Sakti Seperti Kucing

Cukin Sanjipak sudah ratusan kali menjadi target pembunuhan. Tapi ia sakti seperti kucing. Nyawanya banyak. Kecil kemungkinan ia terbunuh oleh peluru, belati, kelewang, celurit, pedang, bondet, santet, dll. Ia tidak takut menghadapi ancaman maut. Marabahaya adalah santapannya sehari-hari.

Pernah suatu kali koran kriminal memberitakan tentang kematiannya. Namun, ajaib. Keesokan harinya, Cukin Sanjipak ditemukan hidup. Koran tersebut terpaksa merelakan sepetak kolom untuk memuat permintaan maaf kepada pembaca, sekaligus meralat berita tentang kematiannya. Wartawan melakukan blunder.

Sebenarnya, memang tidak salah bila koran tersebut memberitakan kematian Cukin Sanjipak. Pasalnya, dokter Puskesmas kadung jengkel—berharap sang bromocorah mampus—menyebut jantung Cukin Sanjipak berhenti berdetak. Toh, tubuhnya sudah serupa bangkai, menggelembung digerogoti ulat dan tikus got. Semua kengerian ini ditulis oleh wartawan.

Namun, ada fakta yang tidak diketahui oleh wartawan, dokter Puskesmas, Koramil, dan Unit Reskrim Polsek setempat. Yakni, mengenai sebab tubuh Cukin Sanjipak tergeletak di pinggir rel kereta api, sebelum menjadi tontonan warga sekitar. Fakta ini hanya diketahui oleh kalangan terbatas, dan tentu saja demit sekitar.

Pada sebuah malam, Cukin Sanjipak menggelar pesta minuman keras bersama sekawanan bromocorah di pinggir rel kereta api. Ia mengaku telah mendapatkan rezeki dari cewek-cewek penjaga warung remang-remang di kampung sebelah. Katanya, rezeki itu bisa membiayai pesta minuman keras sampai pagi. Sampai lambung tak mampu menampung cairan.

“Tenang! Uang keamanan dari mereka bisa untuk pesta sampai modyar.”

Arak murahan, spiritus, bir, soda, dan sirup dioplos dalam sebuah ember. Sekantong sate bekicot jadi tambul dalam pesta itu. Gelas plastik diputar, menyanggongi banyak mulut. Oplosan membasahi kerongkongan kering kaum bromocorah dalam pusaran geng Cukin Sanjipak.

“Tumben rezekimu banyak malam ini?”

“Pakai kekerasan. Kalau nggak keras, nggak mungkin dapat banyak. Mereka, cewek-cewek penjaga warung remang-remang itu, memang doyan dengan kekerasan. Hahaha.”

“Giliranmu!” kata rekannya sambil menyodorkan gelas plastik.

Cukin Sanjipak meraih gelas itu, lalu menenggak oplosan. Matanya menghunus ke arah purnama yang sedang muram. Sedangkan suram menyelimuti seluruh indranya.

“Mereka mengaku tak punya anggaran untuk uang keamanan. Katanya, belum ada pemasukan. Warung sepi gara-gara pagebluk dan pembatasan kegiatan. Persetan! Eh, mereka bilang; ‘apakah uang keamanan bisa diganti dengan layanan plus-plus?’ Cihui!”

Para bromocorah tersenyum mendengar keterangan Cukin Sanjipak.

“Kau sikat plus-plus itu?”

“Jelas!”

“Semuanya?”

“Hanya dua penjaga warung. Belasan warung lainnya kugeledah lacinya. Kurampas uangnya. Kalau semua suguhan plus-plus kusikat, malam ini takkan ada pesta oplosan.”

Mereka terpingkal-pingkal. Bahkan dua di antaranya sudah ambruk. Dewa mabuk merasuki jiwa dan raganya. Namun, dengan sedikit senggolan, mereka bangkit lagi dan meneruskan giliran gelas plastik.

Ketika oplosan dalam ember tinggal seperempat, insiden janggal mengagetkan para bromocorah. Cukin Sanjipak tumbang. Kejang-kejang. Mulutnya mengeluarkan busa. Sumpah serapah terlontar dari mulutnya yang mendadak penceng. Muntahan warna kuning meledak. Ada paku, silet, peniti, jarum, mur, baut, dan serpihan seng.

“Setan!”

“Kena santet.”

“Guna-guna.”

“Teluh.”

Cukin Sanjipak menggelepar. Tak ada yang berani mendekat, apalagi menyentuhnya.

“Mati. Mati. Mati.”

Petugas dari Polsek dan Puskesmas datang untuk olah TKP. Anggota Koramil juga turun tangan. Tubuh busuk Cukin Sanjipak diangkut ke kamar mayat rumah sakit terdekat, selepas dokter melontarkan kejengkelannya. Info inilah yang mengundang wartawan datang untuk mengais data. Sedangkan orang-orang kampung sudah menganggap peristiwa itu biasa-biasa saja. Mereka yakin Cukin Sanjipak bakal melalui siklus seperti biasanya. Polsek dan Koramil juga berpikir demikian.

Tepat saat berita kematiannya dimuat koran kriminal, Cukin Sanjipak hilang dari kamar mayat rumah sakit dan diketahui sedang menziarahi kuburan ibunya. Kejadian seperti ini bukan terjadi sekali atau dua kali. Tapi sering. Cukin Sanjipak sakti. Bangkit dari kematian. Punya banyak nyawa. Seperti kucing.

Betapa pun sadis dan memiliki sepak terjang ganas dalam dunia kriminal, Cukin Sanjipak rajin ziarah ke kuburan ibunya. Di kuburan ibunya, ia selalu terlihat sedang merapalkan sesuatu. Tapi tak ada yang tahu bunyi rapalan itu.

Belakangan, ada awan kesedihan pada hatinya; konon pemerintah kota akan melakukan relokasi terhadap kompleks pemakaman tersebut. Waktunya belum jelas. Sedangkan lokasi baru juga belum diketahui. Cukin Sanjipak pernah bertanya kepada orang-orang sekitar, tapi jawaban abu-abu yang didapat.

Sehari-hari Cukin Sanjipak tinggal di bawah tower tua. Terletak di sudut tanah lapang tempat bocah-bocah main bola. Tower itu sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Di tower itu, ia membangun rumah-rumahan dari papan seadanya. Tak ada orang yang berani mendekat. Kecuali bocah-bocah yang main bola. Cukin Sanjipak suka melihat bocah-bocah main bola, hiburan di kala suntuk. Manusiawi.

Punya predikat mentereng sebagai bromocorah yang menguasai terminal, pasar, dan deretan warung remang-remang, Cukin Sanjipak hidup barbar seenak jidat dan udelnya. Nama aslinya pun sudah dilupakan khalayak umum. Bahkan ia sendiri, mustahil masih mengingat nama aslinya. Pun dengan kartu identitas, mustahil ia memilikinya. Yang jelas, orang-orang Polsek, Puskesmas, Koramil, rekan-rekan sejawatnya, para musuh atau komplotan bromocorah pesaing menyebutnya sebagai Cukin Sanjipak. Entah dari mana nama itu tersemat padanya? Hanya mayat ibunya yang tahu.

Pembunuh bayaran atau pembunuh mandiri yang ingin menumpas nyawa Cukin Sanjipak pun tak perlu repot-repot menyimpan foto calon bangkai. Semua sudah tahu penampakannya. Wajahnya cokelat sangar, rambutnya gondrong-gimbal, gigi depannya bagian atas tanggal satu, ada bekas sabetan belati di atas alis kanannya. Sedangkan di lehernya ada tato kucing hitam melingkar—tato hasil kenang-kenangan selama ia mendekam dua tahun di penjara.

“Kau harus hati-hati. Ada pembunuh yang ingin menggorok lehermu,” seorang rekan mengusik kebahagiaan Cukin Sanjipak saat menyaksikan laga bola bocah-bocah kampung.

“Siapa?”

“Suruhan paguyuban warung remang-remang. Cewek-cewek di sana jengah. Kau sering merampas uang dan doyan menyodok selangkangan mereka secara gratis.”

“Sudah sering aku jadi target pembunuhan. Kau lihat sekarang! Aku masih bernapas.”

Rekannya ngacir selepas mendengar sesumbar Cukin Sanjipak. Ia kembali menikmati gocekan bocah-bocah bermain bola. “Gol!!!” pekiknya di sore itu.

Tiba-tiba, sejumlah orang mendekatinya. Masing-masing ada yang menggenggam linggis, kelewang, celurit, dan senjata mengerikan lainnya.

“Ada apa ini?” tanya Cukin Sanjipak, santai.

“Jangan banyak bacot!”

Cukin Sanjipak tumbang setelah sejulur rantai besi menghantam kepalanya. Pening. Darah mengucur dari kepalanya. Dunia oleng di hadapannya. Bocah-bocah berhenti main bola.

“Keroyokan nih? Oke! Siapa takut!”

Sabetan celurit merobek perutnya. Lonjoran besi menghantam punggungnya. Cukin Sanjipak tumbang lagi. Darah menggenang di tanah lapang. Ususnya semburat. Para jagal lari terbirit-birit setelah yakin—sebenarnya tidak yakin seratus persen—Cukin Sanjipak mampus.

Menyaksikan sabung ini, bocah-bocah bergidik. Mereka lintang pukang meninggalkan tanah lapang. Ada seorang tua yang menutupi tubuh Cukin Sanjipak dengan lembaran koran dan kardus. Tapi, si tua itu malah dibikin kaget. Cukin Sanjipak bangkit. Berdiri tegak sambil menggendong ususnya yang semburat.

“Dahsyat! Bajingan ini benar-benar sakti seperti kucing,” katanya saat melihat Cukin Sanjipak berjalan menuju kuburan ibunya.

Warga kampung melongo untuk kesekian kalinya. Sudah sering Cukin Sanjipak berjalan tergopoh-gopoh sambil menggendong ususnya. Dalam ingatan warga kampung, sekitar sebulan lalu peristiwa serupa terjadi pada Cukin Sanjipak. Kala itu perut Cukin Sanjipak bolong setelah duel satu lawan satu dengan bromocorah pesaing dalam perebutan lahan parkir di terminal.

“Sudah. Biarin. Jangan ditolong!”

“Benar. Dia nggak bakal mampus.”

“Dia sakti seperti kucing.”

“Dia punya banyak nyawa.”

Dalam perjalanan menuju kuburan ibunya, tiba-tiba ada seseorang yang melemparkan bondet ke arah Cukin Sanjipak. Ledakan membuat kaki kanannya pengkor. Ia tumbang. Tapi sanggup bangkit lagi dan melanjutkan langkah kaki ke kuburan ibunya. Sempoyongan. Tangannya masih setia menggendong usus.

“Setan!” pekik Cukin Sanjipak ketika sampai di gerbang pemakaman.

Matanya melihat alat berat. Ratusan makam dibongkar. Para jenazah dipindahkan ke lokasi baru di selatan kecamatan. Jauh dari jangkauan Cukin Sanjipak yang sudah sekarat. Sedangkan lubang kuburan tempat jenazah ibunya bersuaka, sudah kosong.

“Asu! Mereka sudah meratakan tanah ini. Aku telat.”

Usus yang digendongnya sudah nyaris kering. Darah yang membalut tubuhnya sudah mengental. Sebentar lagi membeku, menghitam. Cukin Sanjipak menggelepar di dekat gerbang pemakaman. Orang-orang tak ada yang mendekat untuk sekadar ingin tahu tentang keadaannya. Mereka cuek dengan insiden janggal yang sering terjadi.

“Ah, seperti kemarin-kemarin. Menggelepar. Divonis mati. Eh, hidup lagi.”

“Dasar kucing!”

Cukin Sanjipak menjerit. Melontarkan sumpah serapah. Kali ini ia susah bangkit. Matanya melotot ke arah orang-orang yang berada di kejauhan. Ada kekuatan mahabesar yang datang mencengkeram tubuhnya.

Di tengah ketidakberdayaan ini, Cukin Sanjipak masih bisa meracau: “Mudah menghindari maut. Tapi sekarang aku telat. Kuburan ibuku sudah dipindahkan. Susah untuk merangkak ke sana.”

Dalam sorot mata orang-orang kampung dan petugas relokasi pemakaman, tubuh Cukin Sanjipak tak bergerak lagi. Lalat-lalat mulai gentayangan mengerubunginya. Ketika seorang petugas relokasi mendekati tubuh Cukin Sanjipak, seorang warga langsung nyelonong menghalau.

“Biarin, Pak! Sudah biasa ini. Nanti dia pasti bangkit lagi.”

“Memangnya siapa dia?”

“Cukin Sanjipak.”

“Oh, dia … Ya sudah. Biarin!”

Alat berat masih meraung, melanjutkan proses meratakan tanah pemakaman untuk proyek pembangunan pusat olahraga. Azan maghrib sudah terdengar. Tubuh Cukin Sanjipak masih tergeletak. Tapi matanya mampu berkedip beberapa kali.

Di tempat terpisah, di deretan warung remang-remang, cewek-cewek menggelar pesta perayaan. Musik dangdut koplo disetel kencang-kencang. Pelanggan mulai berdatangan.

“Mulai malam ini tak ada lagi yang memeras.”

“Tak ada lagi yang gratisan menyodok selangkangan.”

“Keluarkan semua oplosan yang ada.”

“Kita pesta sampai pagi.”

“Sampai kiamat .…”

Braaakkk! Sekonyong-konyong datang pelanggan muda. Membanting sepeda pancalnya. Ngos-ngosan. Lalu memotong obrolan mereka. “Benar! Sebentar lagi kiamat. Cukin Sanjipak berhasil ziarah ke kuburan ibunya yang baru. Sekarang ia berjalan menuju sini.”

Eko Darmoko
Latest posts by Eko Darmoko (see all)

Comments

  1. Syitaa Sisil Reply

    Keren..!!

  2. Nandreans Reply

    Keren

  3. Tn. Typo Reply

    Mantap

  4. TIto Afwi Senda Reply

    NIce…

  5. wahyu Reply

    Bagus cerpennya.

  6. Ibnu sya'nah Reply

    Dari mana inspirasi seperti ini berasal? Saya buat cerpen, hasilnya gak ada hasil. Ganti kata sana sini. Ganti ini ganti kata itu lagi. Gak ada selesainya. Sampai tangan ini capek, dan menyerah di hadapan lelah. Punya solusi?

    • Eko Darmoko Reply

      Harus banyak keluyuran dan rajin membaca

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!