Di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami dituturkan bahwa Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani pernah berada di Syiraz. Pada suatu hari, beliau bermaksud datang ke Khaniqah Syaikh Sa’di. Sedangkan Syaikh Sa’di baru saja keluar dengan membawa segenggaman uang.
Tiba-tiba Syaikh Sa’di datang. Uang-uang itu kemudian diletakkan di dekat Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani dan Syaikh Sa’di berkata: “Wahai darwis, ambillah uang-uang itu biar berkah pada meja makan para fakir-miskin.” Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani lalu berkata: “Wahai Sa’di, engkau datang dengan membawa uang.
Sini dirham-dirham yang kau letakkan di dalamnya enam puluh dua hingga kuberikan kepada meja makan para fakir-miskin.” Syaikh Sa’di berdiri. Dia membawa serta dirham-dirham itu. Hitungannya berapa? Sebanyak yang dikatakan Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani. Maka uang-uang itu dibawa ke pasar. Dibelikan makanan dan jajan-jajan pasar.
Di pasar itu, Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani punya seorang murid yang suka memasak masakan dan menjualnya. Ketika beliau pergi ke pasar ke dekat penjualannya, makanan-makanan diberikan kepada beliau. Dan beliau memakan makanan itu sambil berdiri. Seolah-olah beliau lupa kepada Allah Ta’ala.
Pada suatu hari, di tangan Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani ada lebihnya makanan. Lalu, datang kepada beliau seorang darwis yang berpakaian khirqah putih. Banyak sekali di pakaian tersebut tambalan-tambalan. Orang itu mengucapkan salam kepada Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani. Dan, salam itu dijawab dengan sempurna.
Si darwis itu mengatakan kepada Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani: “Aku ingin kau mengatakan kepadaku jalan yang menuju kepada Allah Ta’ala. Terus, kau tunjukkan aku sebuah perkara yang di dalamnya aku mendapatkan faidah. Dan, aku disibukkan dengan perkara itu.” Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani lantas memberikan makanan yang ada tangannya.
Sembari memberikan makanan kepada si darwis itu, beliau mengatakan: “Ini adalah awal mula kesibukan. Ambillah. Makanlah.” Darwis itu mengambil makanan dari tangan Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani. Dia memakannya. Lahap sekali. Setelah selesai memakannya, beliau memerintahkan si darwis untuk mengelap tangannya dengan baju khirqahnya.
Baju khirqah. Bukankah itu merupakan baju kebanggaan di antara para sufi? Ya, baju itu merupakan kebanggaan di antara para sufi. Dan justru karena itu tangan si darwis diperintahkan untuk dilapkan ke bajunya. Apakah Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani main-main dengan perintahnya itu? Pasti tidak. Terlampau agung beliau untuk main-main dengan perintahnya itu.
Kalau begitu, pasti beliau serius dengan perintahnya. Pasti perintahnya itu memiliki makna bagi kemajuan rohaninya si darwis. Yaitu, ketika perintah itu diterima dengan hati yang ikhlas dan amal yang penuh semangat. Betapa sering, perintah seorang guru rohani diterjemahkan sebagai perintah Ilahi di dalam kehidupan ini.
Dan melaksanakan perintah itu jelas mengandung manfaat, jelas mengandung barokah, terutama bagi kehidupan si darwis. Yang perlu dicatat di sini adalah spiritualitas Syaikh ‘Abdullah al-Bulyani. Bukan sembarang perintah untuk mengelapkan tangan ke baju khirqah dituruti. Sama sekali bukan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024