Menghadapi orang yang menyangkal sesuatu tetapi tanpa malu berlindung di baliknya tentu sangat menyebalkan. Maaf, ini bukan tentang Louis van Gaal yang semeleh. Ini tentang Anda, para pembela LGBT, yang gagah benar menyangkal fitrah berketurunan manusia sebagai makhluk biologis sembari berlindung di balik ketiak HAM. Anda mengatasnamakan HAM tetapi menumpas fitrah kemanusiaan itu sendiri. #RIPLogika
“Mereka juga manusia seperti kalian,” pekik Anda. “Hormatilah hak mereka untuk menjadi LGBT, jangan diskriminasi mereka dengan sebutan kelainan jiwa, lindungilah hak hukum mereka, apalagi mereka mengalami hal demikian karena terjebak di tubuh yang salah!”
Mengharukan sekali, bukan, perjuangan gigih para pembela LGBT yang bukan pelaku LGBT itu. Memanglah, membela sesuatu tidak harus menjadi sesuatu itu. Sikap dan posisi tak sejamaah ini sah-sah saja. Mungkin karena empati, boleh pula komoditi. Seminimnya, komoditi mendulang isu sensitif kontroversial, lalu melejitkannya ke permukaan. Kelak, bila ketenaran telah digenggam, banyak jalan menuju Roma—banyak akses mendulang rupiah.
HAM, inilah selalu titik sentral pembelaan LGBT itu. Atas nama human rights, yang melekat secara kodrati pada setiap manusia, LGBT pun wajib dibela. LGBT, tampaknya, disepadankan dengan hak untuk merdeka, dilindungi hukum, dan mendapatkan keadilan.
Tentu saja, seluruh umat manusia, lintas SARA, secara universal menghasrati tegaknya HAM. Atas nama kemanusiaan. Mau warga liberalis ataupun tradisionalis, urban atau rural, Kanan atau Kiri, wajib dijamin hak asasinya.
Perkaranya adalah bahwa nyatanya praktik hak asasi tak benar-benar berlaku universal. Keterlibatan nilai-nilai lokal yang khas, yang tak perlu dipaksa seragam, tak bisa diabaikan sama sekali. Nilai-nilai lokal selalu menempati posisi krusial dalam menopang dan menjalankan harmoni kolektif—sebuah tujuan utama bersosial, yang di dalamnya kita menyematkan HAM pula.
Boleh jadi, dari satu sudut, sebuah praktik tata nilai masyarakat Madura dianggap bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang dianut warga Perancis. Charlie Hebdo dilindungi oleh pemerintah Perancis untuk membuat meme-meme satire Nabi Muhammad Saw. atas nama kebebasan berekspresi sebagai bagian dari HAM, tetapi jangan pernah lakukan hal setamsil di Madura. Praktik HAM menghina Nabi Muhammad Saw. yang dilindungi hukum Perancis memiliki tujuan yang sama dengan praktik HAM di Madura yang menolak pelecehan agama. Yakni tujuan harmoni kolektif.
Maka tatkala kantor Charlie Hebdo diserang oleh orang yang menolak satire Nabi itu, warga Perancis menistanya sebagai pelanggaran hukum yang mengoyak HAM. Di belahan bumi lain, warga Madura meng-Alhamdulillah-i kematian para peleceh Nabi itu. Bagi orang Perancis, sikap Charlie Hebdo cermin kebebasan berekspresi, bagi orang Madura itu pelecehan tak terampunkan.
Yang mana yang benar?
Pertanyaan begini takkan pernah memiliki jawaban mondialnya, seiring keragaman tata nilai yang mencoraki masing-masing komunitas. Ia bisa benar di sebuah wilayah dan salah di wilayah lainnya. Praktik HAM, pada derajat ini, terbukti benar-benar tak berlaku universal.
Di Belanda, pada 1 April 2001, Job Cohen (gubernur Amsterdam) menikahkan empat pasangan sejenis. Sampai 1 Januari 2011, ada 14.813 penikahan sejenis (gay dan lesbi) yang disahkan. Atas nama HAM. Jika Anda datang ke kafe atau bar yang mengibarkan bendera pelangi, mudah sekali untuk menemukan pasangan sejenis mengumbar kemesraan.
Di sini, praktik HAM ala LGBT demikian ditampik. Apakah ini berarti orang Belanda lebih menghormati HAM dibanding orang Indonesia? Berhentilah berpikir reduktif demikian. Memaksakan diri pada aras berpikir begitu hanya akan menjerembapkan Anda pada penyimpulan tak bertanggung jawab. Tidak fair.
Bagi orang Indonesia, keberadaan kaum LGBT merupakan masalah. Konstruksi “masalah” ini dipantik oleh tatanan nilai hidup yang kompleks, dari nilai tradisi, adat, hingga agama—yang tentu saja tak perlu dipaksa sama dengan tatanan wilayah-wilayah lain.
Mari kita cermati.
Pertama, nilai agama. Sebagai agama terbesar di sini, Islam menggawangi peran utama menolak LGBT ini.
Jelas betul, qath’iyah dalalah, dalam surat al-Hujuraat ayat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa….” Ayat ini menampik mutlak adanya manusia “jenis tengah”, entah gay atau lesbi.
Penolakan ini diperkuat oleh ayat yang mengisahkan pemusnahan bangsa Sodom. Dalam surat Huud ayat 82-83, tertulis: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang atas ke bawah (dibalikkan) dan Kami hujani mereka dengan tanah yang terbakar (batu belerang) dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” Apa penyebab azab itu? Surat al-A’raaf ayat 80-81 menjelaskannya: “Dan (Kami telah mengutus) Luth. (Ingatlah) tatkala ia berkata kepada mereka, mengapa kalian mengerjakan perbuatan kotor ini yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelummu? Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu, bukan kepada wanita, sungguh kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.”
Simak pula hadits yang dikeluarkan ath-Thabrani dan al-Baihaqi ini. “Ada empat golongan yang di pagi hari mereka berada dalam kemarahan Allah dan di sore hari mereka berada dalam kemurkaan-Nya.” Abu Hurairah berkata, “Siapakah mereka, Wahai Rasulullah?” Rasul menjawab: “Para lelaki yang menyerupai wanita, para wanita yang menyerupai lelaki, orang yang menyetubuhi binatang, dan lelaki yang menyetubuhi lelaki.”
Di hadits lain riwayat Bukhari-Muslim, disebutkan, “Siapa di antara kalian yang mendapati seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” Atas dasar hadits ini, madzhab Hanbali dan Syafi’i, misal, mengeluarkan fatwa “Kami menghukum rajam siapa saja yang melakukan perbuatan tersebut (gay/lesbi), baik sudah menikah atau belum.”
Begitulah landasan dogmatisnya. Sangat jelas secara tekstual. Muslim Indonesia jelas saja takkan pernah menerima siapa pun yang melakukan kegiatan LGBT ini karena bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi-tinggi.
Kedua, argumen ilmiah. Di tahun 1991, Jurnal Science menerbitkan tulisan bahwa orientasi seksual seseorang ditentukan oleh struktur otaknya. Terdapat perbedaan struktur otak antara orang gay dan non-gay. Hyphothalamus pada lelaki gay berbeda dengan lelaki non-gay, di mana lelaki heteroseksual memilikinya dua kali lipat lebih banyak. Lalu disebutkan pula bahwa belahan dua sisi otak lelaki homoseksual (gay) dan wanita heteroseksual (non-lesbi) lebih simetris dibanding lelaki heteroseksual (non-gay) dan wanita homoseksual (lesbi).
Di tahun 1993, lagi-lagi Jurnal Science merilis tulisan bahwa sebuah keluarga yang memiliki dua anak gay pasti dibentuk oleh faktor genetik bernama XQ28. Gen ini menentukan anak terlahir dengan orientasi seksual homo atau hetero. Science lalu menyimpulkan bahwa LGBT adalah nature (bawaan genetika), kodrati—dalam bahasa agama, kehendak Allah. Demikian misal paparan Griffith Vaughan Williams dan D.F. Swaab.
Tetapi, riset-riset genetis ini telah luas dibantah. Di antaranya oleh David Halperin dan Jean Foucault. “Homosexuality became because we made it so,” tegas Foucault. Bahkan, ada periset yang menyatakan bahwa riset-riset pembela nature LGBT merupakan rekayasa ilmiah demi pengesahan LGBT belaka.
Deretan debat apakah LGBT itu nature, given, genetis, dan alamiah atau nurture, taken, behaviors, dan lifestyle masih sangat bisa diperpanjang. Baiknya Anda baca sendiri, ya.
Namun ada satu argumen yang muskil dibantah oleh para pelaku dan pembela LGBT. Yakni perkara reproduksi.
Pasangan gay atau lesbi jelas tidak bisa memiliki anak. Tidak bertemunya sel sperma dan sel telur menjadi kendala kodrati, nature. Sel sperma dan sel telur hanya akan bertemu melalui keluarnya sperma di dalam vagina—selain teknik bayi tabung tentunya. Tidak pernah ada riwayat seorang lelaki bisa dibuahi sel sperma lelaki atau wanita bisa dihamili dildo. Manusia pun tidak bisa membelah diri bagai amuba atau menghamili dirinya sendiri bagai cacing yang hermafrodit. Lubang vagina dan batang penis adalah dua entitas nature yang tak bisa digantikan karet dan kayu sekeras apa pun. Secinta-cintanya Anda pada pasangan gay, Anda butuh lubang. Tak ada lubang nature padanya selain dubur dan mulut yang tak menyimpan sel telur. Secinta-cintanya Anda pada pasangan lesbi, Anda butuh batang. Tiadanya batang yang Anda butuhkan, jadilah dildo yang diamanahi. Pada dildo, tak ada sel sperma.
Kodrat berketurunan ini jelas menjadi garansi nature kelangsungan ras manusia. Manusia akan punah bila LGBT diterima merajalela. Sebuah aksioma empiris betapa praktik LGBT mutlak melanggar nature kemakhlukan kita.
Ketiga, argumen cinta. Setamsil pasangan hetero, kaum homo mendapuk cinta sebagai landasan hubungannya. Tetapi jelas terdapat perbedaan prinsipil antara cinta hetero dan homo. Cinta yang khittahnya menjadi sumber kebahagiaan muskil direngkuh pasangan LGBT. Kalaupun perasaan senang itu ada, lalu itu disebut bahagia sebagai berkah cinta, niscaya itu hanya kesemuan dan kesementaraan.
Apa pasal?
Kebahagiaan manusia bekerja di ranah batin. Segunung apa pun harta di genggaman, Anda takkan benar-benar bahagia bila tak mendapat restu orang tua dan restu masyarakat. Inilah sumber utama ketenteraman batin yang diberkahi cinta. Muhal betul Anda bahagia bila masyarakat memposisikan Anda pecundang atau penyakit sosial. Mustahil benar Anda bahagia dengan batin yang didera rasa bersalah akibat menyalahi kodrat dan agama.
Jika kini Anda telah mengerti benar bahwa tak ada kebahagiaan dalam hubungan homoseksual, secinta apa pun Anda menguarkannya, mengapa Anda tak segera melepaskan diri darinya atau seturut menentangnya agar tak kian menulari banyak orang? Benarkah hati Anda rela, lalu mengaku bahagia bila suatu kelak anak turun Anda menjadi pelaku LGBT?
Di titik ini, ganjil benar sikap Anda yang membela LGBT. Celakanya lagi, Anda membenarkan penyimpangan orientasi seksual itu atas nama kebebasan dan HAM.
Para pembela LGBT jelas bukanlah orang baik, kawan baik, karena tidaklah mungkin orang baik akan membiarkan sahabatnya tak mentas dari sebuah penyimpangan. Kawan yang baik bukanlah orang yang selalu membenarkan Anda, tetapi orang yang selalu menunjukkan Anda pada yang benar. LGBT yang mutlak salah secara agama, fitrah biologis, dan relasi sosial takkan dibela oleh kawan sejati Anda. Ia akan tegas mengatakan Anda salah, lalu mendampingi Anda untuk berubah menuju orientasi seksual yang kodrati. Ia takkan meninggalkan Anda karena Anda kadung menganut LGBT, tetapi ia takkan segan mengkritik Anda.
Coba Anda cermati, para pembela LGBT itu sama sekali bukan siapa-siapa dalam kehidupan Anda. Mereka pun secara seksual bukan bagian dari komunitas Anda. Mereka bukan pelaku LGBT. Mereka memiliki kehidupan yang hetero. Lantas, bagaimana mungkin Anda bisa mempercayai mereka sebagai pembela kebenaran?
Sungguh memilukan. Para pelaku LGBT yang di negeri ini muskil diterima secara legal dan terbuka, karena tata nilai HAM di sini mengkonstruksinya secara komunal sebagai kelainan seksual, sehingga harus diterapi agar normal dan kembali sejamaah dengan harmoni komunal, justru dijungkalkan lebih dalam oleh orang-orang yang berusaha mengeduk keuntungan dari korban LGBT atau mengangkut konstruksi HAM antah-berantah atas nama universalitas HAM.
Jika saya harus membuat sebuah analogi tajam bagi para pembela LGBT ini, mereka laksana ular hitam kelaparan yang mengelus kepala seekor tikus putih yang tersesat dari kawanannya dan memintanya memanggilnya sahabat yang selalu melindunginya, tetapi kemudian menerkamnya dari belakang. Lalu pergi dengan perut kenyang, kembali ke sarangnya, dan mengawini ular betinanya.
Jogja, 14 Pebruari 2016
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019
Antsomenia
Semoga mereka membaca.
Aliceish
Kandidat doktor nulis argumennya kayak begini? 😀
Rada-rada gimana sih emang.