Suami Terbaik

cupcakes buat pengantin laki-laki dan perempuan
Sumber gambar junebugweddings.com

Hari ini perayaan lima belas tahun pernikahan kami.

Aku sedang bersiap menghadapi pertanyaan paling menyakitkan hati.

Siapa yang tidak ingin punya anak yang bisa dimomong? Sebaiknya, aku menerima lebih banyak pernyataan “Semoga segera diberi momongan.” Itu akan sangat membantu.

Kutatap Dimas yang sedang memastikan semua persiapan sudah baik. Kalau bukan karena kelapangan hati suamiku itu, mungkin aku tidak akan sekuat ini.

Untuk kesekian kali, aku bersyukur menerima lamaran Dimas.

***

Saat Dimas memintaku menjadi istrinya lima belas tahun lalu, kuperlakukan ia seperti pelamar-pelamar sebelumnya. Aku ajukan pertanyaan: “Kenapa kau mencintaiku?”

“Kenapa kau mengajukan pertanyaan yang sama kepada semua laki-laki yang melamarmu?”

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Bukan karena menyadari bahwa ternyata dia sudah sejauh itu mencari tahu tentang aku, tapi… pertanyaannya. Belum pernah ada yang mengajukan pertanyaan seperti itu kepadaku. Biasanya, mereka sibuk menyiapkan jawaban terbaik.

“Karena…, aku harus tahu alasan seseorang mencintaiku.”

“Cinta seperti apa yang kau inginkan, Aleta? Apa yang bisa membuatmu yakin dan berhenti mencari?”

Bukankah seharusnya aku yang bertanya?

“Aku….”

Belum selesai kujawab, Dimas menyahut, “Cinta yang setia. Itulah yang dapat kutawarkan. Jika itu cukup bagimu, maka terimalah lamaranku.”

Belum tersadar dari kebingungan, aku bergeming.

“Lagi pula, Aleta,” ujar Dimas lagi, “apakah ada alasan untuk tidak mencintaimu?”

Pertanyaan macam apa yang diberikan oleh Dimas itu?

Tentu saja banyak alasan bagi seorang pria untuk tidak mencintaiku. Aku sudah sering mengingatkannya. “Aku tidak pandai memasak, Mas. Aku tidak telaten mengurus rumah. Rumahku sering berantakan dan aku tidak peduli. Aku tidak suka mencuci. Baik piring maupun baju. Mencuci piring membuatku jijik. Mencuci baju sangat melelahkan.”

Tapi dia seolah tidak mendengar. Dia akan menjawab, “Tak apa, ada banyak warung makan dan penatu. Atau, kita pakai pembantu sekalian. Itulah guna mereka, kan? Untuk meringankan pekerjaan istri. Aku sungguh mencintaimu, Aleta.”

Hah! Cinta.

Tentu saja dia mudah berkata mencintaiku, seperti pria-pria lain sebelumnya. Tapi aku tahu persis alasan mereka. Apa lagi kalau bukan karena aku cantik?

Dari semua kekuatan wanita, aku hanya unggul di kecantikan. Oh, dan tubuhku sintal. Itu saja. Sebagai pacar, tentu aku mencoba menerima beberapa dari mereka. Sama seperti Dimas, yang lain pun kelihatan tergila-gila kepadaku. Pertanyaan yang sama pun selalu aku ajukan.

Kenapa kau mencintaiku?

Jawabannya beragam. Kebanyakan, intinya sama: karena aku cantik, pintar, baik, bla bla bla….

Bosan.

Mereka hanya mencari celah untuk menyentuh bagian tubuhku. Ini seperti barter, sih. Mereka memfasilitasi hidupku, dan aku menjadi “selir” mereka. Dipamerkan ke mana-mana. Disentuh di sana-sini. Sial! Kadang aku pikir, beda pacar dan pelacur itu hanya tidak memberi keperawanan. Ya ada juga sih sebagian wanita bodoh yang memberi keperawanan mereka ke pacar dengan sukarela. Ah, wanita.

Tapi, ada yang berbeda dari Dimas. Ketika melihatku, bukan nafsu yang ada di matanya. Bukan hanya nafsu, mungkin. Aku sudah terlalu yakin semua pria yang mendekatiku tak mungkin tanpa nafsu. Di mata Dimas ada… pemujaan. Dia seolah tak ingin ada laki-laki lain yang memiliki, bahkan mendekatiku. Dimas seolah… ingin memilikiku seutuhnya. Tak peduli apa pun juga.

Aku agak takut sebenarnya, tapi… sekaligus merasa istimewa. Ya, Dimas membuatku merasa istimewa. Baru dia laki-laki yang tak hanya terlihat berhasrat memilikiku, tapi juga sungguh-sungguh memperlihatkannya. Dia segera meminangku menjadi istrinya. Hanya tiga bulan setelah kami bertemu. Katanya, dia bisa gila bila tidak segera melakukannya. Dan ketika kutanya alasannya mencintaiku, begitulah jawabannya.

***

Tidak salah memang menerima pinangan Dimas. Dia luar biasa mencintaiku.

Aku tak pernah bekerja keras di rumah—hanya membuatkannya kopi kadang-kadang. Aku masih diizinkan bekerja, walaupun tidak pernah dibiarkan membawa kendaraan sendiri. Dimas selalu bersedia menyisihkan waktu untuk mengantar dan menjemputku sendiri. Bukan Pak Sopir yang disuruhnya. Kecuali, jika terpaksa sekali.

Dimas memang pencemburu. Sangat pencemburu. Awalnya agak mengkhawatirkan, memang. Kami pernah bertengkar hebat karenanya.

“Kenapa kamu hapus lagi semua nomor ponsel teman laki-lakiku, Mas? Kamu kan sudah berjanji tidak akan melakukannya lagi?”

“Agar kamu tidak menghubungi mereka, Aleta. Untuk apa menyimpan nomor mereka? Kamu tidak membutuhkan mereka. Yang kamu butuhkan hanya aku, Aleta. Hanya aku.”

“Kamu gila, Mas! Aku capek menjelaskannya kepadamu! Mereka teman-teman dan keluargaku, tentu saja aku membutuhkan mereka!”

“Tidak! Tidak boleh ada yang lain dalam hidup kamu, Aleta! Cukup aku! Apa yang kuberikan selama ini masih kurang sampai-sampai kamu masih merasa memerlukan mereka?! Buang saja mereka semua! Yang kamu butuhkan cuma aku! Bagaimana caranya agar kamu mengerti, Aleta?!”

Saat itu, aku merasa Dimas benar-benar sudah gila. Dia memang tidak mengasariku, tidak pernah—ia sangat memuja tubuhku dan tak mau menyakiti sedikit pun, bahkan meski hanya menggoresnya—tapi barang-barang di kamar hancur berserakan. Untuk pertama kalinya, aku merasa takut dengan orang yang sudah menjadi suamiku selama dua tahun itu.

“Aku memang tidak mengerti jalan pikiranmu, Mas,” ucapku lirih setelah Dimas tak lagi menemukan barang yang bisa dipecahkan. “Bagaimana kalau kita bercerai saja?” Aku bahkan tidak menatap wajahnya saat mengucap kalimat itu. “Aku memang tidak bisa hidup tanpa mereka, teman-teman dan keluargaku. Jika itu membuatmu tidak suka, maka aku harus memilih. Dan aku memilih mereka, Mas. Maaf.”

Dimas justru segera keluar. Entah ke mana. Aku tak peduli. Aku sudah lelah sekali dan tertidur.

***

Keesokan harinya, Dimas meminta maaf dan mengajakku pergi. Kami mengunjungi keluargaku di Wonosobo. Katanya, daripada bercerai denganku, dia lebih rela membagiku dengan keluarga dan teman-temanku.

“Tapi sedikit saja, ya. Bagian terbesarnya tetap punyaku, kan?” tanyanya dengan wajah penuh harap. Lagi, dia kelihatan ketakutan akan kehilanganku. Lagi, aku luruh begitu melihat binar matanya yang seperti anak kecil.

***

Pertengkaran-pertengkaran kecil masih terjadi. Tentu saja karena cemburu. Tapi begitu memastikan tidak ada laki-laki lain, Dimas akan segera meminta maaf.

Aku mulai bisa membaca rasa cemburunya dan hampir yakin dia terobsesi denganku. Ketakutannya berlebihan jika tepercik sedikit saja indikasi kemungkinan akan kehilanganku. Dan itu bisa menjadi senjataku yang paling ampuh.

Yah, selama Dimas tidak berlaku kasar, aku akan bertahan. Toh selain cemburunya yang mengerikan itu, dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Lagi pula, cemburu tanda cinta, kan?

Masalahnya sekarang adalah… setelah lima tahun kami menikah, aku belum juga berhasil mengandung anaknya.

Dimas selalu berkata, “Tidak apa-apa. Aku sudah sangat bahagia bisa hidup berdua denganmu.”

Tapi apa dia tidak mendengar gunjing keluarga dan tetangga?

Jika kukeluhkan masalah itu, dia akan berkata, “Jangan didengarkan. Kamu istriku. Aku saja bisa menerima keadaanmu. Mengapa kau harus merisaukan pendapat mereka? Tenanglah, aku akan melindungimu. Aku sangat mencintaimu. Kau tau, kan?”

Ya, aku tahu. Tapi, nyinyir tetangga dan keluarga sungguh kadang tak tertahankan.

Oh, aku bukannya tidak bisa hamil.

Aku ingat kali pertama mengabarkan kehamilan. Dimas menganga. Lalu, perlahan-lahan matanya yang terbelalak tampak berkilat. Tak tahan, aku segera menghambur ke pelukannya. Kurasakan usapan hangat di punggungku. Tangan Dimas. Aku tahu. Aku pun merasakan kebahagiaan yang sama.

Sejak tahu aku hamil, Dimas menjadi jauh lebih perhatian. Ia akan menatap mataku lekat sembari menyodorkan suapan sayur yang tak kusuka atau pil-pil vitamin yang sulit kutelan. “Demi anak kita,” katanya, kemudian mengelus perutku setelah memastikan aku menghabiskan semua suguhannya. Namun, hanya dua minggu setelahnya, aku keguguran.

Setelah itu, beberapa kali aku hamil, sudah empat kali positif, tapi selalu keguguran. Padahal sudah kujaga baik-baik. Sudah kuikuti semua saran dokter dan bidan. Tapi tak pernah sampai tiga bulan setelah tahu aku positif hamil, janinku pasti sudah pergi. Dan aku semakin depresi. Aku tak mau mendengar saran siapa pun lagi dan memilih pasrah seutuhnya.

***

Sepuluh tahun sudah aku dan Dimas berumah tangga. Dan kami belum juga dikaruniai seorang pun putra.

Jika tak ada tangan Dimas yang selalu siap menampung air mataku dan pundaknya yang selalu ada bagiku untuk bersandar, mungkin aku sudah gila.

Tak kupedulikan lagi gunjing keluarga dan tetangga. Bagiku kini, hanya Dimas yang kubutuhkan. Ya, keadaan berbalik. Setelah sepuluh tahun, ganti aku yang nyaris memujanya. Khawatir membayangkan ia akan beralih pada wanita lain. Demi tubuh baru yang lebih menggiurkan. Atau, demi keturunan. Dan aku tak akan punya kuasa untuk mencegahnya.

Sering kukatakan kepadanya,“Mas, bagiku, kamu segalanya sekarang. Berjanjilah kamu tidak akan pernah meninggalkanku.”

Dimas akan tersenyum dan mengecup mesra ujung kepalaku.

“Tentu saja, Aleta. Mana mungkin aku meninggalkanmu? Kamu segalanya bagiku. Kamu hanya milikku, Aleta. Milikku seorang.”

Itu cukup. Aku bahagia.

***

Hari ini perayaan lima belas tahun pernikahan kami.

Sebentar lagi, para tamu akan berdatangan dan aku belum berhasil menemukan cincin pernikahan kami. Dimas memang meminta agar cincin pernikahan yang asli disimpan, agar lebih awet. Biasanya aku tidak peduli. Toh Dimas membelikan banyak cincin lain. Tapi di hari spesial ini, aku ingin mengenakannya. Itu akan jadi kejutan manis untuk Dimas. Masalahnya, aku tidak tahu di mana Dimas menyimpannya.

Hingga, kutemukan sebuah pintu lemari terkunci di kamar kerjanya. Aku jarang masuk ke ruangan ini, khawatir mengganggu pekerjaan Dimas. Setelah mencoba hampir semua kunci yang kutemukan di rumah, lemari itu pun terbuka. Isinya sungguh mengejutkan. Semua benda kenanganku bersama Dimas berkumpul di sana. Tersusun rapi dalam lemari yang terbagi menjadi tiga ruang. Pada bagian paling atas, kutemukan karcis bioskop saat kencan pertama—saat itu kami kehujanan, tiket masuk Candi Borobudur saat bulan madu—aku tak percaya dia masih menyimpannya. Di bagian tengah ada banyak foto. Kuambil salah satu. Foto Tomi dengan silang merah besar. Tomi adalah mantanku sebelum Dimas, dan Dimas sangat cemburu padanya. Foto Didik ditandai silang juga. Aku mengernyit. Didik sepupuku. Dimas memang sempat cemburu padanya, tapi sekarang mereka malah akrab. Oh, jadi tanda silang artinya orang itu sudah bukan ancaman baginya. Aku tertawa kecil mengingatnya, Dimas memang pencemburu. Pada bagian paling bawah, aku menemukan kotak berisi—ah, ini dia cincin kami. Di sebelahnya, ada foto USG calon bayi ka…—ada sesak yang menyusup ke dadaku. Dimas pasti sebenarnya sangat menginginkan seorang anak. Tapi, foto USG ini juga disilang merah besar-besar. Ada tujuh foto USG dan semuanya…. Tunggu, aku sudah hamil tujuh kali dan semuanya….

Apa artinya ini? Apa mungkin…?

Butuh jeda panjang untuk memahami apa yang terjadi selama ini. Aku meraba perut, membayangkan bayi-bayi yang sempat singgah di sana. Hanya mampir. Tidak pernah benar-benar hadir.

Bersamaan dengan rintik yang menghujani tanganku, sebuah suara mengetuk gendang telingaku. Aku bahkan tidak sadar sudah menangis. Ini aneh. Tidak ada rasa sakit. Hanya hampa.

“Aleta? Apa yang kau lakukan?”

Aku masih sempat berbalik. Wajah terkejut Dimas sudah cukup menjawab.

“Aleta, dengarkan dulu penjelasanku.”

Lima belas tahun aku satu rumah dengannya dan aku tidak mengetahui kenyataan ini. Bodoh sekali….

“Aleta, aku melakukannya karena mencintaimu.”

Seharusnya aku sadar lebih cepat.

“Aleta, aku mohon….”

Sudah tidak ada gunanya. Lima belas tahun. Tujuh janin. Sudahlah, tak ada gunanya, Aleta.

Suara Dimas perlahan menghilang. Yang terngiang di otakku kemudian hanya kalimat yang kerap Dimas ucap berulang-ulang, Kamu hanya milikku, Aleta. Milikku seorang…. (*)

Comments

  1. Erin Reply

    Endingnyaaa…!!!
    Bikin aku terjengkang…

  2. Demos Wira Arjuna Reply

    Endingnya gmn itu mksdnya? Hehe dia sengaja ngegugurin yak? Kok bisa bagaimana caranya?

    • widy benny Reply

      Pake obat2 yg dimas blg vitamin kyknya 😱

  3. yera deviyana Reply

    Kok ngeri ya bacanya hihi

  4. Poppy Trisnayanti Puspitasari Reply

    Ketche! Pengen komunikasi sama penulisnya. Minta kontaknya dong, Min…

  5. widy benny Reply

    Perfect ending. Kirain td ex LGBT sih dimas 😂😆

  6. herman yoze Reply

    Endingnya … Hmmm

  7. DevieQeeran Reply

    Endingnya nggk ngerti

    • Ilma Syifa Reply

      si dimas itu obsesi sama istrinya dan nggamau punya anak karena takut perhatian istrinya kebagi. jadi dia gugurin semua janin istrinya.

      • Daffa Reply

        Nah ini masuk akal

  8. hasbi Reply

    busset mantap bener endingnya!
    bikin apa ya…? baper kali.

  9. Sasa Reply

    Bener2 Posesive suaminyaa

    • samantha Reply

      suami nya kenapa ?

      • Admin Reply

        bucin, kak

  10. samantha Reply

    itu sebenar nya kenapa sih ? itu suami nya kenapa ?

    • hani Reply

      dimas terobsesi sama aleta, sampe semua janin si aleta sengaja dimas gugurin (kayanya pke pil2 yg suka dimas kasih), supaya perhatian aleta hanya utk dimas seorang

  11. Mommyfaruq Reply

    Ngeri endingnya… 😱😱😱

  12. Vadilah Reply

    Sumpa ngeriii

  13. hani Reply

    endingnya keren, tapi sayangnya udh sm saya udh ketebak dari pas pertengahan cerita, soalnya rasa cinta dimas semakin kentara gila dan memunculkan kecurigaan

  14. nnsa Reply

    Jadi… Dimas menganggap calon anak mereka itu ancaman?! Saking pencemburu nya seorang Dimas, atau bahkan bisa disebut obsesi(?)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!