
Beliau adalah ‘Ali bin Hindun Abu al-Husin al-Qurasyi al-Farisi. Seorang sufi, seorang alim dan seorang yang agung dari Persia. Beliau bersahabat, sekaligus lebih agung dibandingkan, dengan Syaikh Ja’far al-Hadzdza’. Beliau sepantaran dengan Syaikh ‘Amr bin ‘Utsman, Syaikh Junaid al-Baghdadi dan mereka yang seangkatan dengannya.
Pada suatu hari, beliau pernah berkata kepada salah seorang temannya: “Bersungguh-sungguhlah engkau untuk tidak meninggalkan pintu tuanmu dalam kondisi apa pun. Karena sesungguhnya pintu tuanmu itu merupakan tempat kembalinya segala sesuatu. Barang siapa meninggalkan pintu itu, maka dia tak akan menyaksikan keteguhan dan kedudukan rohani.”
Tentu kalimat di atas itu merupakan kalimat perlambang yang menggunakan simbol-simbol untuk dikupas maknanya. Bukan sepenuhnya menggunakan bahasa hukum yang amat gamblang makna yang dikehendaki oleh pengucapnya. Sebuah kalimat yang tentu saja sangat berharga di dalam kehidupan kita.
Pintu, sebagaimana yang kita kenal, merupakan salah satu “perabot” yang melekat pada rumah, dapur atau ruang apa pun yang lain. Keberadaannya merupakan sesuatu yang sangat penting. Ia berfungsi untuk dua hal sekaligus. Untuk “memasukkan” sekaligus “mengeluarkan” sesuatu.
Kalau yang masuk itu bagus, tentu hal tersebut merupakan keberuntungan bagi yang memiliki pintu itu. Akan tetapi jika yang masuk itu buruk, pasti akan menimbulkan persoalan pada si pemilik pintu, seberapa pun kadarnya. Itulah sebabnya, kenapa diungkapkan: “Bersungguh-sungguhlah engkau untuk tidak meninggalkan pintu tuanmu dalam kondisi apa pun.”
Dalam konteks ini, seorang murid itu merupakan sebuah pintu bagi guru rohaninya. Dan menjaga pintu merupakan sebuah kewajiban. Karenanya, dia mempunyai tugas untuk tidak memasukkan apa pun lewat pintu itu selain yang bermanfaat dan berkah secara spiritual, baik untuk sang guru maupun untuk apa atau siapa pun yang masuk tersebut.
Dan ketika seorang murid telah bersungguh-sungguh di dalam menjaga pintu guru rohaninya, berarti sesungguhnya dia telah bersungguh-sungguh di dalam menjaga dirinya sendiri. Bukankah si murid itu merupakan bagian dari kehidupan sang guru? Bukankah kehidupan si murid itu menyembul dari kehidupan gurunya?
Betul, betul sekali. Di dalam perkara ini, baik guru maupun muridnya, sama-sama merupakan orang agung. Sang guru merupakan hulu dari si murid. Sedangkan si murid merupakan perpanjangan tangan dari sang guru. Si murid mendapatkan berkah dari sang guru. Sementara sang guru memperoleh nilai tambah dari keberadaan si murid.
Ibarat dimensi rohani dan jasmani. Guru laksana dimensi rohani. Murid bagaikan dimensi jasmani. Keduanya saling berbuhul, keduanya saling mempertautkan diri. Yang satu merupakan penyokong bagi yang lain. Keduanya diuntungkan. Di tengah taman perniagaan. Di hadapan Tuhan Yang Maharahman.
Ketika kita di dalam kehidupan ini mendapatkan diri seperti itu, sungguh betapa beruntung kita. Karena dengan demikian, kita berarti telah dianugerahi kemudahan sekaligus keberkahan. Kita berarti telah dianugerahi kesanggupan di dalam menyebrangi hutan hidup ini hingga akhirnya kita sampai di surga kebahagiaan. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025