lah, yang lebih akrab gitu. Kayak-kayak kamu itu anakku.”
“Papa gitu ta?”
“Ya, sejenis itulah.”
“Ooo … Papi?”
“Bolehlah.”
“Baiklah, Bapak.”
“Lho, lagi?”
“Iya, Papi ….” Sengaja aku buat nada agak manja.
“Ya, kalau ada teman-teman tetap pakai ‘bapak’ saja.”
“Papi ….”
Papi tersenyum lagi. Dia menoleh ke arahku. Laju mobil terasa lebih lamban. Tapi sepertinya jalan yang terlewati sudah jauh. Jari-jari Papi mengarah ke tombol digital pada dasbor di bawah layar. Warna pelangi pelan-pelan hadir di layar. Papi memilih-milih pada daftar yang tertata ke bawah. Sesaat kemudian suara musik mengalun. Terasa asing aku dengar intronya. Iramanya agak berbahu country. Sepertinya album nostalgia. Saat vokal mulai masuk, terdengarlah lantunan lirik:
Aryati… dikau mawar asuhan rembulan
Aryati … dikau gemilang seni pujaan
Dosakah hamba mimpi berkasih dengan Tuan
Ujung jarimu kucium mesra tadi malam…
Papi menoleh ke arahku. Senyumnya mengembang teduh sambil manggut-manggut. Liriknya tidak panjang, tapi diulang lagi secara mirip sebagai refrain. Terdengar lirik lagunya menyebut nama yang mirip dengan aku secara berulang-ulang, hanya selisih satu huruf, liriknya Aryati, sedangkan aku Aryanti. Terasa lagunya sederhana, tapi mengalun romantik. Perlahan tangan kiri Papi diarahkan ke tangan kananku. Pandangannya tetap ke depan. Telapak tangannya menyentuh punggung tanganku di pangkuan. Mulanya terasa agak ragu. Namun posisi tangannya lambat laun dengan sempurna menumpang di pangkuanku. Awalnya tak bergerak apa-apa. Mungkin menunggu reaksiku. Sengaja aku tak beraksi apa-apa. Beberapa saat setelah itu terasa jemarinya mulai bergerak lembut. Kulihat punggung tangan Papi. Ada cincin berpermata warna hijau berkilau. Embannya dari emas sepertinya. Kulit Papi bersih. Bulu-bulu panjang tumbuh menjelang pangkal ruas jari. Papi melihat ke arahku. Aku pun melihatnya. Pandangan kami bertemu. Dan kami pun sama-sama tersenyum.
“Aryantiii …,” Papi menirukan alunan lagu. Kali ini liriknya diganti namaku.
“Papi ….”
Tangan Papi bergerak-gerak lembut di atas pahaku. Dia manggut-manggut mengikuti irama lagu. Meski volumenya tidak keras, audionya terdengar mantap, bunyinya muncul dari depan, sayap kiri dan sayap kanan, sepertinya juga dari belakang sehingga terasa menggema, dibarengi bunyi bas yang menggetar namun tidak bising.
“Cincin Papi permatanya bagus,” kataku.
“Ya, ini namanya Zamrud atau Emerald. Kamu suka permata juga?” Papi melihat jemariku. Dia lantas memegang cincin kecil di jari manisku, sekitar satu gram, permatanya putih, kecil lagi.
“Nanti kamu boleh milih cincin yang lebih besar dan permatanya bagus,” kata Papi. Aku melihat ke arahnya. Tentu saja ada rasa senang mengalir dalam diriku. Cincin yang lebih besar dan berpermata bagus. Senang sekali tentunya.
“Bukan hanya milih lo. Nanti kita beli beneran,” kata Papi lagi. Jemariku dipegang dengan lembut. Ada yang lebih besar mengalir dalam diriku.
Mobil masuk ke sebuah restoran. Siang itu kami makan dengan jarak terjauh dari biasanya, bahkan sudah berada di kawasan luar kota. Di tempat itu pula aku mulai memanggilnya “Papi”. Lama-lama terbiasa. Papi merasa suka dengan panggilan itu. Dia malah minta agar aku lebih manja. Biar kayak anaknya, katanya. Makan siang hari itu menjadi momen tersendiri bagiku. Aku makin paham makanan dan minuman kesukaan Papi, bahkan aku sewaktu-waktu diminta untuk memesankan. Aku diantar pulang menjelang pukul tujuh malam. Saat aku mau turun Papi mengecup keningku.
“Hati-hati, Papi, ya …,” kataku saat menutup pintu mobil.
Aku melihat jam di tangan. Kota Kupang telah memasuki sore hari. Ini adalah kamar yang kupesan. Dindingnya warna putih dengan kelambu merah tua. Sebuah dipan ukuran lumayan besar berselimut putih bersih, terlipat di bagian tengah, serta ada selempang di ujung bawah dari kain tenun motif lokal. Dua buah bantal ditata berdampingan dan sebuah guling membujur di tengahnya. Meja telepon ada di dekat bantal. Sementara meja yang lain ada di dekat jendela dan pintu belakang, di atasnya ada dua buah cangkir, dua buah gelas, beberapa bungkus bahan minuman, dua botol air putih, serta pemanas air. Wajahku memantul dari kaca besar di dinding, sebuah meja memanjang di bawahnya. Kurapikan rambut. Kubenahi kembali make up yang kurang merata. Kusemprotkan parfum ke ketiak kiri dan kanan. Maunya sih ingin mandi dan berhias lagi, tapi khawatir Papi keburu datang. Sementara kulepas sepatu jinjit agar kaki bisa menapak normal.
Kusingkap gorden. Masih ada tirai putih yang tipis. Kutarik ke tepi. Tampak laut menghampar luas. Airnya berkilau dengan ombak bergeligir putih berjalan makin mendekat. Ini adalah Selat Timor yang terhubung dengan Laut Sawu. Di kejauhan sana tampak ada pulau-pulau kecil dikelilingi pasir warna putih. Beberapa perahu tampak juga. Pantai tampak bersih dari jendela kamar. Para pengunjung berjalan menyusuri pasir, sebagian lagi bermain air laut. Sepertinya pantai ini sangat panjang. Mungkin karena itulah dinamai Pantai Pasir Panjang. Di bawah jendela, ke arah bawah sana, ada tempat duduk diteduhi pohon waru. Sisa sinar matahari masih memberkas dari arah kiri.
Kembali aku melihat layar seluler. Nomor Papi masih belum aktif. Ini dipannya satu, pikirku kembali, hanya aku dan Papi di kamar ini sepanjang malam. Masih pertama lagi. Udara di kamar terasa tidak begitu dingin. Mungkin AC masih awal bekerja. Sebenarnya aku ingin mengempas ke kasur yang empuk dan bersih ini. Seperti pelompat tinggi yang jatuh ke matras empuk dan memantul. Tapi aku pengin semua masih dalam keadaan rapi dan bersih saat Papi datang.
Terus terang, selama ini aku tidak pernah tanya-tanya soal keluarga Papi. Biarlah beliau sendiri yang bicara. Dengan tidak bertanya soal itu, semoga privasinya tidak merasa terusik. Saat Papi meminta agar aku lebih manja agar kayak anaknya, aku pun tidak bertanya soal anak. Ada yang bilang lelaki tidak suka ditanya-tanya soal keluarga. Nanti kalau sudah tua, dan merasa anak-anaknya sukses, dia akan selalu mengarahkan pembicaraannya ke sana, meski tidak ada yang bertanya. Tapi Papi sekarang tidak. Biarlah semua disimpan rapat-rapat dalam laci hatinya. Memang ada lelaki, meski belum tua dan tidak ditanya, suka membicarakan problem keluarganya ke orang lain. Lelaki demikian mungkin tipe pengeluh dan tidak punya harga diri. Tapi Papi bukan orang yang demikian.
Ada tanda pesan masuk di telepon selulerku. Cepat-cepat aku membuka. Sepertinya dari Papi. Ya, benar, pesan dari Papi. Kubaca dengan cepat: Saya sudah mendarat. Kamu turun ke lobi agar bisa langsung ke kamar. Tentu saja Papi tidak mungkin bisa mengakses ke lift sendirian karena tidak memiliki kunci kamar. Langsung kubalas: Ya, Papi. Cepat-cepat kukenakan sepatu kembali. Sebentar aku melihat ke cermin. Kurapikan kerah baju. Oke. Ada rasa keburu dan tidak ingin mengecewakan Papi.
Menunggu di depan pintu lift terasa lama. Papi mungkin masih dalam perjalanan. Atau masih menunggu bagasi. Tapi siapa tahu dia terlambat mengabari aku. Ganti aku memencet tombol pintu yang lain. Aku pandangi terus kode digital perjalanan lift. Tampak ada yang mau datang. Dan benar, ternyata dua pintu membuka bersamaan. Cepat-cepat aku masuk dan turun ke lobi. Syukurlah Papi belum datang. Lobi masih sepi. Hanya ada seorang lelaki duduk di kursi besar sambil membuka-buka majalah. Kugeser layar seluler. Nomor Papi tampak sedang aktif. Aku tidak berani menelepon karena selama ini Papi mewanti-wanti agar aku tidak menelepon duluan. Papi bukan pegawai kantor yang punya jam kerja secara tetap. Dia seorang pengusaha yang banyak gerak. Bisa jadi dia sedang mengendalikan usahanya dari rumah. Makanya aku
tidak boleh sembarangan mengontak.
Aku memilih duduk di kursi kecil, berjauhan dengan kursi besar. Berkali-kali aku melihat keluar agar saat Papi datang dapat langsung menyambutnya. Hari sudah sore. Jejak matahari di jalan sudah tak ada. Lalu lintas tampak ramai. Mungkin masih banyak orang pulang kerja. Aku merasa waktu berjalan sangat lambat. Ada rasa resah menyelinap. Tiba-tiba aku terhenyak. Sebuah taksi melambat dan masuk ke halaman hotel. Ini taksi bandara seperti yang aku tumpangi tadi. Aku berdiri. Benar. Papi yang datang. Aku sambut dia di muka pintu. Dia tersenyum. Aku ambil alih pegangan kopernya saat naik trap. Seorang petugas menghentikan langkah ketika tamu yang datang itu aku yang menyambut. Dengan cepat kami menuju lift untuk ke kamar. Dalam lift Papi mencium keningku.
“Bagus,” kata Papi saat memasuki kamar. Dia melihat-lihat sekeliling. Menerawang sebentar ke arah laut yang mulai meremang. Aku menawari untuk membuatkan kopi. Tapi Papi minta dipesankan makanan lebih dulu melalui daftar menu yang tersedia di meja. Katanya dia ingin beristirahat beberapa saat. Aku sodorkan daftar menunya. Tak lama setelah itu Papi menunjuk ke menu Se’i alias daging asap khas Nusa Tenggara Timur.
“Di sebelah barat sana ada tempat wisata dan kuliner yang baru dikembangkan. Namanya Taman Subasuka. Nanti kalau sempat kita ke sana. Besok malam kita makan di Pasar Solor, pusat kuliner berbagai ikan laut, bisa langsung dibakar atau digoreng,” kata Papi sambil melepas kemeja kotak-kotak lengan pendek yang dikenakan. Papi minta agar aku membantu melepaskan dari belakang. Dia masih mengenakan kaos dalam. Kemeja itu lantas aku gantung di hanger dalam almari. Saat aku kembali, Papi merentangkan lengannya. Dia lantas memelukku. Aku terdiam. Terasa pelukan Papi makin ditekan dan hangat. Dia mengecup kedua pipi dan keningku. Papi menatapku sambil tersenyum. Agak lama juga. Aku mengingsutkan pandangan ke lehernya, tampak memerah di bagian pangkal. Pelukan Papi makin terasa erat. Kembali dia mencium keningku. Napasku terasa lebih cepat.
“Sebentar,” katanya. Papi masuk ke kamar mandi. Mungkin sepanjang perjalanan dia menahan untuk tidak ke toilet. Matahari di luar mungkin sudah tenggelam. Barangkali Papi juga sekalian mandi. Tidak terdengar gemericik air dari dalam, atau bunyi shower memang tidak terdengar. Aku menatap cermin. Setelah ini aku harus mandi juga. Sambil menunggu Papi, aku mengoleskan milk cleanser di wajah untuk membersihkan make up yang mulai mengetat.
Papi keluar dari kamar mandi. Tampak wajahnya lebih segar. Dia nyaris bertelanjang dada. Handuk putih dibiarkan tercangklong di lehernya. Sekilas aku melihat ada bulu-bulu agak memanjang di dada. Sambil memberi kesempatan Papi berganti pakaian, aku izin ke kamar mandi, sekalian ganti baju yang lebih nyantai. Ternyata di kamar mandi tidak ada gayung. Semua keperluan dilayani dengan shower. Terasa kurang segar bagiku kalau mandi tidak diguyur. Tapi tak apalah. Mungkin untuk menghemat air.
Seusai mandi, aku lihat Papi merebahkan tubuhnya ke kasur. Dia telentang dengan kedua lengannya membuka. Aku menghadap ke cermin, merapikan rambut beberapa saat, ujung-ujungnya masih terasa basah.
“Tiduran sini,” Papi menepuk-nepuk kasur di sebelah kiri. Aku berdiri tepat di ujung kedua kakinya.
Belum sempat aku beranjak, tiba-tiba telepon selulerku di atas meja bergetar. Foto Sari tampak di layar. Dia menelepon. Bukankah dia sudah setuju kalau hari ini oper kerja denganku? Lagian jam kerja sudah usai. Aku sengaja tidak menerima panggilan Sari sampai getaran itu terhenti. Telepon aku silent-kan. Tapi tidak lama berselang foto dia muncul kembali.
“Siapa?” tanya Papi.
“Teman,” jawabku.
“Nggak usah diangkat.”
Aku membiarkan foto Sari muncul-tenggelam di layar. Dia meneleponku beberapa kali. Aku khawatir dia akan tanya macam-macam kalau kuangkat. Tak lama berselang ganti telepon Papi yang bergetar, tapi tidak lama. Papi mungkin mengira yang bergetar adalah teleponku. Kebetulan benda itu tergeletak di meja yang sama. Meski tidak tertulis namanya, sekilas sepertinya foto yang muncul mirip dengan foto Sari yang tadi muncul di teleponku. Aku tunggu beberapa saat agar panggilan itu muncul kembali. Tapi tak ada lagi. Jika benar-benar Sari, apa dia tahu kalau aku lagi pergi sama Papi? Tapi apa berani dia menelepon Papi?
Aku jadi kurang nyaman dengan kemunculan telepon dari Sari. Ada semacam water hazard yang tiba-tiba hadir. Papi kembali meminta agar aku merebah di sampingnya. Aku tak punya alasan untuk menampik. Perlahan aku naik ke dipan. Papi mengingsut memberi ruang. Dia tetap telentang. Kami sama-sama melihat ke langit-langit. Setelah bercakap beberapa saat, Papi memiringkan badan ke arahku. Terdengar Papi melantunkan syair lagu yang dulu pernah dinyanyikan saat di mobil. Muka Papi makin mendekat. Lengannya menghampiri perutku dan menempel. Aku mendekapnya.
“Dingin,” kataku.
“Malam mulai tiba,” katanya sambil merapat.
“Masih senja, Papi.”
“Ya, itu lebih indah didengar.”
Papi mengarahkan mukanya ke pipiku. Ada rasa hangat yang berbeda. Lengannya yang tadi kudekap beralih merangkulku dari samping. Dengus napasnya terasa sekali. Rangkulan Papi
makin rapat juga. Kami tak bicara apa-apa. Bahasa tubuh menggantikan percakapan saat senja telah tenggelam. Tiba-tiba terdengar getaran dari atas meja. Kami sama-sama mengingsut pandang. Kali ini telepon Papi yang bergetar.
“Biarin aja,” kata Papi.
Jangan-jangan telepon benar-benar dari Sari. Meski belum pasti, Sari makin jadi water hazard bagiku. Sementara itu Papi mendekapku makin rapat. Aroma sabun tercium dari lehernya. Ini kali pertama aku tidur sekamar dengan Papi. Seorang caddy seperti aku, yang biasa melayani para golfer di lapangan rumput, apakah harus melayani juga hingga ke ranjang? Tak tahulah, toh kenyataannya aku dan Papi sampai pula di sini, tidur seranjang di hotel bintang empat di Pulau Timor. Aku tak bisa membayangkan apa yang bakal terjadi selanjutnya, antara keinginan, kenyataan, dan yang seharusnya kulakukan. Apakah ini nasib mujur bagiku dalam menuju status sosial yang lebih tinggi atau sebaliknya?
Papi terkesiap saat bel di pintu berbunyi. Dia melepaskan tubuhku dari pelukannya. Kami sama-sama melihat ke arah pintu. Aku segera turun dari dipan, membenahi pakaian beberapa saat, lalu membuka pintu hanya sebatas pandang. Ternyata pengantar makanan yang kami pesan. Aku persilakan dia menaruh di meja luar depan jendela. Makan malam sambil melihat lampu-lampu nelayan di tengah laut tentu lebih syahdu. Angin tipis, langit berkelip, dan desah sisa ombak ingin kunikmati bersama Papi.
Dan benar. Kami segera makan di teras kamar sambil melihat ke arah laut. Teras tersekat oleh tembok sehingga mereka yang berada di kamar sebelah kiri dan kanan tidak bisa melihat kami. Privasi benar-benar terjaga untuk kami berdua. Angin berembus lembut. Bayangan pohonan di depan kami jatuh ke hamparan pasir. Lampu-lampu kapal para nelayan berkelip-kelip di kejauhan. Laut seperti perkampungan yang sunyi. Baru kali ini aku merasakan menu se’i, daging sapi yang diasapi agar awet dan tahan lama. Tapi, saat dimasak, aroma dan rasa dagingnya jauh berkurang. Papi mengunyah lebih lambat karena daging jadi mengeras. Aku tak mau berkomentar soal makanan pada Papi, khawatir mengganggu selera makannya. Bagiku, Papi jauh lebih penting dan bermakna daripada makanan. Apakah Papi juga menganggap demikian untukku? Biasanya saat makan Papi banyak berkomentar dan membanding-bandingkan soal rasa menu yang sedang disantap. Tapi kali ini Papi tak berkomentar apa-apa. Bahkan dia segera mengajak masuk kamar lagi seusai makan malam.
Seusai membasuh tangan, Papi menghampiri teleponnya yang bergetar. Dia melihat ke arah layar, tapi tak diangkat. Getaran telepon berlangsung beberapa kali. Aku tak berani tanya apa-apa. Apakah yang menelepon itu Sari? Atau orang yang dulu pernah mengirim pesan gelap kepada Papi? Tak tahulah aku. Tapi pikiranku tetap terganggu. Papi membiarkan teleponnya tetap di meja. Beberapa detik seusai berbalik arah, telepon itu bergetar lagi. Papi melihatnya lagi. Tidak diangkat juga meski getarannya sudah berlangsung agak lama. Barulah Papi memegang telepon itu setelah getarannya selesai. Sepertinya Papi men-silent agar benda itu tidak bergetar atau berdering. Dia menungguinya beberapa saat. Dan benar, cahaya di layar tiba-tiba terang, itu artinya ada panggilan masuk. Papi memegang telepon itu, kemudian membalik posisinya sehingga layarnya tak tampak karena tengkurap. Cahaya itu tampak terang lagi dari celah-celahnya. Berarti ada panggilan masuk lagi. Aku tetap tak berani bertanya, meski water hazard itu makin membayang.
Aku duduk di bibir dipan. Tampak wajah Papi kurang nyaman saat berbalik arah padaku. Segera dia menyaput dengan senyum. Dia memegang kedua pundakku, lalu mengecup kening. Papi naik ke dipan.
“Habis makan kok tidur, Pi?” tanyaku.
“Rebahan aja.”
“Bisa jadi gendut kalau langsung tidur.”
“Belumlah. Masak pergi jauh-jauh hanya dipakai tidur?”
“Tunggu melorot dulu,” aku menyambung.
“Apanya yang melorot?” sahut Papi cepat.
“Makanan di perut, Pi.”
“Oh, aku pikir ….”
Kami sama-sama tertawa kecil. Seprai warna putih bersih aku tarik-tarik ujungnya agar tidak mengerut. Papi memakai celana pendek warna krem. Bulu-bulu di kakinya tampak tumbuh subur dan agak kering. Sambil melihat ke arahku, tangan Papi menepuk-nepuk kasur di sebelahnya. Itu artinya dia meminta agar aku ikut merebah di sisinya. Seperti juga tadi, aku ikut telentang di sisi kirinya. Kami bicara beberapa saat. Papi berganti ke posisi miring. Adegan pun berulang. Lengan kanan Papi diletakkan ke dadaku dengan agak menekan. Terasa agak geli. Jari-jarinya aku dekap dari punggung tangan. Kupijit-pijit dengan lembut. Ada rasa berdenyar dalam tubuhku. Ini bukan mimpi.
“Papi ….”
Dekapan Papi terasa makin rapat. Lengannya melingkar sempurna di tubuhku. Dia mempermainkan jemarinya di lenganku, digerakkan naik-turun dengan lembut. Embus napasnya di bawah telinga makin meningkat. Terasa sekali hidungnya menyentuh pipi kananku. Makin mendekat dan menekan, tapi terasa lembut. Degup napasku terasa berlebih juga. Aku tak bisa ambil posisi miring karena terkurung oleh tubuh dan rangkulan Papi. Kali ini kaki kanan Papi berganti ikut ditumpangkan ke pahaku. Meski tidak dalam posisi dipaksa, aku merasa makin terkurung. Ada rasa yang bercampur dalam diriku. Ada denyar-denyar mengalir saat tangan Papi menyelinap ke dada. Kedekatan dengan Papi semakin nyata. Bukan lagi terkait profesi di lapangan golf, tapi hubungan pribadi yang penuh rasa dan rahasia.
Tiba-tiba aku merasa seperti ada getaran. Lukisan kecil di dinding bergoyang ke kiri- kanan. Meja kecil tempat minuman berderak-derak, mengeluarkan bunyi gelas gemerincing karena saling bersentuhan. Aku dan Papi bangun cepat-cepat. Getaran makin terasa keras dan cepat. Papi meloncat dari dipan. Aku melorot panik, mengikuti Papi. Semua benda bergetar. Kaca dinding berukuran besar tampak bergoyang juga, disusul gelas jatuh ke lantai. Terdengar teriakan-teriakan di luar.
“Gempa! Gempa!”
Papi menarik lenganku. Pintu yang menghadap ke arah laut itu dibuka cepat-cepat. Tapi kami salah arah karena di situ tidak ada tangga untuk turun. Teriakan-teriakan di luar makin ramai dan keras. Cahaya lampu kelihatan berkelap-kelap tidak normal. Saat itu pula bunyi sirine terdengar melengking-lengking. Papi menarikku masuk ke kamar lagi. Kami berlari menuju pintu keluar.
“Gempa! Gempaaa!!!”
Suasana di sepanjang lorong sudah gaduh.
“Jangan lewat lift!”
“Cepat! Tsunami datang!”
Para tamu semburat, muncul dari pintu-pintu kamar, berlarian mencari tangga untuk turun. Tampak mereka berpakaian seadanya, bahkan ada lelaki bertelanjang dada dan bercelana pendek. Sementara perempuan yang menyertai masih membebatkan selimut di dada dan ujungnya terseret di lantai. Ini wilayah bibir laut. Orang-orang sadar untuk bergerak cepat. Ada yang jatuh saat berebut menuju tangga. Perempuan yang menyeret selimut tadi tampak panik, ujung selimutnya terinjak orang lain sehingga yang di dada ikut melorot. Jeritan-jeritan terdengar di lantai atas. Tentu mereka makin panik karena makin ke atas getaran dan goyangannya makin keras. Kami tidak sempat berpikir di mana tangga darurat. Kami hanya tahu ada tangga menuju lobi.
“Cepat! Cepat!”
Kami berebut melewati tangga. Wajah-wajah ketakutan memburu langkah. Tangan kananku masih dipegangi Papi untuk berlari. Dari lantai dua kami terus menyerbu turun. Tangga ada di samping lobi. Tampak lampu besar yang tergantung di lobi berayun-ayun keras karena rantai penyangganya terpaku di atas sana. Terdengar instruksi agar para tamu cepat-cepat keluar dari bangunan. Pintu kaca sudah dibuka lebar dan dipegangi dua orang satpam. Para tamu ambrol keluar menuju jalan raya. Papi masih memegang rapat-rapat pergelangan tanganku. Kami berlari ke jalan raya, menjauh dari bangunan. Klakson-klakson kendaraan menyalak. Mereka meluncur menjauhi wilayah pantai. Aku dan Papi ikut arus orang-orang berlari. Sampai pada akhirnya kami merasa getaran sudah tak terasa.
Gempa yang berlangsung beberapa saat benar-benar menciptakan ketakutan. Kami sementara berhenti di perempatan jalan. Menjauh dari bangunan tinggi. Napas ngos-ngosan belum mereda. Orang-orang masih saling berpegangan tangan dengan pandangan cemas. Di sini banyak gunung aktif, wilayahnya juga aktif secara tektonik sehingga rawan gempa. Konon sekitar dua ribu nyawa pernah melayang karena gempa dan tsunami di sini. Penduduk mungkin telah memiliki naluri untuk menghadapi gempa karena pengalaman yang traumatis. Rintangan air atau water hazard di lapangan golf di sini bisa berubah jadi collateral hazards alias bencana susulan seusai gempa. Tsunami menjadi yang paling kami takuti.
Pergelangan Papi ganti aku pegangi. Berbagai kendaraan meluncur cepat menjauhi wilayah pantai. Klakson-klakson saling menyalak. Kami sadar harus menyelamatkan diri lebih awal. Tanpa menunggu informasi tentang adanya tsunami atau tidak dari pihak berwenang. Doa tak henti-hentinya kugumamkan. Papi kembali mengajak menjauh, setengah berlari. Tak ada kendaraan yang mau ditumpangi. Semua berpacu melawan waktu.
“Papiii! Papiii!” Aku diajak berlari. Teriakan-teriakan soal tsunami terdengar. Entah benar terjadi atau kewaspadaan. Langkah Papi terasa makin cepat. Aku pontang-panting mengikutinya. Kabar kepastian tidak perlu dinanti. Sebab, saat kepastian itu datang, berarti kami sudah terlambat. Kepastian datang bersamaan dengan kematian itu sendiri. Maka kami pun berlari, berlari, dan berlari ….
Kupang-Surabaya, 2022
- Aryanti, Papi, dan Water Hazard - 7 October 2022
- Perempuan, Golf, dan Peluru - 17 December 2021
- Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup - 25 November 2016
Dina
Diksi ringan tp punya arus kuat menenggelamkan dalam cerita…
Divaaprili
👍👍👍
Ambarwati Khohar
Cerita yang hidup, full riset.
Atin
Saya menyebutkan fakta fiktif, seperti Buya Hamka dalam tenggelamnya kapal van der wijck, menciptakan cerita dalam suatu peristiwa.
Sri Wahyuningsih
Penyajian setting baik waktu dan tempat sangat bagus. Membawa imajinasi pembaca untuk tenggelam dalam alur cerita. Penggambaran tokoh sangat kuat.
Akhmad Suwistyo
Premisnya blm tampak. Sangat berbelit dalam mendeskripsikan suasana. Itu saran saya.
Erlina Tri Intansari
Cerpen ini sangat bagus, Kata-katanya mudah dipahami dan membuat pembaca seakan tersihir dengan kalimat yang ada
Faradibah Nur Azizah
Pemilihan kata yang digunakan pada cerita ini sangat menarik, sehingga pembaca dapat merasakan bagaimana suasana dalam cerita
Cindy Elvina Verdiana Putri
Ceritanya efektif, artinya ceritanya mudah ditangkap atau dipahami maksudnya oleh pembaca.
Rml
Terlalu panjang. Narasinya sangat lambat dan membosankan. Tidak ada kejutan apa-apa sampai di akhir cerita. Tidak jelas mengenai pokok cerita atau pun pesan moral yang ingin disampaikan. Hanya terbaca seperti cerita diary. Saya kasih nilai 55.
Pinto
Kecuali ini, komennya hampir mirip semua hehe
Silfi nur amelia
Cerita yang begitu efektif dan sangat mudah untuk di fahami ,dan menimbulkan imajinasi/suasan dalam cerita tersebut,dan penggambaran alur nya tida berbelit- belit. ceritanya sangat bagus. ceritanya bisa membuat para pembaca hanyut ke dalam ceritanya. Bahasa nya gampang dipahami. Asik banget ceritanya.
Santy Indriani
Alur yang diceritakan sangat menarik, keterkaitan judul dan isi cerita sangat sesuai, setting latar tempat dan waktu sangat jelas, penggambaran suasana terasa nyata, namun ending yang dipaparkan terasa menggantung seperti tidak terdapat resolusi dalam cerita.
Ismi Ummul Choiroh
Cerita yang cukup mudah untuk dipahami, dengan menggunakan bahasa sehari hari jadi tidak sebegitu sulit untuk menangkap apa yang dibahas pada cerita tersebut, ceritanya terlalu panjang.
Nevi Samudra Permatasari
Alur dalam cerita yang disajikan sudah cukup bagus, menarik dan mudah di pahami oleh para pembaca. Pemaparan setting latar tempat, waktu, dan suasana juga sangat jelas dan nyata, tetapi ending yang di paparkan dalam cerita tersebut terasa masih kurang pas(mengantung), karna tidak ditemukan resolusi(penyelesaian masalah) pada akhir cerita
Christina Octaviana A.R
Alur ceritanya sangat menarik, membuat para pembaca memiliki rasa penasaran akan cerita selanjutnya, cerpen ini juga membuat para pembaca tenggelam dalam imajinasinya.
sinta nur fauziyah
alur ceritanya dapat di pahami, meskipun agak sedikit panjang sehingga ada rasa bosan saat membaca. Pengenalan tokoh tidak di jelaskan secara rinci tetapi di jelaskan melalui cerita sehingga saat membaca menjadi paham. Diksi yang di gunakan juga ringan dan mudah untuk di pahami. Water hazard yang di gunakan sebagai judul kurang ada kaitannya di dalam cerita sehingga saat membaca di awal hingga akhir masih bertanya tanya kejelasan tentang water hazard.
doel
alur cerita yang menarik, membuat pembaca tenggelam dalam mengimajinasikan pikirannya, judul dan isinya juga sesuai,setting latar tempat dan waktunya juga jelas dan tidak sulit untuk menangkap apa yang dibahas dalam cerita tersebut.
Yunita
Alur cerita menarik membuat pembaca mengimajinasikan pikiranya, judul dan isinya juga sesuai, setting, latar tempat dan waktunya juga jelas dan tidak sulit untuk menangkap apa yang di bahas dalam cerita tersebut.
Nike Risa
Alur dalam cerita yang disampaikan cukup menarik, sehingga pembaca bisa mengimajinasikan cerita tersebut, cerita yang sangat panjang namun tidak di rumitkan dalam penyampaian ceritanya, judul yang bagus, latar tempat/waktu, setting cukup jelas di fahami.
okavia deni n
alur cerita sangat efektif, bisa membawa imajinasi bagi sang pembaca dan yang menciptakan cerita dalam suatu peristiwa, tetapi ceritanya agak sulit di tangkap karena ceritanya begitu panjang
Varyesta Okta Saharaputri
Cerita terlalu panjang. Tetapi Alur ceritanya menarik dan bahasa mudah dipahami sehingga para pembaca tidak bosan dengan cerita yang begitu panjang.
Oong
Cerpen yg bagus membuat saya berpikir bahwa ini adalah pengalaman nyata seorang cady golf , nyatanya hanya karangan .terima kasih sebagai referensi saya dalam mengolah cerita
RIAN AJI LESTARI
Dari cerita diatas, dari awal hingga akhir cerita, pembaca dibuat terus memainkan imajinasinya. Setting latar dan suasana dibuat dengan kalimat yang menarik dan sangat rinci. Sehingga, pembaca terdorong masuk ke dalam cerita. Alur cerita yang tidak bisa ditebak diawal, penuh tanda tanya dan terkaan dari cerita yang tersaji. Menarik untuk diselami dari awal hingga akhir cerita.
Andromeda
Banyak part yang sebenarnya tidak berpengaruh apa-apa terhadap alur cerita. Saya berharap, ada sesuatu yang dahsyat pada akhir cerita, setidaknya keterkaitan antara telepon dari Sari dengan ending. Tapi ternyata saya kecewa.
queenlaucla
pesan yang kutangkap, bencana dan kematian itu dapat datang kapan saja, di mana saja. Hiduplah dengan baik, berlakulah dengan baik, karena manusia tidak tahu kapan ajal akan tiba. terima kasih, penulis. 🙂