Syaikh Abu ‘Abdillah al-Hamadani

Beliau adalah Abu ‘Abdillah al-Jubari ash-Shufi al-Hamadani. Beliau termasuk sufi agung dari Jubarah, sebuah nama desa di pedalaman Romawi. Tidak saya temukan data yang mencatat tahun kelahiran dan wafatnya. Tapi tak apalah. Itu tidak terlalu penting, setidaknya bagi saya pribadi.

Sangat menarik sensitivitas rohani beliau, terutama berkaitan dengan makanan yang dihidangkan atau hendak dimakan oleh beliau. Beliau sendiri pernah berjanji langsung kepada Allah Ta’ala bahwa makanan apa saja yang dijumpai dan hatinya menolak makanan tersebut, maka beliau tidak akan memakannya.

Perlu diperhatikan di sini bahwa yang dimaksud menolak makanan itu adalah hatinya, bukan selera atau nafsu makannya. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang kontras. Nafsu makan itu berkaitan dengan lezat dan nikmatnya makanan. Sementara hati yang menerima atau menolak makanan itu lebih karena sensitivitas hati tersebut terhadap kehalalan atau keharaman makanan.

Suatu hari di masjid Soneez Yordania, terdapat hidangan makanan yang disediakan untuk para sufi yang sedang berkumpul di sana. Di masjid itu juga ada Syaikh Abu ‘Abdillah al-Hamadani. Tapi karena hati beliau menolak makanan itu, beliau menjadi enggan untuk ikut serta memakannya.

Sementara para sufi yang lain sangat lahap menikmatinya. Sambil makan, mereka menasihati sang sufi yang hatinya “rawan” itu. “Kau selalu menyalahi persahabatan. Yang lain makan, sedang kau tidak. Makanlah walaupun sedikit,” ucap mereka seperti sedang menggurui beliau.

Dengan terpaksa beliau kemudian ikut serta menyantap hidangan makanan itu sembari menanggung perasaan hatinya sendiri yang masygul dan tidak keruan. Sebentar kemudian beliau dirundung kantuk, lalu tertidur di masjid Soneez itu.

Nah, di dalam tidurnya, beliau bermimpi didatangi oleh seseorang. Orang asing di dalam mimpinya itu berkata kepada beliau dengan lirih tapi tegas: “Kau telah menyantap hidangan makanan yang hatimu sendiri menampiknya? Apakah kau tidak tahu bahwa dengan demikian bencana akan turun kepadamu?”

Di masjid Soneez Yordania itu, sang sufi dihadapkan dengan dua persoalan sekaligus. Yaitu, persoalan hatinya sendiri yang sudah kadung sensitif berkaitan dengan keharaman suatu makanan dan persoalan yang berupa ajakan teman-temannya untuk ikut serta makan. Yang mana sebenarnya yang mesti dikesampingkan?

Menurut kalkulasi spiritualitas saya sendiri, “tata krama” dengan para sahabat yang berupa keikutsertaan menyantap hidangan makanan itulah yang harus dikesampingkan. Toh, di dalam persahabatan, setiap orang tidak mesti menentukan pilihan yang sama. Lagi pula, untuk kasus sang sufi, hukumannya terlampau berat untuk ditanggung.

Dalam konteks kasus di atas, ada baiknya kita menyimak penuturan Syaikh Abubakar az-Zaqqaq al-Mishri ketika beliau ditanya tentang dengan siapa seseorang mesti bersahabat. “Dengan orang,” jawab Syaikh Abubakar kepada si penanya, “yang apabila engkau menyebutkan keburukanmu yang hanya diketahui oleh Allah, orang itu tidak menjauh darimu dan memutus persahabatan denganmu.”

Dan kalau mengetahui keburukan temannya saja seorang sahabat sejati tidak kabur, apalagi kalau mengetahui kesucian hati temannya itu. Pasti jauh lebih senang. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Comments

  1. Taman Akademi Reply

    Mantap Pak Kuswaidi. Dalam setiap laparku, aku ingin memakan ilmu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!