Tulang-tulang ayam yang masih berdaging jatuh dari lantai atas. Tulang-tulang itu bergeser tak jauh dari titik pertama pendaratannya. Tidak ada yang memungut tulang-tulang itu. Lebih tepatnya, belum ada yang memungutnya.
Di lantai atas, dari balik jendela kaca yang terbuka, seorang lelaki berkacamata melanjutkan membaca Mitologi. Ia percaya bahwa tulang-tulang ayam yang ia jatuhkan pasti dimakan oleh kucing di bawah sana. Ia tak lekas mencuci tangan setelah makan ayam goreng cepat saji yang dipesannya melalui aplikasi ojek online. Dilamotinya jari-jarinya, dan dilapnya dengan beberapa lembar tisu.
Lima belas menit kemudian, seraya menyimak penjelasan Roland Barthes tentang penanda, petanda, dan tanda, serta bagaimana mitos terbentuk sebagai sistem semiologis lapis kedua dalam buku yang tengah ia baca, lelaki itu mendengar suara kunyahan di bawah sana. Keheningan malam membuat suara kunyahan itu terdengar lebih jelas. Tetapi, seperti malam-malam sebelumnya, lantaran asyik dengan bacaannya, ia melupakan niatnya untuk melihat kucing yang tengah makan di bawah sana. Padahal, saat siang, beberapa kali ia penasaran ingin melihatnya. Ingin tahu ia seperti apa rupa kucing itu.
Sudah menjadi kebiasaannya sejak lama, lelaki itu tak pernah menghabiskan makanannya sampai bersih. Makanannya selalu bersisa. Dan ia akan membuangnya dari jendela kamarnya yang berada di lantai dua. Ia sengaja tak menjatuhkan sisa makanannya tepat ke dalam tong sampah supaya bisa dimakan oleh kucing di bawah sana tanpa harus membongkar dan menyerak isi tong.
Memang benar, keesokan paginya, atau setiap kali ia pergi keluar, ia selalu mendapati makanan yang ia buang sudah hilang. Bersih. Tidak pernah ada petugas kebersihan yang datang. Sampah-sampah yang sudah penuh di tong harus ia buang sendiri ke tempat pembuangan sampah umum yang berada 50 meter dari tempat ia tinggal. Dengan begitu, ia pun yakin bahwa sisa makanan yang selalu dibuangnya pasti dimakan kucing.
Meski tak mau memelihara, pada dasarnya lelaki itu selalu kasihan pada binatang, terutama pada kucing. Kepada setiap kucing yang melendotinya, entah itu di pinggir jalan atau di warung makan, ia selalu memberi mereka makan. Bahkan terkadang, secara khusus dibelinya ikan atau kerupuk untuk kucing-kucing yang memelas menatap wajahnya jika ia tak sedang makan.
Memang, lelaki itu adalah orang yang tak mau kompromi soal makanan. Barangkali karena itulah ia kerap tak menghabiskan makanannya. Pada dasarnya ia tak mau makan makanan yang tak sesuai seleranya. Makanan-makanan seperti itu hanya akan dimakannya karena terpaksa. Sekadar mengganjal perut, katanya. Makanan yang enak, baginya, adalah makanan yang kaya akan rempah; dengan rasa gurih, asin, asam, manis yang tepat dan berimbang, serta diolah dan disajikan dengan cara yang bermartabat. Untuk makan berat, ia selalu menuntut keberadaan sayur di samping lauk utama. Karena itu, baginya, ayam goreng cepat saji jelas tidak termasuk kategori makanan bermartabat.
Bermartabat yang ia maksud kurang lebih seperti bagaimana koki-koki di program kuliner di televisi itu memasak. Mulai dari memilih kualitas bahan makanan, mengolah, hingga menyajikan dan mengemas. Jika standar ini diterapkan pada nasi bungkus, katanya, maka nasi bungkus yang bermartabat, selain rasanya mesti lezat, adalah yang dibungkus dengan daun pisang atau daun jati. Bukan dengan kertas, apalagi dengan koran bekas. Setiap kali hendak membeli makanan untuk dibawa pulang, ia selalu memastikan perkara ini. Jika si penjual tak menyediakan daun pisang atau jati sebagai bungkusan, ia tak sungkan-sungkan membatalkan pembeliannya.
Dengan bakat alamiahnya yang tak seberapa dalam mengkritisi makanan, lelaki itu bercita-cita menjadi gourmet. Ia ingin menjadi gourmet yang mencicipi makanan-makanan tradisional, dan bertekad mengangkat derajat makanan tradisional di mata dunia.
Kepada teman-temannya, kenalan-kenalannya, dan secara khusus kepada penjual-penjual makanan yang pernah ia sambangi, lelaki itu selalu berpesan, “Memasaklah dengan cara yang bermartabat!” Karena, katanya, memartabatkan masakan adalah salah satu cara kita memartabatkan manusia. Kali ini ia tak peduli meskipun itu mungkin cuma mitos.
Dalam semesta bahasa, begitu ia bilang, makanan memang hanya sesuatu yang dimakan untuk melepas rasa lapar atau mengenyangkan lambung. Namun, dalam dunia mitos, makanan juga dijadikan sebagai perlambang kasta manusia. Dahulu kala, makanan raja-raja dibedakan dari makanan para kawula.
“Dedak padi atau ampas jagung juga bisa dimakan oleh manusia dan itu mengenyangkan. Tetapi itu jelas tidak memartabatkan,” serunya.
“Soto yang dicampur jadi satu dengan nasi juga enak dan mengeyangkan. Tetapi, akan lebih bermartabat jika dipisah,” lelaki itu menambahkan.
Sejatinya, ia tak mempersoalkan bahan-bahan atau jenis makanan yang dimasak. Tempe dan tahu, demikian ia berseru, tak lebih rendah derajatnya dibanding daging atau ikan. Baginya, bahan makanan yang bermartabat tidak harus mahal dan mewah. “Mi instan pun,” ujarnya, “tetap bermartabat asal dimasak dengan cara yang bermartabat. Dengan tumisan bawang merah dan bawang putih, tomat, telur, sayur-sayuran….”
Lelaki itu yakin, makanan-makanan tradisional bisa mendunia. Tidak cuma rendang, nasi padang, atau nasi goreng; soto, tongseng, rica-rica, semur, hingga kue-kue macam klepon, ombus-ombus, cucur, lepat, naga sari, dan onde-onde, pasti juga bisa menyusul. “Makanan-makanan itu,” kata dia dengan berapi-api, “tidak kalah eksotik rasanya dibanding makanan-makanan ala restoran dan kafe yang sengaja dinamai dengan bahasa asing itu.”
Meski begitu, di balik keangkuhannya, lelaki itu terkadang tetap membuka diri terhadap makanan-makanan yang tak bermartabat. Caranya makan dan membuang sisa makanannya juga demikian. Ia sering melanggar ucapannya sendiri. Contohnya malam itu. Setelah bingung mau makan apa, dan rasa malas menyergapnya untuk pergi ke dapur dan memasak sendiri, ia akhirnya menyentuh gambar ayam goreng crispy di layar ponselnya. Dipesannya tiga potong tanpa nasi. Dimakannya dengan cepat dan masih banyak daging yang menempel pada tulangnya yang tak dituntaskannya.
***
Suatu malam seusai makan, karena tak ada kerjaan, dan lagi pula sudah hampir setahun ia memendam rasa penasarannya untuk melihat kucing di bawah sana, lelaki itu akhirnya turun ke bawah. Ia tak melempar sisa makanannya seperti biasa. Ia ingin memberinya langsung. Ia berharap bisa sambil mengelus kepala kucing itu.
Seperti biasanya, suasana lingkungan tempat ia tinggal sepi malam itu. Hening. Waktu masih menunjukkan pukul 8 malam, tetapi rumah-rumah warga, sejauh pandangannya, sudah pada tutup pintunya. Beberapa rumah bahkan sudah dimatikan lampunya.
Tak lama ia memanggil, “Pus…, pus…,” seekor kucing datang setengah berlari mendekatinya. Kucing itu berwarna kuning berbulu tebal. Ada kerincing melingkar di lehernya. Wajahnya imut dan ceria. Matanya bulat bersinar. Bibir dan hidungnya merah jambu saking bersihnya. Lelaki itu langsung menyodorkan kepala ikan bakar yang masih banyak dagingnya, yang sudah dibaurnya dengan sedikit nasi.
“Ini makan,” katanya kepada kucing itu, seperti bicara pada anak kecil. Kucing itu, yang rupanya sama sekali tak menunjukkan ciri kucing terlantar, mencium sebentar ikan bakar itu, tapi tak memakannya. Ia justru melendot di kaki lelaki itu. Ekornya digerakkannya ke kanan dan ke kiri.
Mengira bahwa si kucing tak doyan lantaran ikannya dibaur dengan nasi, lelaki itu lantas memisahkannya. “Ini enak. Makanlah,” kata si lelaki itu lagi, sambil mendekatkan kepala ikan bakar itu ke hidung si kucing. Namun, tetap saja kucing itu tak mau memakannya.
Hampir setengah jam berbicara dengan kucing itu layaknya bicara dengan manusia, dan kucing itu tetap tak mau makan, lelaki itu akhirnya masuk ke dalam, naik kembali ke kamarnya. Diletakkannya begitu saja nasi dan kepala ikan bakar itu persis di sebelah tong sampah, di bawah jendela kamarnya. Esok harinya, ia mendapati nasi dan kepala ikan bakar itu sudah hilang. Sudah bersih. Mungkin kucing itu malu kalau makan dilihati, pikirnya.
Malam berikutnya, karena kepincut dengan keimutan kucing itu, lelaki itu kembali turun ke bawah setelah makan, untuk memberi makanan yang tak habis dimakannya. Kali ini ia siapkan sayap ayam goreng, dengan daging yang masih banyak menempel di tulang-tulangnya. Namun lagi-lagi, kucing cantik itu tetap tak mau makan. Ketimbang makan, kucing itu lebih memilih dielus-elus, lalu berbaring telentang mengajak bermain.
Lagi-lagi keesokan harinya, sayap ayam goreng itu telah lenyap. Tandas. Memang dasar kucing pemalu, batin lelaki itu. Malamnya, ia tidak lagi turun ke bawah. Ia hanya menjatuhkan sisa makanannya lewat jendela seperti sedia kala. Namun tak lama setelah itu, ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Dilongoknya dari jendela kamarnya, ternyata tetangganya.
“Lagi apa, Mbak?” tanya lelaki itu dari atas.
“Nyari kucing saya. Dia suka keluar rumah kalau malam. Saya takut dia digaduhi kucing lain,” kata tetangganya itu.
“O, jadi itu kucingnya Mbak?”
“Ya.”
“Sudah dikasih makan?”
“Sudah. Makanannya saya kasih secara teratur. Makanan spesial. Dia tidak akan mau makan ikan atau ayam seperti yang Anda lempar. Apalagi cuma sisa-sisa.”
Dari situ, laki-laki itu tahu, bukan kucing itu yang memakan sisa makanan yang selalu ia jatuhkan ke bawah lewat jendela.
***
Sambil bersiul-siul, laki-laki itu mengiris tempe mentah yang ia beli di pasar. Ia hendak memasak tempe kukus dengan daun kemangi. Sejatinya ia sudah beli tempe goreng di warung penyetan. Namun, baru satu gigitan mulutnya sudah berhenti mengunyah, menolak menelan, karena rasanya seperti tempe yang digoreng kemarin.
Sudah seminggu berlalu sejak ia bertemu tetangga pemilik kucing imut itu. Sejak saat itu ia tak pernah lagi turun ke bawah untuk membuang sisa makanannya.
Tak sampai setengah jam, tempe kukusnya sudah jadi. Disantapnya dengan nasi hangat dan irisan mentimun sebagai lalapan. Sementara tempe goreng yang dibelinya, tetap tak dimakannya.
Selesai makan, dibuangnya tempe goreng itu ke bawah lewat jendela seperti biasa. Tak ada yang langsung menyambar. Lima belas menit kemudian barulah ada suara yang memungutnya. Kucing kok doyan tempe, batinnya. Karena rasa penasaran kembali muncul, lelaki itu cepat-cepat turun ke bawah.
Lelaki itu lari menuruni anak tangga. Dibukanya pintu dengan ligat. Namun, tidak ada kucing di sana. Di sebelah tong sampah tempat ia menjatuhkan tempenya tadi, yang dilihatnya justru seorang manusia yang sedang membungkuk, setengah berjongkok. Manusia itu gondrong dan berpakaian compang-camping.
“Terima kasih, Mas, sudah memberi saya makan yang enak-enak selama ini,” kata orang itu seraya melahap tempe goreng itu dengan rakus.
Mendapati pemandangan itu, lelaki itu mematung. Badannya lemas, dan matanya basah. (*)
- Selera Pasar Ayam Sabung, Ikan Cupang, dan Bacaan Sastra - 18 March 2020
- Musim Mangga di Kampung Staman - 25 October 2019
- Sisa Makanan - 13 September 2019
Anonymous
Yampun.. ikut terbawa..😭😭
Ratna
Masyaa Allah…ending yang mengharukan. Gak bisa ngomong apa-apa, tapi seperti ikut tertampar rasanya.😭😭😭
Anonymous
Masyaallah😢
Badog
Seni bercerita dan kaya kosakata adalah bagian terpenting dari cerpen yang bermartabat, bukan jalan cerita ala filem India.
Anis Safitri
Mengajarkan bagaimana rasa syukur mesti diterapkan walau berprinsip hidup sehat 🙂
Anonymous
Tulisan yang bagus bang. Ada pesan moral yang bisa diambil dari cerita pendeknya. Gaya bahasa Medan juga masih terselip secara halus dalam tulisannya.
Muhammadan
Pesan moral cerpennya hampir mirip Hamsad Rangkuti. Sosialis sekali. Mantab👍
Tsubasa
Seperempat cerita sudah ketebak endingnya, tapi penulisannya bikin bener2 baca sampe akhir.
Anonymous
Penulisnya membuat penasaran,
Cerita ini mengajak kita supaya membaca jangan tanggung-tanggung.
Soalnya akhirnya gak bisa ditebak kalau baca sekilas.😂😂
Anonymous
I saw the ending from miles away
PN
aku baca ceritanya asik banget. tapi kecewa pas endingnya, terlalu mudah tertebak. dikirain lebih dramatis lagi.