Ini film horor. Yaiyalah, dari poster dan trailer-nya juga terang benderang. Maksud saya nganu… Hereditary bukan film horor semacam The Conjuring atau Ringu yang bikin Anda tergeragap dan menjerit karena banyak adegan mengagetkan. Yang kayak gitu sedikit porsinya dalam debut sutradara Ari Aster yang sekaligus menulis skenarionya. Ini jenis horor yang menghunjam psike Anda (atau karena cuma saya saja yang baperan? Hmm…). Anda akan lebih sering terpaku di kursi dan terdiam kelu. Bagi yang (sedang atau pernah) punya masalah dengan keluarga, Anda akan merasa salah memilih menonton film. Bagi yang (merasa) baik-baik saja dengan keluarga, boleh jadi film ini mencetuskan keraguan, “Yakin?”
Anda mungkin baru menyadari bahwa sebenarnya banyak film horor terbaik yang menggunakan resep ancaman terhadap hal-hal domestik seperti rumah dan ikatan keluarga sebagai detonator ketegangan. The Shining, Rosemary Baby, The Exorcist, dan Pengabdi Setan, misalnya. Apa pasal? Saya kira karena trik itu bisa dengan efektif menyuntikkan dampak ke-insecure-an kita terhadap hal-hal familier yang taken for granted. Duh banyak keminggrisnya. Untuk ulasan ini saya lebih memilih kata “familier” ketimbang “akrab” ya, karena dia dekat dengan kata “family” dalam bahasa Inggris. Ini film tentang sebuah “family” yang antaranggotanya makin tidak “familier” satu sama lain.
Begini, salah satu “tuntutan” (yang sifatnya naluriah atau pun sosial) bagi Anda sebagai salah satu anggota unit keluarga itu kan rasa “kedekatan, keterikatan, keakraban” dengan anggota keluarga lainnya. Namun, bagaimana kalau hal itu tak berfungsi? Horor tidak sih kalau rumah Anda berasa bagai neraka? Bukan karena ada hantunya, tapi karena satu sama lain saling tak nyaman, majal komunikasinya, panas diem-dieman bagai api dalam sekam. Rumah tak lagi jadi tempat aman dan nyaman bagi jiwa dan raga.
Menurut saya, ada dua adegan terhoror yang bisa memancing imajinasi tentang trauma mental (bagi yang tidak pernah mengalaminya, film ini menguji empati kita) atau mengembalikan memori gelap bagi yang sungguh-sungguh mengalaminya. (Ya Tuhan, semoga kita terhindar darinya):
Pertama, saat sang anak sulung terbangun tiba-tiba dan kaget melihat ibunya sudah di samping ranjang. Situasinya mengingatkan kembali insiden semasa si anak masih bocah. Dulu sang Ibu masuk ke kamarnya dengan sudah berlumur thinner (pengencer cat) dan menggenggam geretan. Thinner mudah terbakar bahkan oleh percikan bara. Konon si ibu kalau tidur sering berjalan tanpa sadar, tapi kini si anak menuntut kejujuran. Keluarlah pengakuan, “Sewaktu Ibu mengandungmu, Ibu ingin menggugurkanmu dengan segala cara, tapi gagal.”
Kedua, adegan pertengkaran di meja makan. Ini ledakan emosi yang mengingatkan saya pada kualitas penyutradaraan a la Ingmar Bergman (tontonlah Cries and Whispers), yang menuntut gesture minimalis tapi tak bisa kita tebak potensi aksinya. Ini kontras banget dengan akting a la sinetron SCTV yang konon lagi viral meme potongan adegannya. Itu lho yang dialognya, “Jangan sentuh aku! Aku jijik!” lalu si cewek ngeloyor pergi.
Adegan ini pun menggelitik didikan patriarkal dalam keluarga. Anda kesal lihat si Bapak yang dengan pasif berusaha menengahi konflik keluarganya. Dia tidak sedang meneguhkan otoritas, tapi justru menunjukkan kerapuhan wibawanya. Akibatnya fatal. Rasa getun masing-masing tokoh tak menemukan penebusan dan permaafan. Satu-satunya jalan adalah yang menuju kemusnahan diri, diambil alih oleh kegelapan “atma purba”.
Begitulah keluarga Graham adanya. Film dibuka dengan keterangan tentang kematian ibunya Annie. Mereka bersiap-siap menguburkannya hari itu dalam sebuah upacara yang terasa “bersih klinis”, “aman terkendali”. Setelahnya kita diberi tahu bahwa Annie butuh curhat, tapi tidak bisa kepada anggota keluarganya. Kematian ibunya bukan hanya menimbulkan perasaan sedih yang lazim, tapi juga rasa lega karena berharap terbebas dari dominasi dan kontrolnya. Ternyata dia keliru. Bukan karena secara moral normal salah, tapi karena, meski sudah meninggal, bayang-bayang pengaruh Ibu masih kuat mencengkeram mentalnya, bahkan kemudian menentukan nasib keluarganya.
Dalam adegan terapi konseling berkelompok kita disajikan cerita Annie bahwa ayahnya mengidap depresi, saudara lelakinya mengidap skizofrenia, dan ibunya adalah anggota utama sebuah cult yang mempraktikkan sihir. Secara bertahap kita mengetahui bahwa cult ini ingin memunculkan kembali salah satu Raja Neraka, tapi ada kesalahan pada wadah wadaknya. Petunjuk ini membuat kita menjadi awas dengan sesuatu yang tak biasa dan tak beres pada dua anak keluarga itu, yang lelaki bernama Peter dan adik perempuannya bernama Charlie.
Belum lagi Annie memahami duka yang taksa atas kematian ibunya, dalam adegan kecelakaan bermobil yang sadis, Charlie meninggal. Di titik ini sudut pandang film ini mulai berubah-ubah, berganti-ganti hanya pada dua tokoh: Peter dan Annie. Duel psikologis ibu dan putranya inilah yang menggerakkan plot, keduanya sama-sama beradu siapa yang paling berduka dan siapa yang paling patut dipersalahkan. Tema duel psikologis ibu-anak ini mengingatkan saya pada film drama Ordinary People.
Perhatikan momen setelah adegan kecelakaan. Ini menegaskan pembacaan saya atas film ini bahwa, sejatinya, ini adalah film horor-drama-psikologis, bukan film horor hantu. Hal-hal supranatural seperti hantu dan cult itu adalah sulap cerdas Ari Aster. Peter adalah seorang psikopat. Kematian Charlie adalah pelatuknya. Dengan mayat Charlie masih di kursi belakang mobil, Peter pulang dan langsung meringkuk syok di ranjangnya dengan tidak memberi tahu kedua orang tuanya tentang kecelakaan itu sama sekali. Paginya, Annie meratap dan penonton syok disuguhi imaji sebutir kepala dikerubuti semut dan mulai ngeri membayangkan konsekuensi kematian mendadak tokoh cerita yang mulai mengundang simpati.
Setelah momen ini, kita sebenarnya sedang berhadapan dengan dua tokoh cerita yang sudut pandangnya meragukan. Perhatikan gerak kamera yang aneh ketika memunculkan karakter Joan dalam sudut pandang Annie. Meski kita digiring untuk mengenali Joan sebagai salah satu anggota cult Raja Neraka dan membuat Annie terpengaruh untuk ikut memercayai klenik, tapi apakah Joan dilihat oleh orang lain selain Annie? Ya, tapi hanya oleh Charlie yang “diharuskan” mati cepat dan oleh Peter ketika tabiatnya sudah aneh. Joan hanya ada berdasarkan ceritanya Annie. Ini trik yang mengingatkan saya akan Shyamalan kala menyusun twist ending film Sixth Sense sehingga menjadikannya klasik.
Masih yakin kalau adegan horor hantu, tubuh tanpa kepala melayang dan pemanggilan Paimon itu “benar-benar ada”? Saya uji Anda dengan membayangkan skenario tambahan setelah ending-nya. Kalau Anda jadi detektif yang menyelidiki insiden di rumah terpencil itu, siapakah yang akan Anda curigai sebagai pelakunya? Bagi saya sih, ending film ini sesakit Don’t Look Now dan Gone Girl.
Jadi, kalau penasaran, tontonlah film bagus ini. Yang sudah menonton, coba ingat-ingat dan renungkan lagi.
- Kenanganmu Itu, lho, Alfonso…; Ulasan Film Roma (2018) - 13 February 2019
- Salam Terakhir sang Legenda; Ulasan Film the Old Man & the Gun (2018) - 16 January 2019
- Gagalnya Utopia di Dunia Baru dan Kepulangan “(Anti)Hero” - 26 December 2018