
Beliau adalah Muzhaffar al-Kirmansyahi al-Qaramisini. Selain sebagai seorang sufi yang fakir yang rohaninya sangat cemerlang dengan kefakirannya itu, beliau juga merupakan salah seorang sufi agung yang senantiasa aktif secara spiritual di gunung-gunung. Kondisi beliau di gunung-gunung itu tidak lain adalah pompa bagi dimensi rohaninya.
Beliau bersahabat dengan para sufi, utamanya dengan Syaikh ‘Abdullah al-Kharraz. Beliau lebih tua dibandingkan dengan sufi yang namanya disebut terakhir itu. Beliau merupakan satu-satunya sufi yang paling aktif di zamannya di bidang thariqah yang sedang ditekuninya. Beliau juga merupakan guru rohani bagi Syaikh ‘Abbas yang dikenal sebagai seorang penyair.
Beliau merupakan seorang sufi yang paling tekun di dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Bayangkan saja, Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam menyatakan bahwa Syaikh Muzhaffar al-Kirmansyahi membagi waktunya di dalam 24 jam sehari menjadi tiga.
Sepertiga dari dua puluh empat jam itu beliau gunakan untuk shalat, sepertiganya lagi dipakai untuk membaca Qur’an, sepertiga yang terakhir beliau gunakan untuk berdoa dan menangis di hadapan hadiratNya. Bayangkan, betapa beliau sangat menikmati shalat sebagai sarana yang sangat kukuh untuk bercengkerama dengan Allah Ta’ala.
Dengan membaca dan “menelusuri” Qur’an, beliau merasakan berlangsungnya perjumpaan dengan hadiratNya, seolah mendengarkan langsung dari Allah Ta’ala, seolah menyimak langsung dari Malaikat Jibril, seolah menikmati langsung dari Nabi Muhammad Saw. Betapa hal itu merupakan kenikmatan yang begitu luar biasa.
Lalu, beliau berdoa dan menangis kepada Tuhannya. Bukan tangisan karena kalah karena ditindas oleh kejamnya kehidupan, tapi mutlak karena kenikmatan spiritual yang menggebu-gebu di kesunyian batinnya. Dalam konteks ini, tangisan beliau sama sekali bukan lantaran penderitaan yang telah menggocohnya, tapi murni karena degup rohani yang telah menggebuk batinnya.
Bersamaan dengan doa dan tangisan itu, beliau sering kali membaca dua bait berikut ini: “Sengat ular cinta telah menembus jantungku// tak ada obat dan ruqyah baginya// selain kekasih yang kurindukan// di sisi sang kekasih itu, ada obat mujarab dan penawar racun.” Puisi, dalam konteks ini, sungguh merupakan obat yang lumayan ampuh untuk mengobati substansi kepeningan.
Sebagai seorang sufi yang dikenal dekat dengan Tuhan semesta alam, Syaikh Muzhaffar al-Kirmansyahi betul-betul menempuh jalan yang seimbang secara jasmani dan rohani, secara lahir dan batin. Sebagai seorang yang makrifat, beliau menjadikan hatinya mutlak untuk Allah Ta’ala, tidak untuk siapa atau apa pun dari kalangan makhluk. Sedangkan jasad beliau murni digunakan untuk makhluk-makhluk.
Sudah sangat benar beliau. Hatinya yang hanya satu itu, sama sekali tidak dipakai untuk segala sesuatu yang lain, tapi mutlak hanya digunakan untuk menampung hadiratNya sehingga tidak bisa “mewadahi” semua yang lain. Posisi hati beliau murni hanya sebagai istana Tuhan, bukan untuk sesuatu yang remeh-temeh dari kalangan makhluk.
Sedangkan jasadnya sedemikian rupa bergaul dengan segenap makhluk, menjadi pelayan di dalam kehidupan mereka. Hidup beliau betul-betul terdiri dari dua sisi: dimensi spiritual yang murni untuk Tuhannya, dan dimensi fisikal yang membentang luas untuk makhluk-makhluk hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025