Syaikh Abu al-Husin bin Bunan

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, tidak lebih dan tidak kurang, setidaknya menurut pemahaman saya yang menelusuri kitab-kitab thabaqat. Baik di dalam kitab Nafahat al-Unsi maupun di dalam kitab Hilyah al-Awliya, namanya tidak kurang dan tidak lebih dari judul tersebut.

Beliau dikenal sebagai seorang sufi yang senantiasa linglung dan mabuk di jalan yang menuju kepada Allah Ta’ala. Seluruh perhatian dan kesadarannya tidak ada yang untuk dirinya sendiri, tapi sepenuhnya tertuju kepada hadiratNya sebagai asal-usul dari dirinya sendiri, juga merupakan awal mula dari seluruh yang ada.

Bahkan, beliau wafat di antara Aylah dan Mesir, di antara Laut Merah dan gunung-gunung di Syiria, dalam kondisi mabuk kepada Allah Ta’ala. Beliau bersahabat dengan Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz, seorang sufi yang pernah bertepuk tangan ketika menyaksikan sekaligus menikmati Syaikh Abu Husin bin Bunan yang sedang dirundung cinta dan menari-nari.

Pada suatu hari, beliau pernah menyatakan bahwa dzikir kepada hadiratNya dengan lisan akan menaikkan derajat demi derajat seseorang, sedangkan berdzikir dengan hati akan melahirkan keberkahan demi keberkahan. Dalam konteks ini menjadi jelas bagi kita bahwa terhubung dengan Allah Ta’ala adalah karunia itu sendiri.

Anggota tubuh kita merupakan karunia, baik secara lahiriah maupun secara spiritual. Pergunakanlah sebaik mungkin, maka kita akan memanen keberuntungan demi keberuntungan. Ketika kita menggunakan tangan, kaki dan lain sebagainya untuk “keperluan” Allah Ta’ala semata, maka anggota-anggota tubuh itu akan memberikan hasil yang sangat memuaskan.

Anggota tubuh kita, apa pun itu, tidak saja memberikan peluang kepada kita semua untuk menjadi orang-orang yang beruntung, tapi lebih dari itu juga akan menaikkan derajat-derajat kita hingga kita bisa mencapai tingkatan spiritual tertinggi, bahkan bisa sampai melampaui martabat-martabat yang dihuni oleh para malaikat.

Pangkal dari anggota tubuh itu tidak lain adalah hati. Ketika hati terbebaskan dari penyakit-penyakit dan orientasinya mutlak hanyalah Allah Ta’ala semata, bukan segala sesuatu yang lain, maka dapat dipastikan bahwa hati itu tidak lain merupakan sumber bagi berbagai macam keberkahan.

Apakah sesungguhnya keberkahan itu? Ia adalah ziyadah al-khair, bertambahnya kebaikan di dalam kehidupan diri kita. Ketika hati seseorang senantiasa terhubung dengan Allah Ta’ala melalui perantara dzikir, maka seluruh dimensi kehidupannya akan senantiasa mengalami keberkahan demi keberkahan.

Seorang sufi yang penuh keberkahan sebagaimana Syaikh Abu al-Husin bin Bunan, akan terus naik derajatnya, akan semakin bermanfaat dirinya bagi kehidupan sesama, juga akan menjadi semakin mulia baik di hadapan umat manusia maupun di hadapan hadiratNya. Di dalam lumbung pemahaman sufistik, beliau merupakan salah satu jejak dari Allah Ta’ala yang begitu kuat.

Fondasi dari kedirian dan amaliah beliau adalah linglung dan mabuk kepada hadiratNya, “menafikan” segala sesuatu yang lain. Di penglihatannya yang sedemikian tajam dan jernih, hanya Dia saja yang penting. Selebihnya dipandang hanya sebagai tumpukan-tumpukan ketiadaan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!