Puisi Pulang Kampung

Judul               : Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?

Penulis             : Kiki Sulistyo

Penerbit           : Basabasi

Cetakan           : Pertama, Mei 2017

Tebal               : 92 halaman; 14 x 20 cm

ISBN               : 978-602-6651-01-3

Kota tak akan habis diungkap dengan kata-kata. Kita menjumpai banyak penyair yang sering mengisah kota: Wiji Thukul, Esha Tegar Putra, Yudhistira ANM Massardi, dan masih banyak lagi. Para penyair itu mengisah Solo, Padang, dan Jakarta, tapi tidak banyak yang memuisikan Ampenan. Kawasan yang dulu menjadi pusat kota di Pulau Lombok itu kiranya kurang terkenal untuk dikisahkan dalam puisi. Ampenan muncul di puisi baru lewat beberapa nama: Acep Zamzam Noor, Lamuh Syamsuar, Sindu Putra, dan yang paling rajin tentu Kiki Sulistyo. Kiki sendiri lahir Ampenan, dan karena itulah ia yang paling mungkin mengisah Ampenan dengan sahih. Pengisahan Kiki dijelmakan puisi-puisi dalam buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? (2017).

Pada pengantar, Kiki menjelaskan keberadaan dirinya di Ampenan, “rumah saya terletak di sebuah gang, tepat di tengah kota kecil Ampenan. Tak sampai satu kilometer jaraknya dari pantai, pusat pertokoan, pasar, dan terminal. Di gang sempit itu saya bertetangga dengan orang Bugis, Melayu, Cina, dan Arab.” Kiki mengawali pengenalan ke Ampenan pada kita melalui penggambaran multikulturalitasnya. Selain itu, jika kita perhatikan, posisi Kiki di Ampenan strategis untuk mengisah Ampenan dari segala sisi. Kiki dekat dengan warisan alam Ampenan (pantai), ruang transaksi ekonomi tradisional dan modern (pasar dan pusat pertokoan), serta prasarana transportasi (terminal). Itulah beberapa tempat penting dalam puisi-puisi Kiki.

Tentang pantai di Ampenan, Kiki menulis, “kalau pasir dijadikan sisir kupenuhi rambutku dengan zikir/ udara lapang semasa asar dan sayup suara dari sisa pasar/ jalan itu lurus saja menuju pantai masa kanak/ melewati toko-toko Tionghoa, gudang-gudang Belanda/ sebuah kelenteng tua dan pos penjaga yang selalu terbuka.” Dalam puisi yang berjudul Pantai Ampenan itu, Kiki mendeskripsikan jalan menuju pantai masa kanak. Pemilihan frasa pantai masa kanak mengungkapkan kerinduan besar Kiki pada pantai Ampenan di masa lampau. Ia lantas menambahkan, “kadang daun ketapang gugur siang dibawa ombak/ ke pulau seberang/ dengan gurat usia yang sarat pertanda/ mimpi-mimpi mengembang di tiap tikungan.”

Kiki mengungkap transaksi ekonomi di Ampenan lewat puisi berjudul Kawasan Makelar, “banyak makelar di gang itu/ makelar arloji dan cincin batu/ di rahang gang, sebuah toko bangunan/ seorang perempuan perempuan setengah botak/ menggendong boneka/ dulu, boneka itu anaknya yang mati kena malaria.” Pusat pertokoan Ampenan Kiki tampilkan dalam gambaran yang miris. Namun, Kiki tetap menyisipkan harapan di pusat pertokoan itu. “Pada jam tertentu gang itu begitu kusam/ anak-anak menyeret ban bekas/ mencari sisa-sisa percakapan// seperti mencari masa depan/ di jalan-jalan kecil Ampenan,” tulis Kiki. Anak-anak Ampenan tahu, masa depan mereka mungkin sebatas berperistiwa di pusat pertokoan itu.

Terminal hadir di puisi berjudul Simpang Lima. “Di sini dulu ada terminal, tempat para petarung berkumpul/ sebelum tanggal tahun-tahun dan pisau tajam menumpul/ pernah seseorang membohongi ibunya dengan durhaka kecil/ maka kakinya terkilir setelah jatuh di selokan kering/ ibu, seseorang itu aku, tak pergi mengaji/ sebab tergoda poster bioskop petang hari,” tulis Kiki. Pada akhirnya kita sampai pada titik terpenting Ampenan dalam puisi Kiki. Bukan pantai, pasar, maupun terminal, melainkan simpang lima. Pikat simpang lima ada pada Bioskop Ramayana. “Bioskop itu salah satu tempat yang paling berkesan buat saya. Mungkin karena bangunan art deco dengan tiang-tiang bundarnya, mungkin karena peristiwa yang melibatkan banyak orang yang tidak saya kenal, yang semuanya punya tujuan sama: menonton film. Sekarang bioskop itu sudah tidak ada,” tulis Kiki di pengantar penyair.

Di puisi berjudul Bioskop Ramayana, Kiki mengungkapkan betapa menakjubkan menonton film bioskop untuk bocah Ampenan. “Bocah itu selalu memilih duduk paling depan/ dan paling akhir berlalu saat penonton bubar/ seharian dia bekerja memulung/ bergelung dengan barang-barang bekas/ cuma untuk melihat para pendekar/ menghabisi lawan-lawannya setelah lebih dulu terperas,” tulisnya. Bocah pemulung itu adalah Kiki sendiri. Bioskop Ramayana adalah alasan Kiki menjadi pemulung semasa bocah. “Saya berusaha mencari uang untuk membeli tiket, karena itu juga kemudian−untuk beberapa lama−saya menjadi seorang bocah pemulung. Saat saya menjadi pemulung adalah salah satu bagian paling penting dalam hidup saya,” begitu pengakuan Kiki.

Kita pantas juga menengok puisi yang dipinjam untuk menjuduli buku kumpulan puisi Kiki, Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?. Ia menulis, “di Ampenan, apa lagi yang kau cari?/ kota tua yang hangus oleh sepi/ kali kecil menjalar di tengah mimpi/ di mana masa kecil mengalir tak henti/ ingatkah kau tekstur-tekstur kuno/ rumah es di ujung gang/ ingatkah kau gudang kusam/ aroma tajam dari puskesmas seberang?// di Ampenan hanya gedung-gedung tua/ bertahan dalam kemurungan/ hanya angin yang resah/ mondar-mandir dengan kaki patah/ dan di simpang lima itu/ akan kau temui kembali/ riwayat keluarga/ yang terus menggelepar/ di ingatanmu.” Ampenan bagi Kiki bukanlah Ampenan hari ini, melainkan Ampenan dalam ingatan.

Kiki lahir dan menghabiskan masa kecil di Ampenan. Namun, ia memaknai kota asalnya itu lewat puisi baru setelah meninggalkan Ampenan. Kiki mengaku, “serpihan-serpihan kenangan yang sangat personal—bersama sentimentalismenya—itulah Ampenan bagi saya. Pertama kali saya menulis puisi perihal kota ini adalah ketika saya tidak lagi bermukim di sana. Ketika saya sudah dewasa, rumah dijual, dan keluarga terpencar-pencar. Seperti ada yang memanggil-manggil saya untuk menuliskannya. Memanglah, sebuah panggilan membutuhkan jarak.” Puisi-puisi dalam buku Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari? jadi upaya “pulang kampung” Kiki. Puisi-puisi Kiki hendak menziarahi ruang dan waktu bernama Ampenan. Di Ampenan, apa lagi yang kau cari, Kiki? []

Udji Kayang Aditya Supriyanto
Follow Me
Latest posts by Udji Kayang Aditya Supriyanto (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!