Beliau adalah ‘Ali bin Ahmad bin Sahl Abu al-Hasan ash-Shufi al-Fusyanji, salah seorang pemuda dan sufi yang tangguh dari Khurasan. Beliau sempat menyaksikan Syaikh Abu ‘Utsman al-Hiri. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu al-‘Abbas bin ‘Atha’, Syaikh al-Jariri di Irak, Syaikh Thahir al-Maqdisi di Syiria, dan Abu ‘Amr ad-Dimasyqi.
Beliau berasal dari Fusyanj, sebuah kota yang dekat dengan Hirat di Irak. Itulah sebabnya kenapa di akhir nama beliau disebut dengan al-Fusyanji. Beliau tinggal di Nisapur, seorang sufi yang selalu mengembara. Beliau mengenal jalan thariqah lebih baik ketimbang para sufi yang lain. Beliau wafat pada tahun 348 Hijriah.
Beliau adalah salah seorang sufi yang alim di masanya. Pengetahuannya tentang ilmu-ilmu ketauhidan sangat mendalam. Demikian pula mengenai ilmu-ilmu muamalah. Beliau merupakan seorang sufi yang paling indah amalnya di bidang “kemudaan” dan tajrid. Yaitu, berpasrah diri kepada Allah Ta’ala dengan tanpa ikhtiar sedikit pun.
Di samping merupakan seorang sufi yang berakhlak mulia, beliau juga dikenal sebagai orang yang berpegang teguh terhadap ajaran-ajaran agama. Beliau juga berpegang dengan kuat terhadap sebuah janji untuk senantiasa berpihak kepada kehidupan para fakir dan miskin. Dan perilaku beliau betul-betul menunjukkan hal yang seperti itu.
Pada suatu hari, beliau pernah berjanji bahwa jika beliau mengalami “mimpi basah”, maka beliau akan bersedekah pada seseorang. Alasannya jelas bahwa mimpi tersebut bisa terjadi tidak lain karena pikiran yang rusak atau karena suapan makanan yang “bolong” atau tidak tersambung pada Allah Ta’ala. Karena itu, ia tidak boleh dibiarkan, tapi “wajib” ditebus dengan sedekah.
Pada suatu waktu, ketika beliau sendirian di tengah gurun pasir, beliau mengalami mimpi basah itu. Dengan penuh kepastian beliau kemudian mencopot sarungnya. Beliau lalu dengan sigap meletakkannya di atas pohon salam untuk menepati janjinya sendiri. Dan siapa pun yang melihatnya, boleh langsung mengambilnya.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang sufi, beliau betul-betul bersemangat untuk merealisasikan berbagai ilmu yang dimilikinya tentang Allah Ta’ala dan rasul terkasihNya, Nabi Muhammad Saw, menjadi kenyataan. Sehingga tidak hanya merupakan konsep semata yang mengambang di alam pikiran.
Sebab, menurut beliau apa yang disebut sebagai tasawuf itu sesungguhnya lebih merupakan nama saja, jauh semakin menipis substansi realitasnya. Sangat berbeda dengan di zaman Kanjeng Rasulullah Saw. Di zaman itu, tasawuf belum ada, belum mempunyai nama. Tapi sangat jelas bahwa realitasnya sudah ada, sudah menjadi kenyataan.
Karena itu, ketika orang-orang bertanya kepada beliau tentang dia yang cerdas, dengan gamblang beliau menjawab bahwa dia adalah orang yang baik diri, akhlak, perbuatan maupun perangainya, semuanya bagus sekaligus indah. Tanpa beban sedikit pun di dalam mengamalkan berbagai macam kebaikan.
Dan orang cerdas yang dimaksudkan oleh beliau jelas semakin menipis dan susut. Tidaklah waktu berganti waktu, zaman berganti zaman, kecuali kecerdasan yang demikian menjadi semakin kalis. Ya Allah, kami berlindung kepadaMu dari cengkeraman kebodohan yang akan membuat kami makin jauh dari rahmatMu. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
Aulia
Hello