Beliau adalah Ahmad bin Muhammad Abu al-‘Abbas ad-Daynuri. Bersahabat dengan Syaikh Yusuf bin al-Husin, Syaikh ‘Abdullah al-Kharraz, Syaikh al-Jariri dan Syaikh Ibn ‘Atha’. Beliau juga sempat menyaksikan Syaikh Ruwaim al-Baghdadi.
Mula-mula beliau datang ke Nisapur dan menetap di sana selama beberapa waktu. Di Nisapur, beliau senantiasa memberikan pencerahan kepada orang-orang dengan bahasa makrifat. Lalu, beliau pindah ke Tirmidz. Di sana ada Syaikh Muhammad bin Hamid, murid dari Syaikh Abu Bakar al-Warraq.
Beliau bertekad menghadap kepada Syaikh Muhammad bin Hamid dengan penuh penghormatan. Tidak tanggung-tanggung, beliau mencium lutut orang yang ditakziminya itu. Tapi murid-murid dari Syaikh Muhammad bin Hamid sendiri memandang tindakan sang sufi itu sebagai perbuatan yang tidak elok.
“Kenapa engkau bersikap demikian terhadap guru kami?” tanya para murid itu. “Aku mendengar bahwa beliau memuji Allah Ta’ala dengan pujian yang paling indah,” jawab sang sufi. Lalu, Syaikh Abu al-‘Abbas ad-Daynuri pindah lagi ke Samarkand. Beliau wafat di sana pada tahun 340 Hijriah.
Beliau adalah seorang sufi yang sedemikian intensif dengan dzikir. Melalui perantara dzikir itu, hubungan beliau dengan Allah Ta’ala tidak saja terasa dekat, tapi lebih dari itu juga menjadi terasa mesra. Ada nuansa kepatuhan sekaligus nuansa cinta di dalam pertalian rohani antara beliau dengan hadirat-Nya itu.
Bagi beliau sendiri, standar dzikir yang diterapkannya sangatlah ketat. Yaitu, yang terendah dari kualitas dzikir itu tidak lain adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah Ta’ala. Sebuah standar spiritual yang untuk ukuran kita hari-hari ini mungkin dianggap berlebihan atau bahkan dipandang mustahil untuk diterapkan.
Sangat tidak mudah untuk melupakan apa yang disebut sebagai yang lain itu. Karena selain kita senantiasa berada dalam kebersamaan dengan yang lain, kita pun sejatinya merupakan bagian dari gemuruh yang lain itu sendiri. Untuk melupakan yang lain, betul-betul dibutuhkan adanya kesungguhan dan ketulusan untuk memangkas yang lain itu, agar hati kita senantiasa fokus terhadap hadirat-Nya.
Walaupun sudah sangat gamblang di dalam pembahasan, tentu dalam praktiknya akan berbelit-belit ketika kita akan betul-betul menumpas segala yang lain itu. Tidak cukup kita cuma bersandar kepada potensi dan ikhtiar kita sendiri. Lebih dari itu kita mesti mengandalkan pertolongan dan bimbingan Allah Ta’ala.
Sedangkan puncak dari dzikir, menurut beliau, adalah lenyapnya orang yang berdzikir di dalam dzikir dari dzikirnya. Artinya adalah bahwa orang yang berdzikir itu dari asyiknya berdzikir sampai lupa kalau dirinya berdzikir. Dan pada saat yang bersamaan dia tenggelam di dalam Tuhannya yang merupakan kiblat satu-satunya di dalam orientasi dzikir itu.
Dapat dibayangkan, syukur-syukur dialami dan dirasakan, bahwa betapa sangat sempurna kenikmatan yang diterima dan dirasakan oleh seseorang yang telah sampai kepada puncak dzikir itu. Hari-harinya adalah hari-hari kegembiraan spiritual yang tidak kepalang dalam dekapan damai Tuhan semesta alam. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024