Di antara kebul wangi espresso, seorang kawan yang masih kuliah di semester lima bersemangat sekali mendedahkan bahwa segala bentuk ketidakadilan hidup ini, utamanya dalam perkara-perkara sosial-ekonomi, disebabkan oleh tenggelamnya kita semua kepada jurang kapitalisme. Kapitalisme, lah, akar masalahnya! Semua orang telah digelapkan mata pikiran dan batinnya oleh panji-panji ekonomi liberal kapitalisme, sehingga yang miskin kian miskin dan yang kaya kian kaya, lanjutnya.
Saya bertanya, lantas apa solusinya menurutmu?
Ia pun, seperti saya duga, mengutip Karl Marx, berikutnya mengalirlah dendang-dendang sosialisme. Ia bilang, terbentuknya kelas-kelas ekonomi yang mengindikasikan ketidakadilan ekonomi akan hilang dengan sendirinya andai distribusi ekonomi dikendalikan oleh negara, sehingga takkan ada lagi pertentangan kaum buruh (proletar) dengan kaum pengusaha (borjuis), karena semuanya berjalan secara berkeadilan.
Saya kembali bertanya, apakah kamu tidak terbayang untuk menempatkan agama sebagai solusinya, toh negara takkan mungkin melakukan apa yang kamu idealkan tadi?
Ia terkekeh. Amat keras, sampai beberapa orang di sekitar mengarahkan tatap dan lirik ke meja kami.
“Justru agama adalah candu, begitu kata Marx. Agama justru menjadi alat legitimasi yang memanjakan kaum pemilik modal, kaum borjuis, untuk menindas kaum proletar dengan iming-iming kebahagiaan hidup setelah mati, akhirat. Para kiai, ustadz, dan tokoh agama, berada di balik semua itu. Persekutuan busuk para agamawan dan kaum borjuis membuat ketidakadilan semakin parah. Jelas, agama itu hanya omong kosong!”
Saya ikut tertawa—sekadar bertoleransi padanya. Memang lebih sering saya memilih tak berkontroversi dengan kawan-kawan atas perbedaan-perbedaan pandangan sejenis ini, karena saya percaya pada suatu hari nanti, saat ia makin dewasa, makin intens menghadapi realitas kehidupan, lahirlah renungan-renungan mendalam terhadap realitas vis-a-vis idealitas, ia akan bisa lebih bijaksana dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Realitas kehidupan akan mengajarkan pada kita, juga kawan muda itu, bahwa sesungguhnya dikotomi Kanan dan Kiri hanya ada dalam teks-teks buku, dalam wacana, lalu luruh dengan sendirinya dalam praktik kehidupan sehari-hari. Kanan dan Kiri menjadi tak berbatas lagi di alam nyata. Ia bahkan absen dari world view. Sesungguhnya.
****
Ketika Samuel P. Huntington beberapa tahun silam menggemparkan dunia melalui publikasi karyanya, The Clash of Civilizations, banyak sekali pemikir dan pula politisi dunia yang percaya bahwa dikotomi “dua peradaban” itu adalah representasi pertikaian geopolitik antara sosialisme dan kapitalisme di kancah global. Keduanya saling berebut posisi, jamaah. Marx memprediksikan bahwa sosialisme akan berjaya menggantikan kepongahan kapitalisme atas dasar kemuakan naluriah manusia pada ketidakadilan-ketidakadilan sosial-ekonomi itu.
Tak lama berselang, Francis Fukuyama mengeluarkan bantahan terhadap tesis Huntington itu melalui bukunya, The End of History and The Last Man. Buku ini menempatkan “demokrasi liberal” (Amerika dan Barat) sebagai bukan saja akhir dari evolusi sejarah ideologi dunia, tetapi sekaligus akhir dari Perang Dingin yang merepresentasikan perseteruan kapitalisme dan sosialisme. Demokrasi liberal adalah solusi terbaiknya untuk menjadi pemilik panggung dunia! Fukuyama mengakui bahwa ia dipengaruhi oleh Hegel melalui Alexandre Kojeve tentang kemanunggalan ideologi dunia yang homogen dan universal. Tetapi, beberapa waktu kemudian, Fukuyama menerbitkan The Great Disruption, yang justru memberikan berbagai kritisi kepada demokrasi liberal melalui apa yang diistilahkannya social capital.
Nun jauh di Banyumas, tersebutlah sosok sastrawan dan agamawan yang amat rendah hati bernama Ahmad Tohari, pengarang novel Ronggeng Dukuh Paruk. Suatu hari, ia berkomentar tentang the clash of civilizations itu dengan sangat sederhana: “Bagaimana mungkin sesuatu yang beradab itu bertikai dengan sesuatu lainnya yang juga beradab? Benturan antarperadaban itu tepatnya adalah pertikaian antarketidakberadaban. Sebab tidaklah mungkin keadaban melahirkan pertikaian.”
Saya terngiang-ngiang betul sama cerita itu. Ketika saya membuka-buka kembali buku Huntington dan Fukuyama, dan mengaitkannya dengan semangat kawan muda yang memuja Marxisme itu, saya menemukan dua pertanyaan ini:
Pertama, benarkah spirit dasar (ruh) ideologi sosialisme dan kapitalisme sepenuhnya bertentangan?
Saya yakin secara ontologis tidak. Secara epistemologis iya—maklumlah, keduanya bersumber pada basis kultur-ideologi yang berbeda. Jika dikembalikan kepada watak dasar hidup manusia yang tidaklah beda-beda pula dengan binatang, persoalan insting bertahan hidup niscaya menjadi hal pokoknya. Insting ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya manusia, sebutlah dari era berburu, bertani, lalu berindustri. Semua bentuk ekspresi itu secara prinsipil beraras pada usaha untuk bertahan hidup.
Sosialisme yang mengidealisasikan konsep hidup berkeadilan secara sosial jelas sangatlah baik. Agar tak merebak kemiskinan yang amat memilukan di hadapan kekayaan yang berjuntaian. Persoalannya ialah bagaimana cara teknis mewujudkan keadilan sosial itu sepenuh-penuhnya keadilan, sehingga tak ada lagi kelas-kelas sosial-ekonomi?
Mustahil!
Insting bertahan hidup tadi niscaya akan memantik seteru jika merasa diusik, tak peduli itu bagi kaum miskin ataupun kaya. Setiap orang dalam kondisi sosial-ekonomi apa pun pasti akan selalu berjuang untuk menaikkan levelnya. Pasti! Para guru, misal, beriang hati ketika kebijakan sertifikasi digelontorkan oleh pemerintah. Pendapatan ekonomi mereka meningkat, berikutnya level sosialnya pun menanjak. Kaum buruh berdemo nyaris setiap tahun menuntut kenaikan gaji juga dalam maksud menaikkan pendapatan ekonominya, berikutnya status sosialnya. Kaum pengusaha juga mengembangkan berbagai strategi ekonomis, termasuk upaya penggantian tenaga kerja manusia dengan mesin yang jelas lebih produktif, murah, dan tentunya tidak bakal mendemonya.
Semua kita secara instingtif bergerak dalam arus yang sama: meningkatkan pendapatan ekonomis, berikutnya meningkatkan level sosial.
Sampai di sini, praktik distribusi keadilan sosial-ekonomi yang dicitakan sosialisme amatlah mustahil diwujudkan, sebab berlawanan dengan insting tadi yang pasti akan selalu diselubungi kompetisi-kompetisi. Ada negara memang yang bisa menempatkan diri sebagai poros regulatornya, yang punya kekuatan memaksa untuk mewujudkannya. Tetapi, tentu saja, negara takkan pernah berani menerapkan regulasi untuk menguasai seluruh aset dan modal pemilik usaha. Silakan lihat bagaimana Freeport mengeduk kekayaan Papua setamak-tamaknya entah sampai kapan. Berapakah nilai ekonomis yang diterima rakyat Papua dan kas negara dari Freeport? Anda tentu paham komposisinya—dulu saya pernah menuliskannya. Negara paling banter hanya bisa menerapkan regulasi pajak sebagai upaya paling rasional dari cita-cita mengendalikan keadilan ekonomi itu.
Sekali lagi, sampai di sini, mustahillah mewujudkan keadilan sosial-ekonomi seadil-adilnya sesuai cita sosialisme. Sosialisme gagal total untuk dibumikan dan hanya berhenti sebagai wacana di meja diskusi. Sosialisme tetaplah tumbang di hadapan kuasa kapitalisme.
Lantas, bagaimana dengan kapitalisme?
Tudingan para aktivis Kiri terhadap kaum pengusaha, atau kapitalis, senantiasa berpuncak pada hal-hal sejenis ini: serakah bagai gurita dan asosial. Si kaya makin kaya, kaum buruh makin nelangsa. Buruh hanya diperlakukan bagai mesin yang tak berperasaan dan berkeinginan, sementara para pemilik modal berkelana ke mana-mana dalam kemegahan dan kemewahan. Maka hanya ada satu kata: Lawan!
Merajalelanya simpul-simpul ekonomi memang merupakan fakta yang tak terbantahkan. Apa pun itu, persekutuan kuasa dan modal senantiasa meniscayakan pengisapan, hegemoni, dan otoriterisasi. Di dalam praktik ini, sulit sekali mengharap keadilan.
Tetapi, harus pula diakui bahwa pusaran-pusaran aktivitas kapitalisme faktanya tidak serta-merta menghantar pelakunya menjadi gurita yang serakah, berikutnya asosial. Jika Anda melihat Freeport sebagai contoh terbaik di negeri ini untuk menunjukkan praktik monopoli kuasa dan modal yang mengisap, menghegemoni, dan mengotoriterisasi, ia bukanlah satu-satunya aktivitas kapitalisme kita. Kita juga memiliki Chairul Tanjung yang gemar membangun masjid dan berbakti sosial, almarhum Bob Sadino yang murah hati, Jaya Suprana yang dermawan, Susi Pudjiastuti yang selalu terdepan dalam menolong korban-korban bencana alam, dan lain-lainnya. Mereka semua adalah pelaku kapitalisme yang tidak menjadi asosial di tengah pencapaian-pencapaian ekonomisnya yang luar biasa. Tentunya, Anda bisa mengambil contoh-contoh lain yang selaras di sekitar lingkungan masing-masing.
Apakah lantas kelompok borjuis yang tidak kapitalis—jika makna kapitalisme haruslah didudukkan secara inferior sebagai “pengisapan, hegemoni, dan otoriterisasi”—hendak dimasukkan ke dalam kelompok sosialis berkat aksi-aksi charity-nya? Tentu ini sumir sekali. Mereka tetaplah sang kapitalis, tetapi dalam marwah yang sosialis. Mereka adalah sosialis, tetapi dalam praktik kapitalistik. Setengah kapitalis, setengah sosialis. Atau, tepatnya, diametri sosialisme dan kapitalisme tidaklah penting lagi.
Sampai di sini, telah rengkahlah peta klasik sosialisme versus kapitalisme warisan Perang Dingin itu, bukan? Ia tampak begitu asing, tak lebih dari romantika pertikaian ideologis masa silam yang tak bisa dicerabut sama sekali dari sejarah pertarungan macan geopolitik dunia antara Blok Timur dan Blok Barat, antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Anehnya, kawan saya tadi begitu rela hati menjadikan dirinya pemuja seteru klasik yang kini tidak relevan sama sekali. Oh iya, saya lupa satu hal tentangnya: ia masih muda.
Kedua, bukankah semua hasrat terdalam manusia, yang oleh Fukuyama dinarasikan sebagai social capital, hanya tergaransi aktualisasinya melalui agama dengan lebih kokoh dibanding ideologi itu sendiri?
Fukuyama tampak menyesali pandangan lamanya bahwa demokrasi liberal, lah, yang patut menjadi pemenang clash of civilizations itu. Di buku The Great Disruption, ia banyak bicara tentang “hakikat kemanusiaan” dalam konstelasi sosial-ekonomi-global, yang lalu mengerucut pada istilah “social capital”. Ia meninggalkan demokrasi liberal bukan sebagai “yang ideal” bagi wajah peradaban dunia.
Bagaimanapun, Fukuyama takkan bisa menampik narasi Max Weber dalam buku Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme yang banyak bicara tentang peran agama dan (atau) etika dalam korelasinya dengan perkara-perkara sosial, ekonomi, dan sejarah dunia. Jika kita mengikuti pandangan Weber, akan dimengerti bahwa gerakan untuk membingkai aktivitas-aktivitas kapitalisme Barat dengan nilai-nilai etika dan agama tidaklah sepi sama sekali. Sangat marak! Sosok Bill Gates, bos Microsoft, yang kekayaannya takkan habis dibelanjakan selama 218 tahun, menjadi bukti nyata bagi tesis Weber tentang dedikasi etik manusia kapitalis atas kemanusiaan yang berkeadilan sosial melalui lembaga amal Bill & Melinda Gates Foundatoin.
Apa yang dinarasikan Fukuyama sebagai social capital sejatinya merupakan “koreksi kritis” terhadap demokrasi liberal itu sendiri. Social capital adalah rangkaian tata nilai universal-kemanusiaan yang menjunjung keadilan, kejujuran, kepedulian, kedermawanan, dan sejenisnya. Menjadi seorang kapitalis, dalam sudut social capital ini, sama sekali bukanlah masalah sepanjang watak kemanusiaan universal itu dirayakan. Menjadi sosialis juga bukanlah sebuah problematika, dalam sudut social capital ini, sepanjang diiringi kesadaran akan hak milik orang lain. Menjadi apa pun, tegasnya, sungguhlah tak perlu menjadi persoalan sepanjang ia bertumpu pada ekspresi-ekspresi social capital tersebut.
Pada derajat inilah, agama memberikan nilai plus bagi realisasi social capital yang sanggup mengikat penganut-penganutnya dengan lebih kuat—yang tak bisa diberikan oleh sekadar ideologi. Bila Anda seorang muslim, misal, ajaran Islam tentang zakat, puasa, dan sedekah akan membentuk spirit Anda untuk tidak alpa pada ibadah berbagi rezeki kepada kaum dhuafa. Anda memang harus bekerja keras agar menjadi kaya, menjadi kapitalis, tetapi harta kekayaan Anda diyakini akan kotor sekali bila tidak disedekahkan sebagai ritual penyucian harta (menjadi sosialis).
Jika di sini muncul pertanyaan, mengapa harus membawa-bawa agama jika tujuannya semata menegakkan social capital yang notabene merupakan nilai-nilai universal kemanusiaan?
Jawabannya sederhana: sebab hanya dengan berlandas pada spirit agama, keterikatan aksi-aksi charity itu akan lebih kuat menghunjam di dalam dada. Adanya hadiah pahala, keberkahan, dan kehidupan bahagia di alam akhirat yang dijanjikan Tuhan melalui agama kepada orang-orang yang beramal baik seperti sedekah memijarkan orientasi eksistensial yang sangat kuat di jiwa umat beragama. Inilah hadiah orientasi hidup jangka panjang yang hanya bisa diberikan oleh agama. Ingat selalu, segala sesuatu yang tidak berlandaskan pada suatu orientasi, takkan memiliki alasan yang kuat untuk diamalkan secara berkelanjutan. Tanpa orientasi hidup, kita akan serapuh tanaman yang tergeletak di permukaan tanah yang kering, sehingga mudah terhempas bila ada angin menerjang. Dengan bekal orientasi hidup, kita akan sekokoh pohon yang akar-akarnya menghunjam jauh ke kedalaman tanah, sehingga akan senantiasa tegak sekalipun ada badai menghempas.
Sayangnya, Marx justru menista agama sebagai candu belaka. Sayangnya, kawan muda tadi bersetuju saja pada Marx.
Jogja, 26 Oktober 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Arip Senjaya
Dikotomi kanan dan kiri itu bukan wacana saya kira, apalagi diada-ada, jika kita kaitkan pada sejarah kiblat (berubahnya pusat dan arah penghadapan). Dalam surat al-Baqarah 177, Allah menerangkan bahwa “kebajikan itu tidak di timur dan di barat… dst.” Artinya, Allah mengakui ada kecenderungan manusia untuk memihak arah timur dan arah barat (jika konteknya tentang kiblat), tetapi jika kita kaitkan dengan kata ‘kebajikan itu’, maka itu baik kita dengar sebagai kecenderungan orang filsafat yang kerap takjub pada kekuatan filsafat Timur atau filsafat Barat. Maka, ketika para ahli kemudian membagi dua kekuatan dunia, dasarnya ada pula dalam sejarah kiblat dan kini –yg kita bicarakan– sejarah pemikiran. Memang harapan kita dikotomi itu lebur saja. Tapi bagaimana bisa, sebab keduanya berbeda. Fungsi pembagian juga penting untuk memudahkan kita dalam pemilahan corak pikir sehingga dengan begitu juga kita mungkin bisa melihat titik-temu antarkeduanya.