BENIH
(Di Hadapan Lukisan-Lukisan KH. M.Fuad Riyadi)
/1/
Untuk naik
Kau harus turun
Sebab inti langit bukan di langit
Inti bukit bukan di bukit
Birunya biru
Hijaunya hijau
Inti dari inti
Ada dalam benih
Maka untuk naik
Kau harus turun
/2/
Tapi tidak:
Kau lalu lalang atas punggung bumi
Menjadi tua dan bungkuk
Tanpa pernah turun melainkan jatuh
Kau injak-injak benih
Pontang-panting mencari-cari diri
Ke selatan ke utara ke timur ke barat
Padahal dalam benih berawal dan berakhir segala arah
Maka untuk naik
Kau harus turun
/3/
Dalam benih kau akan menemu:
Inti dirimu bukanlah dirimu
Kau adalah arus awan
Yang diciptakan dari mimpi orang lain
Kau adalah air yang memercik
Saat si nelayan memukulkan dayungnya di ceruk pagi
Tapi kau juga api, angin, pelangi
Dan pepasir:
Kau adalah semua itu dan bukan siapa pun
/4/
Dalam benih telingamu menjadi kuil
Yang menampung segala suara
Sepasang matamu tasik
Yang membeningkan debu-debu kenangan
Ribuan kehidupan datang dan pergi
Pada bentangan kanvas Asmara Khondi
Kau berputar dan menggasing
Bak selembar daun penuh cahaya matahari
Berputar dan menggasing
Mengikuti pusaran thawaf dzikir putih.
LIAN SAHAR
Seraut warna gemetar
di jurang kesunyian
menanti saat penciptaan
seperti tatapan mata
yang terpesona
pada yang tak dikenal.
Lalu dengan jemari
yang hampir-hampir beku
kau lukis wajahmu
sedang bermuka-muka
dengan kefanaanmu
sendiri.
Sementara malam—
seakan-akan permukaan cat air—
memantulkanmu
dari kejauhan.
2011
SEBUAH PELUKAN
*
Sebuah pelukan
Seperti jembatan yang gemetar
Antara sejarah dan kenangan.
Antara getar api di dalam
Dan gaung kebisuan
*
Sebuah pelukan
Menulis segala yang tak dicatat matahari,
Sebuah pelukan
Adalah semburan darah kata-kata
Terkaca seluruh arah dan cinta manusia
*
Sebuah pelukan
Mengubah kata menjadi tubuh,
Tubuh menjadi alam
Dan alam menjadi bayang-bayang.
*
Sebuah pelukan
Menghimpun cakrawala dan laut
Dan waktu lenyap meniti buih-buihnya.
*
Sebuah pelukan
Seperti hujan di telapak tangan
Menghapus seluruh bentang jalan
Ia juga akar
Puisi dan api
Debu yang merindukan debu
Keheningan gunung
Dan kepastian bintang-bintang
Atau mungkin awan, awan yang lewat…
Tapi ah, bukan:
Sebuah pelukan
Adalah inti air mata.
HUSREV DAN SHIRIN
Pagi hari di sebuah taman
Shirin menyingkapkan
cadarnya
di hadapan tiga kuntum mawar
yang memerah
dan mekar
seketika.
Matahari sembunyi di kerajaan
rambutnya
dan serumpun lili air
sibuk menampung mimpi-
mimpinya
yang berjatuhan
dari geraian awan-
awan
Shirin menyangka aman
menunjukkan parasnya
di hadapan tiga kuntum mawar
tanpa tahu
kecantikannya telah meloloskan diri
menembus setiap pintu
memantul pada ribuan cermin
dan terlukis
pada sebait sajak Husrev
tentang kecantikan
seorang
gadis.
Husrev belum pernah
memandang
kecantikan yang begitu agung
sebagaimana terjelma
dalam sebait sajaknya
maka kala itu juga
ia jatuh cinta
pada gadis
ciptaannya
sendiri.
Ia biarkan tangan-tangan mungil gadis itu
meneruskan merangkai baris-baris
sajaknya
ia biarkan tangan-tangan mungil gadis itu
menyusun batuan, kolam,
jalan,
dan mengatur jumlah dedaunan
pada bebatang
palma
Saat Husrev membuka tirai jendela
segala yang dilihatnya
tampak berbeda:
gumpalan awan, pohonan,
perbukitan
bagaikan ditata ulang
oleh sepasang tangan
yang terampil
dengan sangat
perlahan
dan hati-
hati
Saat itulah Shirin lewat
di jalanan
dan kebetulan sepasang matanya
berpapasan
dengan sepasang mata
Husrev
Husrev tak bisa membedakan
antara pandangan seorang gadis
dalam sajaknya
dengan pandangan Shirin
Shirin tak bisa membedakan
antara pandangan Husrev
dengan pandangan
tiga kuntum
mawar
hanya beberapa jenak beradu pandang
namun keduanya paham
takdir telah membuhulnya
dalam legenda
dan masmur-
masmur
baka
para
pencinta.
SAJAK UNTUK SAJAK
Karena Arjuna bisa memanah dalam gelap
maka penyair tua itu pun mencoba menulis sajak dalam gelap
Ratusan jagat raya dan galaksi datang dan pergi dalam rasi angannya.
namun ia kesulitan menuliskannya, sebab kegelapan memiliki bahasanya sendiri
Tangannya gemetar menyusun huruf-huruf untuk mengisahkan pengalamannya yang kaya
Namun huruf-huruf itu menampiknya, dan bersikeras mengisahkan dirinya sendiri, sekehendaknya.
Maka penyair tua itu menyerah: ia biarkan suara-suara lain bicara
Suara yang merupakan miliknya sekaligus bukan miliknya, suara yang didengarnya
sekaligus tak didengarnya.
Saat sajak itu selesai menuliskan dirinya, hasilnya sama sekali tak sesuai harapan si penyair tua:
Sajak itu bukan sajak tentang dirinya, tapi sajak tentang sajak, bukan sajak untuk dirinya, tapi sajak untuk sajak.
Rahasia dan makna kata-katanya tak bisa tersingkap dalam ruang dan waktu manusia
melainkan hanya membukakan diri dalam ruang dan waktu kata-kata itu sendiri
Huruf-hurufnya seperti ratusan lembar cermin yang saling berhadapan dan berpantulan:
lambang menafsirkan lambang, umpama berkaca pada umpama.
Bila sajak itu ditempatkan di taman, maka sejenak kemudian taman itu akan berubah:
sajak itu akan menyusun ulang komposisi pohonnya, memangkas rumput-rumput liarnya,
menjernihkan air mancurnya.
Bila sajak itu ditempatkan di langit, maka sejenak kemudian langit pun akan berubah:
Sajak itu akan menggubah warna dan bentuk-bentuk mega, menata ulang bintang-bintang, menyulih arah peredaran planet-planet
Di tempatkan di mana pun, sajak itu selalu mengubah segalanya menjadi ciptaan baru
Maka gunung, laut, dan langit menjadi gunung, laut dan langit yang lain
Hijau menjadi hijau yang lain, biru menjadi biru yang lain.
Tiba-tiba penyair tua itu menyadari, bahwa ia sudah sampai pada batas tepi mimpinya:
Puluhan tahun ia menulis aneka sajak untuk menyaingi Tuhan, namun baru sajak inilah
yang berhasil
Kini, dalam gelap, parasnya tampak bercahaya bak paras seorang bayi yang terberkati
Jasad tuanya terbaring di samping sajak terakhirnya, agung dan sendiri,
Seakan-akan sebuah perahu yang telah angkat sauh
dari tepian pantai di jam larut malam, untuk kemudian menghilang nun di jauhan.
Sumber gambar: senimanhikmah.blogspot.com
- Hantuologi Pedro Paramo - 1 October 2016
- Iblis dan Kreativitas - 4 February 2016
- Setiap Kata Adalah Eksil: Pertemuan Kecil dengan Penyair Palestina - 12 November 2015
Madya
Keren!