
Beliau adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman Abu Muhammad ar-Razi asy-Sya’rani. Berasal-usul dari Rey, Iran. Tapi beliau tinggal di Nisapur. Beliau bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Abu ‘Utsman, Syaikh Muhammad bin al-Fadhl, Syaikh Ruwaim al-Baghdadi dan para sufi agung yang lain.
Beliau merupakan salah satu sahabat agung dari Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri yang sedemikian dimuliakan oleh kawannya itu. Beliau memiliki latihan-latihan rohani yang sangat menakjubkan. Begitu alim di bidang tasawuf, juga termasuk jago di bidang ilmu hadis. Beliau wafat pada tahun 353 Hijriah.
Syaikh ‘Abdullah asy-Sya’rani menyatakan bahwa keluh-kesah kepada manusia dan sempitnya hati semata karena sedikitnya makrifat kepada Allah Ta’ala. Seandainya seseorang tahu bahwa suatu persoalan ditimpakan kepadanya murni atas nama kasih-sayang, tentu dia tak akan mengeluh pada sesama.
Dia hanya akan mengeluh kepada Allah Ta’ala, yang selain merupakan sumber dari segala kedamaian yang dirasakan oleh umat manusia di muka bumi, juga sesungguhnya merupakan “sumber” dari segala masalah. Dari sanalah sumber kedamaian berawal. Dari sanalah pula sumber masalah bermula.
Dengan kedamaian itu kita kemudian belajar bersyukur. Dan dengan masalah itu kita kemudian belajar untuk semakin menjadi dewasa. Seandainya hidup ini cuma berisi ketenangan dan kedamaian, tentu kita akan tetap berjiwa kanak-kanak yang tidak akan pernah kunjung berubah menjadi dewasa.
Dan demi menyematkan kedewasaan atas nama kasih-sayang kepada kita, maka hadiratNya menimpakan sedikit masalah kepada kita. Agar kita bangkit. Agar kita waspada. Agar kita belajar menangani berbagai macam persoalan yang menimpa diri kita sendiri. Agar kita menjadi dewasa karenanya.
Itulah apa yang disebut sebagai sayap kanan dan sayap kiri di dalam dunia rohani. Dengan sayap kanan itu kita bersyukur agar karunia-karunia kita ditambah dan diberkati. Dan dengan sayap kiri itu kita belajar tangguh untuk menghadapi berbagai macam persoalan yang akan senantiasa menggerus diri kita sendiri.
Dengan kondisi rohani yang kukuh dan gagah seperti itu, kita akan menjadi tangguh di dalam bersembah sujud kepada Allah Ta’ala, tidak mungkin rapuh dan tersiok-siok di dalam menghadapkan diri kepada hadiratNya. Itulah sembah sujud orang makrifat yang tidak mungkin manut kepada kehendak makhluk.
Karena jelas bahwa seluruh perbuatan orang makrifat itu pastilah cocok dan sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala. Tidak ada sehelai hijab pun yang menghalangi antara dia dengan hadiratNya. Seluruh penglihatannya hanya tertuju kepada hadiratNya semata. Sama sekali tidak kepada apa pun yang lain.
Bagi seseorang yang telah makrifat kepada Allah Ta’ala, selamat tinggal segala sesuatu yang lain. Ia boleh ada, boleh juga tidak. Ada dan tidaknya betul-betul tidak menggoreskan apa pun kepada dirinya. Bahkan, dia menyaksikan dirinya telah mutlak diperankan oleh hadiratNya, bukan oleh siapa pun yang lain. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025