Sajak Buah Pinang; Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin (Madura)

 

Puisi-Puisi Ahmad Muchlish Amrin
Sumber gambar: devianart.com

 

Kaloser*

 

Kupegang kedua tanganmu dan kudekatkan kepalaku ke dadamu, o, padi-padi! Kuresapi detak jantung dan kudengar jerit musim luka. Jerami berdarah-darah. Bagaimana mungkin aku menyaksikan kesedihan ini, padahal di sekelilingku petani-petani bernyanyi.

 

Paku-paku di tubuhku adalah kemewahan yang bukan milikku. Petani-petani mengayuh pedalku. Aku berputar-putar semakin kencang. Kujamah keindahan lukamu. Apakah embun padi itu turun dari matamu, o, padi-padi yang malang?

 

Kau padi yang muram dan sabar. Setiap cahaya yang meluapi matamu di lumbung-lumbung kesakitan adalah kehidupan abadi. Dan kelak kau akan tumbuh lagi menjadi beribu-ribu puisi.

 

Yogyakarta/#KampusFiksi, Maret 2015

 

Catatan:

  • Kaloser adalah alat menumbuk padi (Madura)

 

Carok*

 

Bulanku duka, kekasihku!

Ia cemburu padamu.

Ia menebak malam

bagai burung rimba yang melayang

di angkasa keperihanku.

 

Burung rimba itu mendapati

celurit bulanku

dan ia menguap diantara awan-awan

yang bersih.

Ia membuka sayapnya

di malam tanggal tiga.

Ia mendapatiku bagai kucing hitam

yang terdampar

tersebab dilukai suamimu, kekasihku!

 

Bulanku duka bila dendam

tak tertunaikan, kekasihku!

Tapi jangan biarkan kabut air mata

meredupkan lengkung alismu.

Tanda tanya di tangan kananku,

tanda seru di tangan kiriku.

Ia menanggung hasrat

untuk merobek lambung suamimu, kekasihku!

 

Kini, burung rimba telah mengembalikan bulanku.

Bulan menyalakan cahayanya di mataku.

Saksikanlah, duel sengit di hamparan puisi-puisi

yang saling melukai.

Sabetan-sabetan celurit bulan yang blingsatan,

meminta arwah-arwah berloncatan.

 

Bila tiba waktuku,

akan kutaruh kenangan-kenanganku

di dunia yang buruk ini, kekasihku!

Arwahku dan arwahnya akan melayang

dengan tenang di haribaan kata-kata.

Dan ruhku akan berpesta

bersama bulanku yang ceria.

 

Yogyakarta/#KampusFiksi, Maret 2015

 

Catatan:

  • Carok adalah cara orang Madura mempertahankan diri melalui perkelahian. Biasanya peristiwa carok disebabkan oleh perebutan harta warisan, perempuan, dan kekuasaan (Madura)

 

 

Bindreng*

-hikayat Ke Hasan

 

Setiap pagi aku mendatangi desa-desa, bersijingkat dari pintu ke pintu. Aku mengikuti jalan sepi berbatu, sambil memanggul daganganku, “Juuu bajjuuuu bindreng!” teriakku.

 

Tak seorangpun keluar dari rumah-rumah yang halamannya terhampar pasir putih. Hanya kulihat seorang nenek tua dengan rambut putih logam sedang memberi makan sapi-sapinya di kandang. Aku terus menyusuri jalan setapak sambil berkumandang, “Juuu bajjuuuu bindreng!”

 

Entah kenapa, ketika aku duduk sebentar di sebuah got di jantung jalan itu. Tak kudengar desik daun-daun di pohon-pohon. Tak kurasa angin sejuk. Tak kulihat tupai-tupai berkejaran. Aku mengeluarkan handuk kecil dan kuhapus remah-remah peluhku. Betapa sepinya daganganku.

 

Pada tengah hari, adzan berkumandang dari sebuah masjid tua di kampung itu. Aku mendekati gerbang, kulihat seorang kakek berdiri menghadap kiblat. Aku menaruh daganganku di undakan kedua masjid itu. Lalu aku duduk menghadap ke luar pagar.

 

Seusai berdo’a, aku memanggul kembali daganganku. Aku melewati rumah-rumah berderet yang memiliki halaman panjang, “Juuu bajjuuuu bindreng!” Kuteriakkan berkali-kali dan mataku menyebar bagai pencuri. Kusadari, betapa sulitnya ini hari.

 

Suaraku kembali lantang. Lalu sebuah pintu dibuka. Seorang perempuan setengah abad keluar dengan kerudung handuk warna mawar. Aku duduk di lesteran. Ia melihat-lihat daganganku dan air mukanya muram, “Ndak, Pak!” Kepalanya menggeleng bagai sapi batang-batang.

 

Dadaku berpendar-pendar, betapa bahagianya diriku; syukurlah, daganganku dilihat orang. Aku menggendong lagi daganganku. Kulangkahkan kakiku melebihi bayangan hasratku. Bila mendekati rumah-rumah, kuangkat lagi suaraku, “Juuu bajjuuuu bindreng!”

 

Matahari dalam diriku pelan-pelan lengser. Aku menoleh ke belakang, pohon-pohon terlihat bergerak-gerak. Kurasakan angin sejuk. Dan tahukah kau, menjajakan dagangan sepertiku ini, kesenangan dan kesedihannya tak terbatas. Kau tak akan pernah mengerti benar sebelum menjadi diriku.

 

Yogyakarta/#KampusFiksi, Maret 2015

 

Catatan:

  • Bindreng adalah sebuah model distribusi dari pintu ke pintu atau door to door (Madura)

 

Molotan

 

Mataku melihat-lihat hendak menafsir langit; ada langit di atas langit. Dan di dalam setiap langit, ada langitku dan langitmu. Di dalam semua langit-langitku, kujumpai diriku yang belum kumengerti sungguh. Yang kutahu, aku adalah buah melon di malam purnama kedua belas. Aku duduk bersila di atas nampan bagai seorang pertapa yang kesepian. Di sampingku; buah salak yang ceria, buah manggis yang menangis, buah mangga yang bahagia, buah pepaya yang payah, buah sirsak yang brengsek, buah anggur yang nganggur, buah jeruk yang kecut, buah strawberry yang berseri, buah khuldi yang abadi. Ingin kuziarahi pohon-pohonku sebagai ibu kehidupan. Ingin kudendangkan puji-pujian shalawatan. Maka dengarlah daun-daunku menabuh gendang, ranting dan cabangku menari saman, akar-akarku menjalar kepada Tuhan. Aku bernyanyi memuji-muji :“Ya nabi salam ‘alaika/ ya rasul salam ‘alaika/ ya habib salam ‘alaika/ shalawatullah ‘alaika”**. Dan saat itu, bulan berpendar-pendar di dalam langitku dan langitmu.

 

Yogyakarta/#KampusFiksi, April 2015

 

Catatan :

  • Molotan adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw dalam tradisi Madura.
  • Artinya Wahai Nabi! Salam padamu/ Wahai Rasul! Salam padamu/ Kekasih, salam padamu/ Shalawat selalu untukmu

 

 

Kuda Banuaju

 

1/

Pelana dari pelanaku

kulempar ke langit

kau terlempar kepada Kau.

Kau menemukan Kau

di dalam aku

di dalam jiwa dari jiwaku.

 

Mata dari mataku

menerangi segala pandang.

Kaki dari kakiku

menghapus segala jejak.

Jiwa dari jiwaku

hilangkan segala ingin

 

O, aku kuda Banuaju.

Ringkik dari ringkikku

mengubah arah angin.

Kujelajahi hutan-hutan

dari hutan-hutanku,

terbukalah semua jalan

dari jalanku.

Ditebanglah semua pohon

dari pohon dalam diriku.

Diburulah hewan-hewan liar

dalam kehewananku.

 

2/

O, para penunggang kuda yang mulia.

Aku kuda hitam dari Banuaju;

hitam seperti malam tanggal

dua puluh sembilan.

Menghindarlah dari diriku

yang brengsek

dari sekian brengsekku.

Jangan paksa aku

menggunakan kaki dari kakiku

untuk melemparmu ke dalam celaka.

 

O, para penunggang kuda yang mulia.

Kubuka tutup mata dalam mataku

dan aku bisa lari ke mana-mana.

Aku meringkik lagi

lewat kata-kata.

Aku berlari jauh tanpa kendali,

tanpa pelana, dan kubuka jalan baru

kepada puisi

kepada cinta

kepada siapa saja.

 

Yogyakarta/Tang Lebun, September 2014

 

 

 

Sajak Buah Pinang

 

a/

Dalam buah pinang

ada pohon pinang.

Pada pohon pinang

kutemukan kembang-kembang.

Pada kembang pinang

kupetik buah pinang.

Dan pada buah pinang

kau sambut perempuan nginang.

 

Nang ning nang ning nong

 

Aku meracik pinang

bercampur sirih berurat cabang;

satu ke dalam diri, yang lain

kepada tuhan.

Aku mengunyah racikan dan kutelan

semua yang telah menjadi bagian

bagi nasibku; luka dan bahagia.

Warna merah di bibirku

semoga meresap ke sumsum tulang.

 

Nang ning nang ning nong

 

O, buah pinang.

Pada kulitnya yang kering menua

serabut-serabut menghapus harap.

Begitu dibelah dua

terasa sepuluh tahun lebih muda.

Karena aku nginang,

kau minta berulang-ulang

sebab kelaminku terasa kering

dan sepuluh kali lebih cengkram.

Musnahlah kau di atas aku

aku di bawah kau;

kau-aku bergumul-gumul

di dalam hening;

hening di dalam nang

hening di dalam ning

hening di dalam nang

hening di dalam ning

hening di dalam nong.

 

Nang ning nang ning nong

 

b/

Dalam buah pinang

ada pohon pinang.

Pada pohon pinang

kutemukan kembang-kembang.

Pada kembang pinang

kupetik buah pinang.

Dan dari buah pinang

lahir lelaki jantan.

 

Nang ning nang ning nong

 

Bila kau racik pinang muda

bercampur madu

tambahkan saja telur kuningnya.

Maka akarmu akan menghunjam-hunjam

di kedalaman birahi tuhan

hingga lumas pemanjat pinang

di hari tujuh belasan.

Berhari-hari kau terngiang-ngiang;

terngiang-ngiang nang

terngiang ngiang ning

terngiang ngiang nang

terngiang ngiang ning

terngiang ngiang nong

 

Nang ning nang ning nong

 

Bertahun-tahun kau mengulang-ulang

menanam satu di dalam aku:

kau-aku candu;

candu nang

candu ning

candu nang

candu ning

candu nong

 

Nang ning nang ning nong

 

Yogyakarta/Tang Lebun, September 2014

Ahmad Muchlish Amrin
Latest posts by Ahmad Muchlish Amrin (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!