
Patutlah jika kita menilik pada gagasan maestro seni rupa modern Indonesia, S. Soedjojono yang mengungkap bahwa para perupa tidak lagi melukis gubuk yang damai, gunung-gunung membiru, hal-hal yang romantis atau indah dan manis-manis. Tetapi juga akan melukis pabrik gula dan petani yang kurus kerempeng. Seniman bagi S. Soedjojono hendaknya menuntut keberpihakan pada masyarakat tertindas. Begitu pula dalam bahasa Georg Lukacs, seorang Marxist yang menyatakan bahwa karya seni rupa bertujuan untuk mempertegas visi kemanusiaan, bukan untuk memperbesar peranan subjektif seniman.
Dua pandangan itu mungkin bisa mengawali kita untuk menyimak gelaran pameran seni rupa kontemporer tahunan Artjog yang berlangsung di Yogyakarta. Tahun ini, Artjog mengusung tema common space atau ruang bersama. Sebanyak 39 seniman dan kolektif seni mempresentasikan karya-karya seninya. Nama-nama seperti Ugo Untoro, Agan Harahap, Handiwirman Saputra, Teguh Ostenrik hingga sutradara kawakan Riri Riza ambil bagian dalam hajatan pameran ini.
Pesona Artifisial
Di simpang jalan menuju ruang pamer, kita langsung disambut karya spesial “Taman Organik Oh Plastik” dari Handiwirman Saputra. Ini salah satu karya yang paling radikal. Handiwirman menggali sekitar kedalaman empat meter di halaman depan Jogja National Museum untuk membangun instalasinya. Dengan mata telanjang, kita bisa melihat lubang tanah dan taman yang tak rindang. Ia “membangun tamannya” dengan material sintetis yang tampak alamiah, tetapi menanam tumbuhan yang justru artifisial. Ini menjadi pertanyaan kritis tentang bagaimana manusia modern membangun taman hari ini. Tidak ada batasan yang jelas antara taman yang alami dan taman yang hanya menampilkan estetika artifisial belaka. Bagi Hardiman, obsesi pesona artifisial ini yang kerap muncul dalam konsep penghijauan, khususnya pembangunan taman-taman kota.
Beranjak dari instalasi taman palsu, kita disuguhi karya apik dari Teguh Ostenrik. “Daun Khatulistiwa” menjelma labirin bawah laut. Berangkat dari kesukaannya menyelam laut, Teguh mengabadikan karyanya untuk penghormatan pada lingkungan alam. Ia memulai proyek ARTificial Reef pada 2013. Sejak saat itu, Teguh telah menggarap delapan buah patung berbahan logam yang kemudian diceburkan di beberapa wilayah perairan nusantara. Setelah beberapa tahun tertimbun di dalam laut, patung-patung itu berhasil berubah menjadi habitat atau tempat tinggal bagi biota laut. Ruang imajiner yang dibangun Teguh telah terbukti menghidupkan kekayaan alam laut yang dimiliki Indonesia.
Masuk ke dalam, kita akan bertemu dengan “Lamditi” karya Agan Harahap. Agan merekonstruksi mitos, legenda, dan cerita rakyat sebagai produk budaya asli nusantara. Visual bergambar manusia suku pedalaman itu bukan untuk membangkitkan kembali kepercayaan-kepercayaan lama. Bagi Agan, narasi tentang mitos, legenda, dan cerita rakyat telah terbukti berperan penting dalam menjaga keseimbangan, keteraturan, serta keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan alam.
Selain menyoal ruang-ruang lingkungan hidup, ada satu karya dari sudut pandang yang tak biasa. Seri karya dari Enka Komariah memotret transformasi ruang sosial yang berubah di kampung halamannya, Klaten. Klaten memiliki banyak sumber mata air dan pohon beringin yang diyakini keramat. Beberapa dari itu diubah menjadi tempat ibadah oleh masyarakat setempat. Dengan menggunakan teknik silkscreen and hand coloring, Enka menggambarkan secara naratif di atas kanvasnya bagaimana ruang-ruang ekologis itu berubah menjadi ruang sosial. Proses transformasi makna ruang bagi Enka sangat tergantung dari tatanan kuasa yang dominan.
Dari puluhan karya yang dipamerkan Artjog tahun ini, saya mengagumi “Artificial Green by Nature Green” karya dari pasangan seniman Bagus Pandega dan Kei Imazu. Sebuah instalasi yang dilengkapi oleh mesin lukis dengan cat warna hijau. Kerja mesin ini dipacu oleh pohon kelapa sawit yang juga dihadirkan di ruang pamer. Kedua medium itu kemudian diintegrasikan dengan sebuah video yang menampilkan hiruk pikuk kekacauan habitat orang utan.
Melalui instalasi ini, Bagus Pandega dan Kei Imazu hendak memvisualisasikan salah satu instrumen perubahan iklim global terbesar, yaitu deforestasi dan penebangan pohon secara massal. Khususnya yang terjadi di Kalimantan dan Sumatra. Data yang diperoleh dari riset mereka memaparkan bahwa hutan di Kalimantan dan Sumatra termasuk dalam sebelas wilayah dunia yang berkontribusi terhadap deforestasi secara global. Karya ini menjadi salah satu yang paling relevan terhadap isu strategis dalam permasalahan ekologi.
Imaji Ruang
Di dalam sudut ruang gedung Jogja National Museum, terdapat kolaborasi sengit dari enam artis yang menghasilkan sebuah kolektif yang menjual produk-produk ramah lingkungan. Kolektif yang menamai dirinya sebagai Piramida Gerilya ini membentuk Warung Murakabi yang menjual aneka pangan lokal seperti beras, keripik singkong, kopi, teh, hingga minuman secang. Selain itu, ada juga produk fashion seperti tas, pouch, dress, lurik, dan lain sebagainya. Di sebelah Warung Murakabi, terdapat instalasi yang menggambarkan ladang dan sawah sebagai “ruang” penghasil sumber pangan yang melimpah.

Selain melihat karya-karya seni dari para artis, pengunjung juga bisa menikmati sajian-sajian lain di luar gedung pameran. Beragam tontonan mulai dari pertunjukan musik, tari kontemporer, hingga workshop tersaji di panggung belakang. Tak luput juga, pengunjung dimanjakan dengan aneka booth merchandise yang bisa bikin kita semua makin terlihat artsy maksimal.
Arts in Common menjadi tema utama pada gelaran Artjog hingga tiga tahun mendatang. Jika tahun ini tentang ruang, belum ada bocoran tentang tema Artjog dua tahun mendatang. Yang jelas, segala jenis ekspresi artistik merupakan manifestasi dari kreativitas-sumber daya yang dimiliki manusia untuk pengetahuan bersama.
- Riwayat Pergulatan Identitas dan Jalan Pintas Menikmati Sastra bagi Kaum Milenial - 4 September 2019
- Pesona Artifisial dan Imaji Ruang Artjog - 7 August 2019
- Menikmati Jaz Pertama di Kerajaan Jawa - 24 April 2019