
Pada suatu waktu, Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir mengatakan bahwa para fakir adalah raja-raja dunia dan akhirat. Secara substansial, mereka bersegera untuk mendapatkan kesenangan, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Mereka memperoleh kesenangan di dua tempat sekaligus.
Mereka memperoleh dua kesenangan itu semata karena mereka sanggup menembus kulit dari kefakiran. Kefakiran itu seperti buah badam yang siapa pun tidak akan bisa menikmati luarnya saja. Tapi ketika seseorang sudah melampaui dimensi luarnya, dia akan masuk pada dimensi dalamnya.
Dia akan merasakan kenikmatan yang luar biasa yang tidak akan diperoleh pada bagian luarnya saja. Kefakiran itu sering kali hanya dibaca luarnya saja. Itulah sebabnya kenapa banyak orang yang emoh dengan kefakiran di bidang apa saja. Karena rasa lahiriahnya sedemikian getir dirasakan banyak orang.
Karena itu, kalau mereka bisa menghindar dari kefakiran, pasti mereka melakukannya. Kalau mereka ditakdirkan untuk merasakannya, apa boleh buat mereka sudah ditakdirkan seperti itu. Mereka tidak bisa menghindar, mereka tidak bisa mengelak. Jadi, kefakiran mereka sama sekali bukan pilihan, tapi takdir.
Beda dengan Nabi Muhammad Saw yang kefakirannya jelas merupakan pilihan. Allah Ta’ala pernah menawarkan lima gunung yang siap dirubah jadi emas di Mekkah sana kepada beliau, tapi beliau tanya dulu kepada Malaikat Jibril tentang apa itu harta benda dunia. Malaikat Jibril menjawab:
“Halalnya harta benda itu diperiksa, sementara haramnya jelas pemiliknya disiksa,” jelas Malaikat Jibril. Mendengarkan jawaban itu, Nabi Muhammad Saw menolak tawaran dari hadiratNya. Padahal, kalau beliau menerima tawaran hadiratNya itu, jelas pangkat rohani beliau tidak akan turun karena itu.
Mendengarkan jawaban Malaikat Jibril itu, beliau menolak lima gunung emas sekaligus. Lima gunung emas itu apa saja? Satu, Gunung Tsur. Dua, Gunung Nur. Tiga, Gunung Bath-ha. Empat, Gunung Abi Qubis. Lima, Gunung ‘Arafat. Seandainya Nabi Muhammad Saw menerima gunung-gunung emas itu, bukankah beliau menjadi orang yang paling kaya lahir dan batin?
Betul sekali. Tapi beliau terutama merupakan teladan bagi segenap manusia. Teladan harus memberikan contoh yang baik. Memang diperbolehkan di dalam Islam mengumpulkan harta benda yang banyak, tapi mesti harus dengan tujuan yang baik. Umroh dan haji juga membutuhkan biaya.
Juga pendidikan di dalam Islam membutuhkan biaya. Menyantuni anak yatim dan fakir-miskin yang tidak hanya sekedarnya. Tapi betul-betul mereka dientaskan dari jurang kemiskinan. Semua itu membutuhkan biaya yang tidak hanya sedikit. Betapa pentingnya uang, betapa pentingnya harta benda.
Nabi Muhammad Saw mengambil posisi yang paling “rendah” agar umatnya tetap kuat dan kukuh. Karena kefakiran dan kemiskinan itu hanya mengerikan luarnya saja. “Kalau kefakiran itu telah menjelma sempurna”, sabda Rasulullah Saw, ” maka itulah Allah Ta’ala.” Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Sa’id bin Abi Al-Khair #9 - 31 October 2025
- Syaikh Abu Sa’id bin Abi Al-Khair #8 - 24 October 2025
- SYAIKH ABU SA’ID BIN ABI AL-KHAIR #7 - 17 October 2025

