Musim Mangga di Kampung Staman

fineartamerica.com

Akhir-akhir ini banyak warga Kampung Staman yang mendadak gemar berlari pelan. Orang-orang itu lebih suka menyebutnya dengan istilah jogging. Mereka jogging pagi-pagi sekali, bahkan ketika langit masih gelap dan sahut-sahutan kokok ayam masih terdengar jarang-jarang. Ada yang memakai sepatu karena sepatunya bagus, ada yang kaki ayam. Yang sepatunya bagus itu sebetulnya tidak bagus-bagus amat, melainkan hanya bagus dalam pengertian belum aus. Bagi orang-orang ini, bersepatu atau tidak bersepatu sebenarnya sama saja, sebab tujuannya bukan hendak berolahraga, melainkan memburu mangga.

Musim mangga telah tiba sejak sebulan lalu. Kini saatnya mangga-mangga itu bermatangan. Gemar jogging pagi-pagi saat sedang musim mangga seperti ini sudah menjadi kebiasaan warga Kampung Staman setiap tahun. Sambil mencari keringat, mereka akan berhenti di rumah-rumah penduduk yang di pekarangannya ada pohon mangga. Sebenarnya kurang tepat juga jika dikatakan “sambil mencari keringat”. Yang ada, sambil mencari mangga, mereka sekalian berolahraga.

Pekarangan rumah Cik Lena adalah salah satu yang paling sering menjadi titik perhentian mereka. Di sana ada pohon mangga arum manis yang tinggi dan besar. Di Kampung Staman, memang cuma Cik Lena yang punya pohon mangga arum manis. Pohon mangga itu sudah ada sejak Cik Lena pindah ke rumah itu tiga tahun lalu, ditanam oleh pemilik sebelumnya. Buahnya selalu lebat ketika sedang musim. Setiap subuh buah-buahnya akan jatuh karena embusan angin malam. Paling tidak satu atau dua setiap hari. Cik Lena tak pernah kebagian jatah mangganya yang jatuh karena dia baru bangun pukul tujuh ke atas ketika hari sudah terang.

Orang-orang Kampung Staman akan beradu cepat mengambil buah mangga arum manis Cik Lena yang jatuh. Bukan hanya yang pura-pura jogging, tetapi juga mereka yang melintas saat hendak pergi ke pasar buat membeli keperluan dagangan kedai kelontong mereka seperti sayur-sayuran dan rempah-rempah, anak-anak muda yang baru pulang bergadang nonton bola, juga orang-orang yang baru pulang dari masjid. Itulah kenapa orang-orang sudah pada keluar rumah pagi-pagi buta. Semakin cepat semakin bagus, mereka bilang. Tapi begitupun mereka tidak selalu berhasil. Kadang-kadang buah-buah mangga itu baru jatuh setelah subuh, seolah-olah hanya rela bila diambil oleh orang yang sudah menunaikan ibadah, dan itu membuat jengkel orang-orang yang keluar rumah lebih awal.

Tetapi, walaupun beradu cepat, para pemburu mangga itu sering saling malu-malu kucing. Tak jarang mangga yang sudah tergeletak di tanah, berlarut-larut tak ada yang mengambil. Para pemburu itu saling plirak-plirik antara ke arah mangga di tanah dan ke arah orang lain yang juga meliriki mangga itu, menakar-nakar kemungkinan si orang lain tidak memerhatikan mangga itu seraya berharap orang lain itu pergi lebih dahulu dan dengan demikian mangga itu bisa mereka ambil. Mereka hanya berani mengutip mangga itu dengan cekatan ketika di sekeliling mereka benar-benar tak ada orang lain.

Satu dari kira-kira belasan warga Kampung Staman yang ikut berburu mangga jatuh itu adalah Pidil, 26 tahun. Dia adalah seorang sarjana filsafat yang masih menganggur meski sudah lulus sejak tiga tahun lalu. Ketiadaan uang karena pengangguran membuat naluri berburunya menguat. Tentu saja berburu di sini tidak sama dengan berburu pada zaman manusia purba, karena, pertama, apa-apa yang ada sekarang sudah ada yang punya, dan kedua, ia tidak tinggal di hutan melainkan di perkampungan. Ditambah lagi, selama tiga tahun terakhir ia tak lagi berani meminta duit dari orang tuanya. Menjual ayam dan anak kambing milik warga kampung adalah salah satu pilihan yang sudah sering dilakukannya untuk membeli rokok atau buat modal taruhan bola. Manakala ia pengin makan buah, buah-buahan warga kampung akan menjadi incarannya.

Dengan kesanggupannya nyolong hewan hidup tanpa pernah ketahuan, tentu mudah saja bagi Pidil jika ingin mengambil mangga-mangga itu langsung dari pohonnya. Ia tak perlu menunggu mangga-mangga itu jatuh seperti halnya orang-orang lain yang takut dituduh maling. Apalagi ia punya prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di alam adalah milik bersama, sebagaimana halnya udara, air, langit, dan lainnya.

“Pohon-pohon itu tumbuh karena alam, dibesarkan oleh alam, dan berbuah karena alam. Lalu bagaimana bisa seseorang mengklaim itu sebagai miliknya pribadi?” demikian katanya kepada kawan-kawannya.

“Kalau memang orang itu yang menanam, dan dia juga yang merawatnya, bagaimana?”

“Ya, itu lain cerita. Kenyataannya mereka mengklaim setiap pohon yang tumbuh di pekarangan rumah mereka walaupun mereka tidak menanamnya.”

Sejak masih kuliah, sebelum menjadi sosok pengangguran yang liar dan beringas, Pidil sudah sering menggugat konsepsi dasar tentang hak milik. Ia sepakat dengan Karl Marx bahwa hak milik pribadi adalah sumber segala penindasan yang melahirkan keterasingan dan ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Ia tak habis pikir melihat orang-orang begitu rakus dan serakah atas buah-buahan yang tumbuh di halaman rumah mereka. Mereka membungkusi buah-buah mereka bahkan sejak masih pentil saking takutnya diambil orang lain. Buah-buah yang menggantung di ranting-ranting yang keluar dari pagar rumah mereka juga mereka selamatkan dengan membengkokkannya ke dalam halaman rumah mereka.

Ketika mendengar kabar seorang nenek dipenjara karena mengambil sebiji buah kakao yang kebetulan tumbuh di pekarangan rumah tetangganya, Pidil meradang berhari-hari, turun ke jalanan seorang diri, mengutuki para penegak hukum seperti orang kesurupan.

“Koruptor kaya kalian biarkan bebas berkeliaran! Sementara nenek tua yang mengambil cokelat kalian penjarakan! Tanpa kebaikan alam, tidak mungkin pohon kakao itu tumbuh dan berbuah! Sang Penumbuh kakao itu sendiri aku yakin tidak akan menghukum nenek itu!” teriaknya.

Ketika pikirannya sudah lebih tenang, Pidil melanjutkan argumentasinya: “Seandainya manusia tidak pernah mendomestikasikan diri, tidak merasa harus memiliki sepetak tanah sendiri, dan dengan demikian tidak menganggap pohon-pohon yang tumbuh di atasnya sebagai kepunyaannya sendiri, hak milik atas pohon tidak akan pernah ada. Dan kita bisa saling berbagi setiap kali pohon-pohon itu berbuah. Siapa yang mau, tinggal mengambil saja.”

Bagaimanapun, kekonyolan-kekonyolan dalam hidup yang kerap disaksikan Pidil membuatnya lebih banyak menertawakannya. Maka ia pun lebih memilih ikut berburu mangga jatuh bersama warga kampung lainnya. Bukan karena takut mengambil langsung dari pohonnya, melainkan karena ia lebih menyukai mangga yang jatuh dari pohon karena itu berarti kematangannya telah sempurna. Untuk perkara ini, saingan terberatnya bukan para pemburu mangga itu, melainkan codot. Seringkali ia mendapati mangga jatuh yang telah keroak lebih dari separuh bagiannya.

***

Pintu rumah Cik Lena terbuka ketika Pidil membungkuk memungut mangga arum manis yang jatuh di pekarangannya. Cik Lena, yang rela bangun pagi-pagi buta demi mencari tahu siapa yang kerap mengambil mangganya yang jatuh, keluar dan memergoki Pidil.

“Rajin betul pagi-pagi sudah jogging.

“Eh, Cik Lena, sudah bangun?”

Basa-basi penuh salah tingkah Pidil tak digubris. Cik Lena langsung menuju inti.

“Sering ngutip mangga saya, ya?”

“Baru kali ini, Cik.”

“Jujur saja.”

“Iya, benar, baru kali ini.”

“Sering juga enggak apa-apa.”

“Cik Lena pikir cuma saya yang ngincar mangga Ocik? Semua orang kampung ini juga ngincar.”

“Rakus-rakus ya, orang-orang kampung ini.”

“Ocik jangan ngomong gitu. Ocik, kan, juga tinggal di sini. Kami cuma makan mangga sekali-sekali. Justru Ocik yang rakus kalau mau menghabiskan satu pohon mangga ini sendiri.”

“Eh, bagus-bagus mulutmu kalau ngomong. Aku bisa laporkan kau ke polisi karena sudah ngambil manggaku.”

Gertakan Cik Lena tak membuat Pidil gentar. Sebaliknya, dibantingnya mangga yang baru dipungutnya sebelum ia pergi meninggalkan pekarangan rumah perempuan empat puluhan tahun itu, sebagai bentuk perlawanannya atas gertakan itu.

***

Ada beberapa rumah warga Kampung Staman lain yang juga terdapat pohon mangga di pekarangannya selain rumah Cik Lena. Antara lain rumah Lik Mus. Di halamannya ada pohon mangga lokmai. Tidak terlalu tinggi pohonnya, tapi buahnya cukup lebat. Pidil sebetulnya lebih suka mangga yang satu ini ketimbang arum manis. Rasanya lebih manis dan dagingnya lebih lembut ketimbang arum manis. Arum manis, terutama jika peraman dan dipetik dalam kondisi belum benar-benar tua di pohon, sering kali manisnya tidak merata. Bagian pantatnya tidak semanis bagian dekat tangkainya. Sementara lokmai, manisnya merata dari pangkal atas hingga bawah. Bijinya begitu tipis sehingga dagingnya sangat banyak.

Tetapi sayangnya, Lik Mus begitu telaten mengamankan mangga-mangganya. Dibungkusinya mangganya satu per satu dengan plastik sehingga tak ada satu pun yang jatuh ke tanah. Dengan cara demikian, ia tak cuma menyelamatkan mangganya dari incaran orang-orang, tetapi juga dari kalong-kalong. Warga yang melintas di depan rumahnya cuma bisa menelan ludah memandangi mangga-mangganya yang matang. Lik Mus seolah sengaja membiarkannya berlama-lama tergantung di pohon.

Sementara itu, warga-warga lain yang juga punya pohon mangga, cepat-cepat memanggil tengkulak buah ke rumah mereka. Rata-rata mangga mereka berjenis mangga udang dan mangga manalagi. Tengkulak itu akan memborong semua mangga yang ada di pohon, tak peduli sudah tua atau masih muda. Mereka memborong mangga-mangga itu tidak berdasarkan beratnya, melainkan dengan hitungan kasar berdasarkan kelebatan buahnya saat masih berada di pohon. Mangga-mangga yang masih muda akan mereka peram dengan karbit supaya bisa matang sebelum dijual di pasar.

Keesokan harinya setelah memergoki Pidil, Cik Lena memutuskan mengikuti langkah yang sama. Ia pikir, ketimbang terus-terusan jatuh dan diambil warga, lebih baik mangga-mangganya dirontoki semua, dijual borongan ke tengkulak. Tak mengapa harganya murah, batinnya, yang penting ada uang yang bisa kukantongi.

“Tiga ratus ribu,” kata si tengkulak.

“Murah sekali. Ini, kan, arum manis. Enam ratus ribu.”

“Ini lagi musim, mana bisa harga segitu. Di pasar harganya cuma sepuluh ribu per kilo. Malah ada yang cuma delapan ribu.”

“Ya, tambahilah. Jangan tiga ratus, lima ratus lah.”

“Enggak bisa. Tiga ratus. Kalau oke, kupanjat sekarang.”

“Ya sudah lah. Tapi tinggali di pohon beberapa, ya. Biar nanti kalau kepengin aku bisa ngambil.”

“Oke.”

Setelah dirontoki, ternyata mangga arum manis Cik Lena banyak juga. Melihat tumpukan mangga yang tak bisa dihitungnya karena saking banyaknya, dalam hati ia menyesal menjualnya, lebih-lebih dengan harga segitu. Namun, penjualan sudah telanjur dan Cik Lena tidak bisa membatalkannya.

Tengkulak buah itu segera meninggalkan rumah Cik Lena begitu menyerahkan uang tiga ratus ribu. Keranjang buahnya yang terbuat dari anyaman bambu penuh dengan mangga arum manis. Di tikungan pertama Kampung Staman, ia berhenti, menemui seseorang yang menyuruhnya memborong mangga Cik Lena.

“Berapa jadinya, Bang?”

“Tiga ratus ribu.”

“Oke, ini pegang. Seratus, dua ratus, tiga ratus. Dan ini kutambahi lima puluh ribu buat abang.”

“Oke. Mantap. Makasih, ya.”

“Sama-sama, Bang.”

Pemborong mangga dari tengkulak buah itu langsung mendatangi satu per satu rumah warga. Dibagi-bagikannya tiap-tiap rumah lima buah secara prodeo, termasuk kepada Cik Lena dan Lik Mus.

“Betul gratis ini, Bang?”

“Iya, gratis.”

“Wah, makasih ya, Bang.”

“Yoi.”

Kemarin malam, Pidil menang taruhan bola. Ia pegang Juventus dalam laga melawan Inter Milan di Stadion San Siro. Dengan poin setengah, skor 1-2 membuatnya menang penuh. Uang menang taruhan itu dipakainya buat memborong mangga Cik Lena. Kesampaian sudah niatnya bagi-bagi mangga kepada warga. (*)

Abul Muamar
Latest posts by Abul Muamar (see all)

Comments

  1. Albanna Reply

    Keren kak.

  2. Rozen Reply

    Ending yang nggak kuduga. Keren penyampaiannya, bang! Mudah dicerna dan tepat sasaran.

  3. Sidik Reply

    Pantaslah kampong staman, orang perbongan pulak yang nulis. Cocoklah

  4. Anonymous Reply

    Baik juga si pidil y

  5. Abul Muamar Reply

    Admin yang baik, sebelumnya terima kasih atas pemuatan cerpen saya ini. Ada sedikit kekeliruan editing dalam cerpen ini, tepatnya pada kata “domestikasi”. Di situ tertulis “mendomestikasikkan”. Yang benar adalah “mendomestikasikan”, sesuai naskah yang saya kirim. Kiranya kekeliruan itu bisa diperbaiki. Terima kasih.

  6. WahyuningsihS Reply

    Endingnya tak terduga. Keren Bang.
    tapi bener emang Bang. Reminder buat kita semua. don’t judge the book by the cover…

  7. Wahyudi Reply

    Enak membacanya, paham pesannya. Dan endingnya tidak terduga.

  8. Arj Reply

    Humorku terpanggil baca cerpen ini 😂 endingnya sih pesan baik, tp pke duit taruhan emg halal? 😂

  9. Johan Reply

    Endingnya nggak ketebak sih. Penulisannya juga mudah dipahami. Suka banget aku Bang.

  10. Rach Reply

    Endingnya keren, ngingetin masa kecil saya duku yang seperti warga kampung Staman, suka nyari mangga jatuh habis subuh. Alasannya sama, jogging. LOL…..

Leave a Reply to Sidik Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!