
Beliau adalah Hasan bin ‘Ali bin Musa. Termasuk salah seorang murid dari Syaikh Abu ‘Ali bin al-Katib dan Syaikh Abu Ya’kub as-Susi. Beliau lahir di Masytul, salah satu desa di Mesir yang berjarak sekitar sepuluh farsakh dari pusat ibu kota negeri Fir’aun itu. Satu farsakh adalah 5541 meter. Beliau wafat pada tahun 340 Hijriah.
Bagi saya pribadi, beliau tidak lain adalah seorang sufi yang sangat menarik. Alasannya sangat jelas bahwa beliau adalah orang yang bersedia menjadi “perpanjangan tangan” Rasulullah Saw. Artinya adalah bahwa apa yang beliau lakukan mutlak merupakan realisasi dari perintah Sang Nabi Terpilih Saw.
Pada suatu hari, beliau bermimpi melihat Nabi Muhammad Saw. Di dalam mimpi itu, Kanjeng Rasul Saw bersabda kepada beliau: “Wahai ‘Ali, aku yakin engkau mencintai para fakir-miskin.” Dengan sangat senang Syaikh Abu ‘Ali al-Masytuli memberikan respons: “Ya, betul sekali wahai Rasulullah Saw.”
“Sini. Menghadaplah kepadaku,” sabda Kanjeng Rasul Saw. “Maukah kujadikan engkau sebagai wakil dari para fakir-miskin yang siap mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka?” Beliau tidak langsung mengiyakan. Tapi khawatir jangan-jangan yang terjadi nanti tak sesuai dengan kehendak Nabi Muhammad Saw. Atau menjadi amat berat sehingga beliau tak sanggup melaksanakannya.
Di dalam mimpi itu, beliau merenung sejenak. Lalu berkata: “Dengan syarat terjaga dari kesalahan dan diberi kemampuan wahai Rasulullah Saw.” Nabi Pilihan Saw itu diam saja. Tapi jelas bahwa setelah peristiwa mimpi yang sangat menggembirakan itu, beliau menjadi rujukan para fakir-miskin. Beliau menunaikan hajat-hajat mereka.
Pada suatu waktu, salah seorang sufi datang kepada Syaikh Abu ‘Ali al-Masytuli. Sufi itu dikasih uang satu dinar oleh beliau. “Aku tidak datang ke sini untuk mendapatkan uang satu dinar ini,” kata si sufi. “Ambillah. Aku tidak memberikan satu dinar ini kepadamu kecuali sebagai perantara untuk menunaikan kewajiban kepada yang berhak menerimanya.”
Betapa berbahagia beliau. Karena telah menempati sebuah posisi yang sangat bergengsi di dalam tasawuf. Yaitu, sebagai perantara yang menghubungkan antara Nabi Muhammad Saw dan para fakir-miskin. Hal itu menunjukkan kepada kita semua bahwa dipercaya sebagai perantara dalam konteks ini adalah karunia yang luar biasa.
Ketahuilah bahwa untuk sampai pada posisi sebagai perantara itu sama sekali tidaklah mudah. Siapa pun harus berjuang memberantas sekaligus memberangus berbagai dimensi keburukannya yang bersemayam di dalam dirinya sendiri. Menghilangkan segala kemungkinan untuk terpaut lagi dengan segala destruksi yang mungkin pernah menguasai dirinya.
Untuk sampai pada posisi rohani yang sangat terhormat itu, tidak boleh tidak seseorang mesti mutlak bergantung kepada Allah Ta’ala. Secerdas apa pun rohani seseorang, tidak mungkin dia bisa datang kepada hadirat-Nya dengan hanya berbekal kecerdasan itu sendiri. Seluruh kecerdasan tak lebih dari sekadar anai-anai yang tidak mungkin untuk menggapai-Nya.
Itulah sebabnya kenapa Syaikh Abu ‘Ali al-Masytuli menyanggupi tawaran Rasulullah Saw untuk menjadi rujukan para fakir-miskin dengan tetap berlindung kepada Allah Ta’ala agar tidak tergelincir di dalam mengemban amanah yang sangat mulia itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025