Di suatu malam yang hujan deras, seorang cewek muda bercelana pendek nan seksi turun dari mobilnya di warung sup pinggir jalan, tepat di depan seorang lelaki yang berteduh. Tanpa ampun, lelaki itu melotot, begitu lekat dan dalam. Entah apa yang ada di kepalanya seketika.
Tak lama, sang sopir yang ternyata suaminya turun dengan mata melotot ke arah lelaki itu. Sebuah bogem tanpa ampun hinggap ke wajah lelaki yang memelototi paha istrinya. Keributan seketika pecah.
“Matamu jaga!” pekik lelaki suami cewek itu. “Tahu rasa bila istrimu yang digituin!”
“Iya, saya salah. Tapi jangan main bogem juga kali, Mas!” sergah lelaki berjaket hitam itu. “Nggak adil kali!”
Adil?
Saya membatin menyaksikan keributan itu. Adil menurut siapa, ya?
Lelaki yang ngamuk itu jelas sangat jengah menyaksikan istrinya dilecehkan begitu. Hei, stop berkata, “Salah sendiri pakai celana pendek seksi gitu, jadi santapan mata nakal, deh….” Ini kalimat yang amat memualkan. Kau tentu boleh ditampar lagi dengan kalimat begini, “Punya mata nggak disekolahin, jadinya jelalatan gitu….”
Sebaliknya, lelaki berjaket hitam yang bagai ketiban durian itu merasa diperlakukan nggak adil “hanya” karena memelototi paha istri orang kena bogem. Ia merasa bogeman itu keterlaluan, jadinya ya nggak adil.
Ternyata, adil itu subjektif sekali, ya. Adil bagiku belum tentu adil bagimu dan baginya. Begitu seterusnya. Lalu, keadilan macam apakah yang layak kita gugu dan hormati sebagai keadilan kolektif?
****
Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), Indonesia kini masuk dalam status darurat narkoba. Presiden Jokowi mengatakan, setiap hari antara 50–60 orang mati akibat kecanduan narkoba. Setiap tahun, tak kurang dari 4,5 juta warga Indonesia menjadi pecandu narkoba. Dari jumlah itu, sebesar 70% berusia antara 17–27 tahun, alias generasi produktif.
Angka statistik itu memperlihatkan betapa sangat dahsyatnya peredaran narkoba menghajar bangsa ini. Tentu, kita patut menduga kuat bahwa angka itu hanya sebuah gunung es; tampak di permukaan, di bawahnya masih lebih besar lagi.
Rasanya, sampai di sini, sangat masuk akal bila Presiden Jokowi menolak tegas permohonan grasi para bandar/pengedar narkoba. Langkah tegas Presiden Jokowi ini tentu selayaknya dipahami sebagai bagian dari komitmennya untuk melindungi generasi muda dari amukan narkoba.
Begitu.
Maka, Jokowi mendel saja sekalipun PM Australia yang didukung Sekjen PBB, Ban Ki-moon, dan pihak lainnya, terus mengecam pelaksanaan eksekusi mati pengedar/bandar narkoba itu. Kedaulatan hukum bangsa dijadikan senjata pamungkas untuk menolak semua tentangan itu.
****
Di Saudi Arabia, yang oleh sebagian besar umat Islam disebut “rujukan hukum Islam”, praktik hukuman mati (qishash) kini tidak lagi hanya tersekat pada masalah hukum pembunuhan, tetapi juga pengedar narkoba. Bila di masa sebelumnya, qishash hanya diberlakukan pada pelaku pembunuhan, yang notabene berlandas pada ayat-ayat qishash dalam al-Qur’an, kini dinamisasi tafsir ayat telah dijalankan sedemikian rupa oleh ulama dan otoritas Arab Saudi.
Dalam fiqh salaf, seperti terlihat dalam empat Madzhab Besar (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali), hukuman mati sebab melakukan pembunuhan secara tidak haq, ditempuh jikalau pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku atau tidak berkenan menerima diyat (denda). Beberapa TKI kita harus mengakhiri hidupnya di ujung pedang algojo Arab Saudi akibat masalah-masalah sejenis itu.
Penerapan hukum qishash terhadap pengedar/bandar narkoba di Arab Saudi jelas merupakan “fiqh baru” dengan berlandas pada ‘illat al-hukm (sebab hukum) yang dianalogikan pada ayat qishash pembunuhan itu. ‘Illat al-hukm, bila mengikuti pandangan Abdul Wahab Khallaf dalam kitab ‘Ilm Ushul Fiqh, merupakan salah satu metode dalam menggali hukum Islam (al-manhaj fi istinbath al-hukm al-islami). Dengan cara memegang ‘illat al-hukm, maka akan diperoleh “tujuan syariat” (maqashid asy-syar’i) dari sebuah dalil, kemudian darinya digali beragam bentuk hukum praktis (fiqh) secara dinamis.
Secara de jure, memang narkoba tidaklah sama dengan (misal) membacok orang lain sehingga menyebabkannya terbunuh. Tetapi, secara de facto, dampak jahat narkoba justru lebih buruk dari pembunuhan itu. Para pengguna narkoba akan dibuat kecanduan, lalu kehilangan akal sehat, rusak tubuhnya, hancur potensinya, dan berujung pada kematiannya. Inilah kejahatan narkoba, yang secara ‘illat al-hukm layak disejajarkan dengan praktik pembunuhan. Maqashid asy-syar’i (tujuan syariat) itu sepenuhnya bermaksud untuk melindungi kehidupan orang lain (hifd al-nafs).
****
Duh, saya terlihat serius sekali, ya. Iya, ini masalah serius, yang amat tidak lucu untuk dibikin tertawaan.
Secara nurani kemanusiaan, eksekusi mati terhadap vonis apa pun memang akan selalu terasa menyedihkan. Sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM) sangat keras menolaknya. Beragam argumen kemanusiaan akan selalu shahih mentas di sini: mulai level peran si pelaku, kemungkinan kesalahan hakim mengambil keputusan, nyawa yang tidak bisa direhabilitasi, hingga memberikan kesempatan memperbaiki diri sebagai bukti keinsafan pelaku.
Saya tak berhasrat menyebut satu nama pun dari mereka yang telah atau akan menjalani eksekusi mati itu. Kasihan mereka. Sebagaimana Anda, sebagai sesama manusia yang memiliki perasaan, saya pun merasa prihatin banget sama nasib mereka. Hati saya gemetar membayangkan bagaimana kondisi jiwa mereka kala mengetahui bahwa dua hari lagi mereka akan dipaksa mati. Duh, duh, duh….
Tetapi, di sisi lain, keluarga mereka yang menjadi korban dari peredaran narkoba ini (yang itu mata rantainya jelas melibatkan para pelaku itu dalam berbagai perannya) tentu saja tak kalah muaknya. Anak, saudara, atau sahabat yang ceria kini telah menjadi sedemikian membusuknya kayak jerangkong hidup atau bahkan telah berkalang tanah akibat rebak-ruahnya narkoba. Di batin mereka, tiada satu tajwid makian apa pun yang sanggup mewakili luka mendalam itu untuk di-idgham-kan.
Lalu, tersebutlah negara dengan kekuasaannya menjalankan prosedur legal-formal hukum. Prosedur legal-formal itu diciptakan secara kolektif dan shahih oleh lembaga dewan yang kita pilih sendiri, dan oleh pemerintah dijalankan melalui perangkat-perangkat strukturalnya.
Muncullah jaksa sebagai penuntut dan hakim sebagai pengadil, lalu di sisi lain ada advokat sebagai pembela terdakwa, yang berjibaku mulai jenjang pengadilan pertama, lalu tinggi, hingga Mahkamah Agung. Tak cukup di sini, disediakan lagi prosedur Peninjauan Kembali (PK) sebagai “kesempatan terakhir” bagi semua pihak untuk membela diri. Atas nama “memperjuangkan keadilan” yang dikehendaki setiap pihak.
Semua proses prosedural legal-formal ini merupakan satu-satunya jalan hukum yang diakui dan dilindungi konstitusi negara ini. Semua kita seyogianya menghormatinya.
Bahwa kemudian ada ketidakpuasan, ya wajar saja. Baik dari kubu jaksa maupun terdakwa. Sungguh, itu hal yang alamiah saja. Tetapi, hasil final hukum itu juga tak layak dipunggungi oleh semua pihak sebagai “kebenaran prosedural legal-formal” yang konstitusional. Jika kita tak mempercayai dan menghormati semua proses ini, lalu wadah apa lagi yang bisa kita jadikan pegangan bersama?
Tentu saja, polisi bisa salah, jaksa bisa keseleo, dan hakim bisa alpa. Mereka manusia biasa, sebagaimana advokat yang manusia biasa yang bisa saja juga lupa diri. Di luar semua pihak yang terlibat langsung itu, tersebutlah sosok Presiden kita yang memiliki kewenangan khusus berupa grasi. Saat Presiden menolak pengajuan grasi terpidana mati narkoba, yang sudah menempuh proses prosedural legal-formal panjang tadi, atas dasar komitmen melindungi generasi bangsa dari amukan gawat darurat narkoba, di manakah letak kesalahannya?
Saya tak tahu harus menuliskan apa lagi, selain mengeluarkan imbauan selayaknya Bupati Bantul: “Mari hormati semua proses hukum dan hasil akhirnya. Semua kita memang akan selalu berkata dan berbuat sesuai kepentingannya, dan hanya prosedur hukum legal-formallah alat kendali bersamanya. Biar ayem.”
Al-Faatihah….
Sumber gambar: minnlawyer.com
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
nitajul fikriyah
Benar atau salah diputuskan dari sisi mana kita mengambil sudut pandang.
Semoga kita tidak terjerembab dalam hal-hal yang merugikan diri dan orang lain.