Ada ungkapan dalam bahasa Inggris yang berbunyi “Like a storm in a coffee cup” atau “seperti badai dalam cangkir”. Artinya, kurang lebih, “marah besar untuk hal sepele”. Namun, terkadang yang “mengamuk” di dalam cangkir atau gelas bukanlah sekadar badai metaforis, melainkan racun mematikan.
Dalam novel Agatha Christie, Sparkling Cyanide (kali pertama terbit 1945), yang dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Kenangan Kematian, seorang perempuan tewas diracun dalam sebuah acara minum-minum di sebuah kafe. Si pembunuh diam-diam membubuhkan sianida dengan dosis mematikan ke dalam gelas sampanye korban. Pembunuhan itu baru terungkap setahun kemudian setelah jatuh korban kedua yang juga tewas akibat minuman beracun.
Agatha Christie pernah diwawancarai tentang kasus pembunuhan misterius dengan racun yang banyak digambarkan di novel-novelnya. Menurut pengarang novel misteri yang pernah bekerja sebagai juru rawat di sebuah rumah sakit ini, pembunuhan dengan racun adalah khas tindakan perempuan yang merasa tenaganya kurang untuk beraksi secara langsung, misalnya dengan menusuk atau menembak korban.
Betulkah demikian?
Di satu cerpen Iksaka Banu dalam bukunya yang meraih Kusala Sastra Khatulistiwa 2014, Semua untuk Hindia, ada peristiwa seorang “nyai” (gundik orang Belanda) meracuni “suaminya”. Pada zaman kolonial itu konon istilah untuk racun semacam itu adalah “pil nomor 11” yang sebetulnya adalah racun arsenik yang biasa dipakai untuk mencuci keris alias warangan kalau menurut orang Jawa.
Di satu buku cetakan terbatas yang diterbitkan untuk memperingati 75 tahun Kamar Dagang Luar Negeri Jerman di Indonesia karya seorang pebisnis asal Jerman yang lama tinggal di Indonesia, Emil Helfferich, diceritakan satu kisah nyata: seorang tuan nyaris tewas akibat warangan yang dimasukkan dalam dosis rendah ke dalam kopinya selama berhari-hari oleh sang nyai. Si nyai ini sebetulnya tidak jahat. Dia dihasut keluarganya membunuh si tuan agar hartanya jatuh ke si nyai yang sesungguhnya dicintai si tuan sesuai dengan isi surat wasiat si tuan yang sudah uzur.
Dalam contoh-contoh di atas, pembunuhan dengan racun memang dilakukan oleh para perempuan. Seorang perempuan pula yang dijadikan tersangka dalam heboh kasus tewasnya seorang perempuan, Wayan Mirna Salihin (selanjutnya disebut Mirna), setelah minum kopi di sebuah kafe di satu mal di Jakarta. Pemeriksaan polisi mengungkap bahwa Mirna tewas karena meminum kopi yang mengandung racun sianida. Mirip kasus pembunuhan dalam novel Sparkling Cyanide di atas.
Hingga kini, polisi belum berhasil mengungkap kasus ini secara tuntas meski salah satu kawan korban yang ikut dalam acara kongko minum kopi itu—sebut saja namanya Jes—telah ditetapkan sebagai tersangka. Dia diduga kuat sebagai pelaku pembunuhan itu meski belum ditemukan bukti kuat.
Rekaman CCTV menunjukkan keganjilan perilaku Jes saat menunggu Mirna untuk mengopi di kafe itu. Yang juga mencurigakan adalah pembantu rumah tangga si terduga Jes ini mengaku disuruh membuang celana yang dipakai oleh Jes saat tragedi kopi beracun itu terjadi. Pengacara Jes membelanya dengan menyatakan bahwa celana itu dibuang karena robek. Dan celana itu robek saat Jes membantu menggotong Mirna ke rumah sakit.
Agak janggal sebetulnya. Satu, sedahsyat apakah upaya penggotongan itu sehingga bisa mengakibatkan celana sobek? Lagi pula, sesobek apakah celana itu sehingga harus dibuang? Apakah hanya terbuka jahitannya yang artinya bisa dijahit kembali atau sampai benar-benar bolong sehingga menyingkap bokong?
Kedua, kita tak akan langsung membuang celana yang sobek, bukan? Biasanya kita akan berupaya memperbaikinya. Menjahitnya mungkin. Atau setidaknya memberikannya kepada yang membutuhkan alih-alih membuangnya ke tempat sampah layaknya benda tak berguna.
Fakta itu membuat kita berspekulasi dan menduga-duga. Barangkali si Jes sempat menyakui kemasan sianida di dalam kantong celana yang dibuang. Agar tak menyisakan bukti, celana itu pun harus disingkirkan. Sayangnya, hingga kini celana itu belum kunjung ditemukan meski konon polisi telah mengerahkan bala bantuan untuk mencarinya.
Saya kira seharusnya polisi juga menggeledah rak buku si terduga, tak hanya lemari bajunya. Jika kita buka arsip sejarah kriminalitas nasional, saat Sumiati—otak pembunuhan satu keluarga di Surabaya, 1992—ditangkap, di rumahnya ditemukan beberapa novel Agatha Christie. Salah satunya berjudul Membunuh Itu Gampang. Saat diinterogasi, Sumiati mengakui bahwa buku-buku itu menjadi salah satu inspirasi dia dalam melakukan pembunuhan berencana. Kini wanita yang berprofesi sebagai muncikari di kompleks lokalisasi Dolly yang membunuh dengan motif tak bisa melunasi utang dalam jumlah relatif besar itu sudah dieksekusi sebagai terpidana mati.
Pembunuh bisa ada di mana-mana. Korbannya bisa siapa saja. Termasuk orang dekat seperti kawan sendiri. Motifnya bisa bermacam-macam: dendam, cemburu, iri, masalah lama yang belum kelar, atau sekadar iseng.
Namun, tentu saja tulisan singkat ini tidak bermaksud menyalahkan buku, apalagi kegemaran membaca buku. Bukan berarti buku-buku tentang pembunuhan semacam novel-novel Agatha Christie harus dilarang beredar.
Buku bisa menjadi inspirasi perbuatan baik, juga perbuatan buruk, tergantung isi kepala dan hati orang yang membacanya. Tapi kalau saya, rasanya tak akan tega membunuh kawan sendiri meski saya termasuk penggemar karya Agatha Christie, terutama novelnya yang paling laris sepanjang masa, Sepuluh Anak Negro.
- Brinduti - 18 March 2016
- Racun dalam Gelas - 18 February 2016