Bercermin, 4
seseorang di dalam cermin bukanlah diriku
wajahnya tertutup malam yang kehilangan tangan
tubuhnya sebuah kecemasan
di antara lampu jalan yang menyala
dan mobil-mobil yang melintas
kau akan melihat sebuah hitam yang padam-balam pada matanya
—mengerkahmu dengan getah api
yang tercipta atau tersisa dari madah suci
kau akan bersyukur jika sebelum ini
kau telah mengisap darah pagi
atau sekadar membaui langkah-langkah lesi
yang membawamu tiba di sini
baiknya kuning yang kaukenakan itu kautanggalkan
dan putih yang mendekapmu lekat, bisikilah agar ia tak
membutakanmu terlampau lama
di hadapan cermin kita akan sosok-sosok
yang telanjang, yang balita dan telanjang, yang tak lagi peduli
dari mana firman menghujan
dan lindap ke mana tuhan menghilang
kita akan memejamkan mata, dan memeluk diri kita sendiri
aku akan menciummu jika engkau menggigil dan bibirmu membiru
seseorang di dalam cermin itu tak akan terganggu
sejak awal, ia memang hanya berharap
kita berdua saling merelakan
tatapan mata
dan bisu suara
seseorang di dalam cermin itu akan memanggilmu
tak perlu takut, justru relakanlah merahmu bertumpahan
dari tanganmu dari kakimu
dari lubang-lubang yang ditimpakan waktu kepadamu
penderitaan dan kita adalah dua sisi dalam kertas
terpisahkan namun dekat dan saling menghantui satu sama lain
jangan dulu menanyakan apalagi meminta kebahagiaan
jangan dulu, sebab kita masih sisa mani
yang amat fani dan tak murni
aku akan menuntunmu untuk merasai
cairnya duka dalam dagingmu
dan sampai lengking nyaring di tempat yang jauh itu terdengar
aku akan berpura-pura kekal di sampingmu
memastikan kau mengira kita dan sebuah cermin itu
juga seseorang di dalamnya itu
tidaklah pernah lebih samar dari apa pun
tidaklah lebih rapuh dari apa pun
tidaklah lebih bias dari apa pun
kita bercermin
dan kita tahu segala sesuatu
tak benar ada
pada akhirnya itu
Cianjur, 5 September 2016
Satori
sembari mengangkat gelas kosong di hadapannya
ia terpukau pada matanya, matanya sendiri, yang melesak lekas
menuju piring
untuk kemudian kembali
kepada rongga yang mencintainya
ia putar-putar lemah gelas di tangannya itu
seperti tengah memecah-mecah doa, atau mungkin dosa,
yang konon menjalar-jalar di dalam dirinya
masa kanak-kanak mengerubungi rambutnya
juga telinganya, juga lehernya, juga punggungnya
dari atasnya seperti matahari sejurus sinar-tampak turun
layaknya wahyu
tegak di hadapannya dan memurnikan apa pun itu
yang barangkali ada di sana
tersisa di sana
di gelas itu
sedikit pun ia tak peduli
atau setidaknya terlihat seperti itu
pada alunan musik yang merambat masuk serupa gelombang
lewat celah pintu atau celah jendela
atau celah di dalam dirinya
di dalam jiwanya
sebuah pisau seumpama perjanjian
yang ditanggungkan
bukan kepadanya, tetapi kepada layar yang saat itu memerangkapnya
kepada ruang yang saat itu mengurungnya
sehingga kita yang sesungguhnya tak berada di sana
tak bersamanya dan sama sekali tak dikenalnya
bisa melihatnya
menyaksikan ia merelakan satu-satu
bagian dirinya terlepas
hingga hanya menyisakan sedikit saja
hingga ia di hadapan kita itu
tak lebih dari sebuah kontur yang terkhianati
yang terluka oleh warna-warna
dan dirinya sendiri
“pada akhirnya, merah itu akan menguasainya,” ujarnya
kita tak tahu apakah ia sedang bicara soal pisau itu, atau gelas itu,
atau mata itu
semua yang tadi tergambar itu masihlah ada
lalu seketika ia bangkit, meninggalkan bayangannya sendiri
yang membusuk seperti waktu
ia letakkan kembali gelas yang kosong itu
dan ia untuk kesekian kalinya terpukau, pada matanya
yang kali ini meloncat jauh dan meninggalkannya
dan melupakannya
“sebab yang kita miliki
seluruhnya adalah apa yang tak kita miliki,”
ujar biru
yang begitu saja muncul di sebuah sudut
lantas membesar, dan membesar
menjadikan yang tersaji itu sepenuhnya dirinya
sepenuhnya… adalah dirinya
dan kita menyadari
barangkali
sedari tadi kita ini hanyalah sehimpun mimpi
mimpi-mimpi purba
yang baru akan kalis sempurna
sesudah sirna
2016
Kildren
/1/
di antara kita berlima
entah siapa yang akan kembali lebih dulu
langit yang selalu sama
jendela yang seperti mereka
—terlampau besar
untuk tubuh kita yang belia
yang remaja
seseorang yang terbang
kelak menjadi seseorang yang hilang
kecuali jika ia seorang pemenang
di dalam pesawat
kita sesuatu
yang begitu tahu apa arti peluru
di luar itu
kita meraba-raba
bagaimana kita bisa tahu
dan mengenal waktu
hanya untuk mendapati
semua ini
pasti palsu
/2/
di antara kita berlima
entah siapa
yang akan melupakan kehidupan ini lebih dulu
ciuman-ciuman
pelukan-pelukan
malam yang kerap singgah
di sebuah rumah
sepasang kursi di sebuah meja
yang menyimpan perjumpaan-perjumpaan
di mulut mereka
kita adalah maut
yang tersamarkan lengang jalan
sewaktu-waktu hujan turun
dan ia tak menghapus apa pun
selain jejak
dan dirinya sendiri
apakah tidak ada air mata
di kawasan ini?
apakah asap rokok
tak merasuk dan melukai kita
seperti dosa?
seolah-olah aku selamanya berdiri
dan bersiap menghabisimu
di saat yang sama
seperti yang mungkin pernah terjadi
getir bibirmu melumatku
dan kita tak lain
sejumlah baling-baling
yang terus berputar
dan berputar
tak sekalipun
kita peduli pada mati
atau kita pernah seperti itu
namun kita melupakannya
/3/
di antara kita berlima
entah siapa
yang akan terlupakan lebih dulu
perjalanan bermobil
hujan yang seperti berupaya
melenyapkan
luka dan kekalahanmu
seekor naga yang meliuk-liuk dan mati
di punggung seseorang
dan di mataku
pada nyala api
kita embuskan putih sepi
gelap tak pernah ilusi
ia ada di hadapan kita
seperti kita selalu ada di hadapannya
tidak apa kau kembali menyentuhku
dengan tangan penuh masa lalu
tidak apa
bahkan jikapun yang tersisa
setelahnya hanya biru
atau abu
/4/
setelah ini
satu per satu dari kita
akan menempuh
jalan yang sama
setelah ini
satu per satu dari kita
akan menemukan hal-hal baru
pada jalan
yang kita tempuh itu
Bekasi, 12 Juli 2016
- Manusia Modern dan Realitas yang Bergerak Cepat - 28 December 2019
- Sebuah Lubang yang Lebar dan Dalam - 29 November 2019
- Pesan Moral - 29 September 2017