Syaikh Abu Al-Hasan al-Muzayyin

Beliau adalah ‘Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Muzayyin ash-Shaghir.  Berasal dari Baghdad. Bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh Sahl bin ‘Abdullah at-Tustari dan para sufi lain yang sezaman dengan beliau. Beliau bermukim di Makkah dan wafat di sana pada tahun 327 Hijriah.

Beliau merupakan adik dari Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin al-Kabir yang bermukim di Baghdad dan wafat di sana juga. Sebagian sufi meriwayatkan bahwa keduanya itu adalah saudara sepupu. Yang jelas adalah bahwa keduanya itu sama-sama sufi.

Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin adalah seorang sufi yang hatinya telah mencapai tingkatan suci, terbebaskan dari tujuan apa pun yang selain Allah Ta’ala. Sehingga baik kata-kata maupun tindakan beliau tidak lain merupakan representasi dari tajalli hadiratNya semata.

Dituturkan oleh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang masyhur dengan sebutan Syaikh al-Islam bahwa pada suatu hari ketika menuju sebuah gunung, Syaikh Abu al-Hasan al-Muzayyin dihadang oleh seekor harimau, beliau lalu membaca sebuah ayat: ثم أماته الله فأقبره, seketika harimau itu mati. Setelah mendaki gunung, beliau membaca ayat berikutnya: ثم إذا شآء أنشره, seketika itu juga harimau tadi hidup lagi.

Betapa sangat menakjubkan. Bukan perkara mati dan hidup laginya seekor harimau di “hadapan” sang sufi. Tapi berkaitan dengan karunia rohani yang telah dianugerahkan Allah Ta’ala kepada beliau sehingga dengan rezeki spiritual itu beliau sanggup “menampung” kehadiran hadiratNya.

Dan untuk bisa menampung kehadiran Allah Ta’ala, seseorang tidak boleh tidak harus mengalami mati terlebih dahulu bagi dirinya sendiri. Mesti hilang seluruh damba bagi dirinya. Mesti lenyap segala hasrat terhadap segala sesuatu selain hadiratNya. Baru setelah itu seseorang akan dianugerahi kemampuan untuk menampung Allah Ta’ala.

Sang sufi sudah merasakan pengalaman rohani itu. Dan di antara salah satu penyebabnya adalah bahwa pada suatu hari beliau menempuh perjalanan dari Makkah. Ketika sampai di sebuah tempat yang bernama Bi’ru Maymun, beliau melihat seorang pemuda yang sedang sakaratul maut.

“Katakan La Ilaha illalLah,” kata beliau pada si pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda membuka kedua matanya dan berkata: “Jika aku mati, maka cinta merupakan isi hatiku. Dan dengan agama cinta, orang-orang mulia mengalami kematian.” Kemudian si pemuda betul-betul meninggalkan dunia fana ini.

Sang sufi memandikan, mengafani, menyalatkan dan menguburkan si pemuda tadi. Beliau tidak jadi melanjutkan perjalanan, kembali ke Makkah dan menyesali tindakannya. “Aku cuma seorang tukang cukur,” ucapnya, “yang berani-beraninya membacakan talqin untuk seorang wali. Oh, betapa memalukan.” Sungguh, betapa peristiwa itu sangat berbekas dan sangat besar pengaruhnya bagi sang sufi. Sehingga semakin hari hasrat beliau menjadi semakin runcing kepada Allah Ta’ala semata, semakin fokus dan semakin menyelami hadiratNya. Betapa hal itu merupakan pengalaman spiritual yang luar biasa. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!