Kaloser*
Kupegang kedua tanganmu dan kudekatkan kepalaku ke dadamu, o, padi-padi! Kuresapi detak jantung dan kudengar jerit musim luka. Jerami berdarah-darah. Bagaimana mungkin aku menyaksikan kesedihan ini, padahal di sekelilingku petani-petani bernyanyi.
Paku-paku di tubuhku adalah kemewahan yang bukan milikku. Petani-petani mengayuh pedalku. Aku berputar-putar semakin kencang. Kujamah keindahan lukamu. Apakah embun padi itu turun dari matamu, o, padi-padi yang malang?
Kau padi yang muram dan sabar. Setiap cahaya yang meluapi matamu di lumbung-lumbung kesakitan adalah kehidupan abadi. Dan kelak kau akan tumbuh lagi menjadi beribu-ribu puisi.
Yogyakarta/#KampusFiksi, Maret 2015
Catatan:
- Kaloser adalah alat menumbuk padi (Madura)
Carok*
Bulanku duka, kekasihku!
Ia cemburu padamu.
Ia menebak malam
bagai burung rimba yang melayang
di angkasa keperihanku.
Burung rimba itu mendapati
celurit bulanku
dan ia menguap diantara awan-awan
yang bersih.
Ia membuka sayapnya
di malam tanggal tiga.
Ia mendapatiku bagai kucing hitam
yang terdampar
tersebab dilukai suamimu, kekasihku!
Bulanku duka bila dendam
tak tertunaikan, kekasihku!
Tapi jangan biarkan kabut air mata
meredupkan lengkung alismu.
Tanda tanya di tangan kananku,
tanda seru di tangan kiriku.
Ia menanggung hasrat
untuk merobek lambung suamimu, kekasihku!
Kini, burung rimba telah mengembalikan bulanku.
Bulan menyalakan cahayanya di mataku.
Saksikanlah, duel sengit di hamparan puisi-puisi
yang saling melukai.
Sabetan-sabetan celurit bulan yang blingsatan,
meminta arwah-arwah berloncatan.
Bila tiba waktuku,
akan kutaruh kenangan-kenanganku
di dunia yang buruk ini, kekasihku!
Arwahku dan arwahnya akan melayang
dengan tenang di haribaan kata-kata.
Dan ruhku akan berpesta
bersama bulanku yang ceria.
Yogyakarta/#KampusFiksi, Maret 2015
Catatan:
- Carok adalah cara orang Madura mempertahankan diri melalui perkelahian. Biasanya peristiwa carok disebabkan oleh perebutan harta warisan, perempuan, dan kekuasaan (Madura)
Bindreng*
-hikayat Ke Hasan
Setiap pagi aku mendatangi desa-desa, bersijingkat dari pintu ke pintu. Aku mengikuti jalan sepi berbatu, sambil memanggul daganganku, “Juuu bajjuuuu bindreng!” teriakku.
Tak seorangpun keluar dari rumah-rumah yang halamannya terhampar pasir putih. Hanya kulihat seorang nenek tua dengan rambut putih logam sedang memberi makan sapi-sapinya di kandang. Aku terus menyusuri jalan setapak sambil berkumandang, “Juuu bajjuuuu bindreng!”
Entah kenapa, ketika aku duduk sebentar di sebuah got di jantung jalan itu. Tak kudengar desik daun-daun di pohon-pohon. Tak kurasa angin sejuk. Tak kulihat tupai-tupai berkejaran. Aku mengeluarkan handuk kecil dan kuhapus remah-remah peluhku. Betapa sepinya daganganku.
Pada tengah hari, adzan berkumandang dari sebuah masjid tua di kampung itu. Aku mendekati gerbang, kulihat seorang kakek berdiri menghadap kiblat. Aku menaruh daganganku di undakan kedua masjid itu. Lalu aku duduk menghadap ke luar pagar.
Seusai berdo’a, aku memanggul kembali daganganku. Aku melewati rumah-rumah berderet yang memiliki halaman panjang, “Juuu bajjuuuu bindreng!” Kuteriakkan berkali-kali dan mataku menyebar bagai pencuri. Kusadari, betapa sulitnya ini hari.
Suaraku kembali lantang. Lalu sebuah pintu dibuka. Seorang perempuan setengah abad keluar dengan kerudung handuk warna mawar. Aku duduk di lesteran. Ia melihat-lihat daganganku dan air mukanya muram, “Ndak, Pak!” Kepalanya menggeleng bagai sapi batang-batang.
Dadaku berpendar-pendar, betapa bahagianya diriku; syukurlah, daganganku dilihat orang. Aku menggendong lagi daganganku. Kulangkahkan kakiku melebihi bayangan hasratku. Bila mendekati rumah-rumah, kuangkat lagi suaraku, “Juuu bajjuuuu bindreng!”
Matahari dalam diriku pelan-pelan lengser. Aku menoleh ke belakang, pohon-pohon terlihat bergerak-gerak. Kurasakan angin sejuk. Dan tahukah kau, menjajakan dagangan sepertiku ini, kesenangan dan kesedihannya tak terbatas. Kau tak akan pernah mengerti benar sebelum menjadi diriku.
Yogyakarta/#KampusFiksi, Maret 2015
Catatan:
- Bindreng adalah sebuah model distribusi dari pintu ke pintu atau door to door (Madura)
Molotan
Mataku melihat-lihat hendak menafsir langit; ada langit di atas langit. Dan di dalam setiap langit, ada langitku dan langitmu. Di dalam semua langit-langitku, kujumpai diriku yang belum kumengerti sungguh. Yang kutahu, aku adalah buah melon di malam purnama kedua belas. Aku duduk bersila di atas nampan bagai seorang pertapa yang kesepian. Di sampingku; buah salak yang ceria, buah manggis yang menangis, buah mangga yang bahagia, buah pepaya yang payah, buah sirsak yang brengsek, buah anggur yang nganggur, buah jeruk yang kecut, buah strawberry yang berseri, buah khuldi yang abadi. Ingin kuziarahi pohon-pohonku sebagai ibu kehidupan. Ingin kudendangkan puji-pujian shalawatan. Maka dengarlah daun-daunku menabuh gendang, ranting dan cabangku menari saman, akar-akarku menjalar kepada Tuhan. Aku bernyanyi memuji-muji :“Ya nabi salam ‘alaika/ ya rasul salam ‘alaika/ ya habib salam ‘alaika/ shalawatullah ‘alaika”**. Dan saat itu, bulan berpendar-pendar di dalam langitku dan langitmu.
Yogyakarta/#KampusFiksi, April 2015
Catatan :
- Molotan adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dalam tradisi Madura.
- Artinya Wahai Nabi! Salam padamu/ Wahai Rasul! Salam padamu/ Kekasih, salam padamu/ Shalawat selalu untukmu
Kuda Banuaju
1/
Pelana dari pelanaku
kulempar ke langit
kau terlempar kepada Kau.
Kau menemukan Kau
di dalam aku
di dalam jiwa dari jiwaku.
Mata dari mataku
menerangi segala pandang.
Kaki dari kakiku
menghapus segala jejak.
Jiwa dari jiwaku
hilangkan segala ingin
O, aku kuda Banuaju.
Ringkik dari ringkikku
mengubah arah angin.
Kujelajahi hutan-hutan
dari hutan-hutanku,
terbukalah semua jalan
dari jalanku.
Ditebanglah semua pohon
dari pohon dalam diriku.
Diburulah hewan-hewan liar
dalam kehewananku.
2/
O, para penunggang kuda yang mulia.
Aku kuda hitam dari Banuaju;
hitam seperti malam tanggal
dua puluh sembilan.
Menghindarlah dari diriku
yang brengsek
dari sekian brengsekku.
Jangan paksa aku
menggunakan kaki dari kakiku
untuk melemparmu ke dalam celaka.
O, para penunggang kuda yang mulia.
Kubuka tutup mata dalam mataku
dan aku bisa lari ke mana-mana.
Aku meringkik lagi
lewat kata-kata.
Aku berlari jauh tanpa kendali,
tanpa pelana, dan kubuka jalan baru
kepada puisi
kepada cinta
kepada siapa saja.
Yogyakarta/Tang Lebun, September 2014
Sajak Buah Pinang
a/
Dalam buah pinang
ada pohon pinang.
Pada pohon pinang
kutemukan kembang-kembang.
Pada kembang pinang
kupetik buah pinang.
Dan pada buah pinang
kau sambut perempuan nginang.
Nang ning nang ning nong
Aku meracik pinang
bercampur sirih berurat cabang;
satu ke dalam diri, yang lain
kepada tuhan.
Aku mengunyah racikan dan kutelan
semua yang telah menjadi bagian
bagi nasibku; luka dan bahagia.
Warna merah di bibirku
semoga meresap ke sumsum tulang.
Nang ning nang ning nong
O, buah pinang.
Pada kulitnya yang kering menua
serabut-serabut menghapus harap.
Begitu dibelah dua
terasa sepuluh tahun lebih muda.
Karena aku nginang,
kau minta berulang-ulang
sebab kelaminku terasa kering
dan sepuluh kali lebih cengkram.
Musnahlah kau di atas aku
aku di bawah kau;
kau-aku bergumul-gumul
di dalam hening;
hening di dalam nang
hening di dalam ning
hening di dalam nang
hening di dalam ning
hening di dalam nong.
Nang ning nang ning nong
b/
Dalam buah pinang
ada pohon pinang.
Pada pohon pinang
kutemukan kembang-kembang.
Pada kembang pinang
kupetik buah pinang.
Dan dari buah pinang
lahir lelaki jantan.
Nang ning nang ning nong
Bila kau racik pinang muda
bercampur madu
tambahkan saja telur kuningnya.
Maka akarmu akan menghunjam-hunjam
di kedalaman birahi tuhan
hingga lumas pemanjat pinang
di hari tujuh belasan.
Berhari-hari kau terngiang-ngiang;
terngiang-ngiang nang
terngiang ngiang ning
terngiang ngiang nang
terngiang ngiang ning
terngiang ngiang nong
Nang ning nang ning nong
Bertahun-tahun kau mengulang-ulang
menanam satu di dalam aku:
kau-aku candu;
candu nang
candu ning
candu nang
candu ning
candu nong
Nang ning nang ning nong
Yogyakarta/Tang Lebun, September 2014
- Biografi Kesetiaan - 3 April 2016
- Tuhan, Nabi, dan Kesakralan Sebuah Nama - 6 March 2016
- Sajak Buah Pinang; Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin (Madura) - 16 February 2016