
Sehari setelah mereka menikah, Aide dan Gela berencana pergi mengunjungi Bistro’s; restoran kecil tapi terkenal yang jaraknya sekitar setengah mil dari rumah mereka. Saat rencana itu dibuat, Gela mengusulkan agar mereka berjalan ke sana.
Untuk alasan itu juga, Gela tidak berdandan sebagaimana yang biasa dia lakukan jika pergi ke restoran. Perempuan itu hanya memakai bedak tipis dan pelembab bibir. Rambutnya dibiarkan tergerai, menutupi punggungnya yang terbuka karena baju terusan yang dipakainya.
Aide yang berusaha mengimbangi penampilan Gela memutuskan hanya memakai celana pendek dan kaus oblong. Saat menyisir rapi rambutnya di depan cermin, segera kombinasi pakaian itu terasa begitu pas baginya, dan dengan cara-cara tertentu membuat Aide merasa bahagia; perasaan yang segera hilang ketika didapatinya Gela malah meneriakinya.
“Ya Tuhan, pakailah celana panjang!” kata perempuan itu.
“Kenapa kalau pakai yang ini? Kan santai-santai saja.”
“Tidak santai begitu juga. Pakai celana panjang.”
Aide tidak membalas lagi perkataan istrinya. Dengan sedikit kecewa, laki-laki itu kembali masuk kamar. “Pakailah celana panjang yang warna cokelat,” teriak Gela dari luar. Aide segera membuka lemari, mencari celana yang dimaksud istrinya. Untunglah dia hanya punya satu celana panjang berwarna cokelat; celana yang dibelinya sekitar setahun yang lalu.
Sambil mengganti celananya, Aide mengingat-ingat lagi hal-hal kecil yang terjadi di acara kemarin. Entah kenapa, bunyi gelas pecah yang disenggol salah seorang tamu tiba-tiba mengisi pikirannya. Dia tak kenal tamu itu; barangkali kenalan Gela. Setelah setengah tahun berpacaran, kemarin mereka menggelar pesta pernikahan. Sebelum pesta itu dilangsungkan, Aide sempat merasa khawatir soal hubungannya dengan Gela yang mungkin berubah setelah menikah. Terutama tentang cara mereka menyikapi sesuatu. Karena itu secara terbuka dikatakannya kepada Gela kalau dia ingin menjalani rumah tangga yang santai; pernyataan yang kemudian ditanggapi Gela dengan tertawa.
“Tentu saja. Tentu saja,” kata perempuan itu; jawaban yang membuat Aide tidak yakin bagaimana Gela menangkap maksud perkataannya. Lagi pula, untuk alasan-alasan tertentu Aide merasa tawa Gela saat itu sedikit tertahan. Karena itu, dia mengusulkan agar mereka menikmati waktu berdua setelah menikah. Semacam berkencan, barangkali makan malam di luar, di restoran yang tidak terlalu mewah, tapi cukup untuk mengobrol santai tanpa harus buru-buru meninggalkan meja jika mereka selesai makan. Setidaknya kencan itu bisa membuat mereka lebih santai setelah menggelar pesta pernikahan, pikir Aide. Setelah memilih restoran yang dirasa tepat, Gela segera menyarankan agar mereka berjalan saja ke Bistro’s untuk makan malam di sana. “Di sepanjang jalan kita bisa mengobrol juga,” katanya.
Di ruang tengah, Gela yang sedang menunggu Aide mengganti celana juga sedang memikirkan pesta pernikahan mereka kemarin; banyak temannya yang tidak bisa datang. Sebagian dari teman-temannya itu mengalami sakit karena pergantian musim, tapi seluruhnya telah mengirimkan permintaan maaf sambil mengucapkan selamat atas pernikahannya dengan Aide. Kecuali itu, dia tidak yakin apakah teman Aide datang semua. Suaminya tidak pernah membahas hal itu sampai sekarang. Mungkin mereka bisa membicarakan hal itu setelah sampai di restoran nanti, pikir Gela. Perempuan itu segera mendaftar apa saja hal lain yang ingin dibicarakannya dengan Aide. Walaupun begitu, pikiran soal apa saja yang tidak ingin dibicarakannya justru ikut muncul; hal yang kemudian dirasanya sedikit mengganggu. Dilihatnya jam tangan, sudah pukul tujuh malam; Aide belum juga selesai mengganti celana.
Gela berjalan ke teras. Dibiarkannya pintu rumah terbuka agar suaminya tahu dia sudah menunggu di luar. Udara di luar terasa lebih dingin dari yang dibayangkannya. Harusnya dia memakai sweater, tapi Gela malas kembali masuk mencari-cari sweater itu. Perempuan itu yakin tubuhnya bisa beradaptasi dengan udara dingin jika berjalan setengah mil ke Bistro’s. Di jalan hampir tidak ada orang, mungkin karena udara dingin juga. Dilihatnya beberapa tetangga sedang mengobrol di teras rumah masing-masing. Obrolan yang terlihat menyenangkan, pikirnya. Seluruh tetangganya telah menikah, dan Gela jadi ingin tahu apa isi obrolan itu. Walaupun begitu, dia tahu keinginan semacam itu tidak perlu benar-benar terwujud. Dirapikannya lipatan-lipatan baju terusan yang dipakainya. Baju itu baru dibelinya tiga hari lalu.
Di dalam kamar, Aide yang baru selesai mengganti celana terus menatap dirinya sendiri di depan cermin. Dirasanya warna celana yang dipakainya sedikit tidak pas dengan warna kaus yang dipakainya, tapi disadarinya tidak ada waktu untuk memilih celana lain. Lagi pula, Gela yang memintanya memakai celana cokelat itu. Saat keluar, didapatinya pintu depan terbuka. Di lantai teras memantul bayangan seseorang.
“Kita bisa jalan sekarang?” tanya Aide dari dalam rumah, sedikit berteriak. Bayangan di lantai teras segera bergerak; Gela melongokkan kepalanya, menoleh ke dalam. “Nah, begitu kan lebih bagus. Ayo jalan sekarang!”
“Celana cokelat dan baju biru ini?”
“Iya. Sudah pas.”
“Perlukah pakai sepatu?”
“Benar. Pakailah sepatu,” kata Gela. Aide mengambil sepatu dari rak, kemudian memakainya. Walaupun masih kuat, sepatu itu sudah kusam. Aide membelinya di hari pertama kencannya dengan Gela. Jika ada waktu, dia ingin mengajak istrinya membeli sepatu baru. Mungkin besok. Lagi pula, rencana itu tidak perlu dibahas sekarang.
Setelah melihat Aide selesai memakai sepatu, Gela berjalan lebih dulu ke pintu gerbang. “Ayo,” katanya, setengah berteriak. Aide segera menyusul, dan tiba-tiba menyadari betapa dinginnya udara ketika angin yang bertiup merusak tatanan rambutnya yang sudah disisir rapi.
“Dingin sekali, ya,” kata Aide sambil merapikan rambutnya.
“Kalau berjalan setengah mil, rasa dinginnya pasti hilang.” Gela menepuk bahu suaminya.
“Benarkah?”
“Tentu saja.”
“Kalau dingin begini, apa kau sanggup berjalan setengah mil dengan baju terusan begitu, dan sepatu itu?”
Mendengar pertanyaan itu, Gela memutar-mutar kakinya. Seolah-olah ingin menunjukkan ke Aide sepatu yang dipakainya. “Tentu saja sanggup, tapi, ini sepatu bagus bukan?” kata perempuan itu. Aide segera memperhatikan sepatu yang dipakai istrinya; dia belum pernah melihat sepatu itu sebelumnya. Meski tergolong sepatu kets, Aide merasa secara serampangan outsole sepatu itu terlalu tinggi hingga hampir menyerupai heels. “Tentu … bagus sekali,” balasnya, tanpa ingin berkomentar lebih jauh. Aide ingin bertanya kapan istrinya membeli sepatu itu, tapi tidak jadi.
Aide dan Gela terus berjalan. Untuk beberapa waktu, mereka tidak mengatakan apa-apa. Gela sibuk melihat bintang-bintang di langit dan merasa ada yang aneh dengan bintang-bintang itu. Saat keduanya melewati rumah Benjor, tetangga mereka, laki-laki tua itu menyapa Aide dan Gela. Dari halaman rumahnya yang berpagar rendah, Benjor melambaikan tangan. Cahaya lampu taman menerangi wajahnya. Walaupun terlihat ramah, Aide yakin keriput yang menumpuk di wajah laki-laki tua itu adalah tanda bahwa Benjor bisa mati kapan saja.
“Halo, … mana?” sapa Benjor.
“Halo,” balas Aide, kemudian terus berjalan sambil melambaikan tangan. Setelah agak jauh, Gela menanyakan apa yang Benjor katakan tadi kepada Aide. “Aku tidak dengar jelas dia bilang apa,” kata perempuan itu.
“Aku juga. Suaranya terlalu kecil. Makanya aku cuma bilang halo.”
“Kasihan juga dia,” balas Gela.
“Iya, kasihan. Tampangnya seperti orang yang mungkin meninggal kapan saja.”
Walaupun baru pindah ke rumah mereka, dari cerita tetangga-lah, Aide dan Gela tahu sudah lama Benjor hidup sendirian. Cerita yang mereka dengar sejak mulai mengisi rumah baru dengan barang-barang sepekan sebelum menikah: istri Benjor sudah lebih dulu meninggal, dan pasangan itu tidak punya anak. Walaupun sering sakit, laki-laki tua itu termasuk orang yang rajin mengurusi tamannya yang ditanami beberapa jenis bunga.
“Kata orang-orang dia sering menangis sendirian di rumahnya,” ujar Aide.
“Sepertinya itu bohong. Dia selalu ramah menyapa kalau ada tetangga lewat di depan rumahnya. Lebih sering dari tetangga yang lain. Lagi pula, dia mengurusi tanamannya setiap waktu, pagi dan malam hari. Cuma orang sehat yang melakukan itu.”
“Kalau begitu barangkali dia kesepian.”
“Belum tentu. Orangnya selalu kelihatan ceria. Mungkin berkebun dan menyapa tetangga memang bisa bikin dia bahagia,” kata Gela sambil merapikan lipatan baju terusannya.
“Belum tentu orang yang ceria itu hidupnya bahagia,” balas Aide.
“Sama saja, kan? Belum tentu orang yang kelihatan menderita itu benar-benar menderita.” Entah kenapa, jawaban itu dirasakan Aide cukup lucu; tidak sampai membuatnya tertawa, tapi berhasil membuatnya tersenyum. Senyuman itu segera hilang ketika Aide ingat perjalanan ke Bistro’s masih lumayan jauh, terutama di tengah udara dingin begini. Ditatapnya Gela yang berjalan di sampingnya. Aide yakin, berjalan setengah mil ke Bistro’s dan setengah mil lagi untuk kembali ke rumah mereka akan membuat kakinya dan kaki Gela pegal-pegal besok pagi; mereka bukan pasangan yang rajin berolahraga. Belum juga menempuh setengah perjalanan, Aide merasa kakinya mulai pegal. Dia ingin tahu apakah Gela memikirkan juga kemungkinan pegal-pegal itu. Selain itu, apa perempuan itu tidak kedinginan? Dia menatap istrinya sambil menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.
Gela yang masih merapikan lipatan baju terusannya sesekali kembali menatap bintang. Dirasanya bintang-bintang itu bergeser sedikit dari tempatnya, tapi Gela tahu hal semacam itu pastilah hanya halusinasi. Dirasanya udara semakin dingin, tapi Aide tidak membahas soal itu. Maka pastilah dingin itu masih tertahankan buat sebagian besar orang, pikir Gela. Maka dia terus berjalan di tengah udara dingin itu.
“Apa masih jauh?” tanya Aide.
Gela menoleh. “Sepertinya sebentar lagi sampai,” balasnya. Sesekali pikirannya dijejali hal-hal apa saja yang ingin dibicarakannya dengan Aide, baik sekarang maupun setelah sampai di restoran nanti. Kecuali itu, pikiran soal apa saja yang tidak ingin dibicarakannya masih ikut muncul dan hampir mendominasi; salah satunya soal perasaan menyesal yang muncul karena dirinya tidak memakai sweater. Penyesalan itu hampir mengalahkan keyakinannya, bahwa mengobrol di sepanjang jalan menuju Bistro’s bisa meyakinkan Aide, kalau rumah tangga mereka yang baru saja dimulai akan baik-baik saja.
- Setengah Mil - 14 June 2024
sheesh
Cerpen yang sederhana, tapi penuh akan makna. Tidak membosankan. Bagus!
elin
keren masyallah
Ariyo Valentino
pesan yang sampai di kepala saya adalah percakapan itu sangat dibutuhkan, apalagi bagi orang-orang yang baru saja menikah. atau mungkin keduanya harus beradaptasi dengan “berbagi cerita”.
arisadewo
hangat
teddy m
cerpen yg kalo jadi film pendek bakal menarik kayaknya.
nisa
Entah mengapa, aku merasa percakapan kedua orang itu terasa dingin seperti udara malam yang menyelimuti mereka sepanjang perjalanan
Lediansyah
Masyaallah bagus banget gimana sih biar cerpen kita ke terima kayak gini?