
Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari benar-benar terhindar dari kekelaman nafsu ammarahnya sendiri. Bukan dengan cara membunuh nafsu itu agar beliau bisa selamat dari berbagai macam terkamannya yang sanggup menipu dan menggulung beliau, tapi dengan mendidik dan menguasai nafsu itu sebaik mungkin.
Itulah apa yang disebut sebagai kemenangan paling hakiki. Di antara tanda-tandanya adalah bahwa siapa pun yang telah mengalaminya akan senantiasa terfokus kepada Allah Ta’ala dalam setiap keadaannya. Sementara segala sesuatu yang lain dipandang hanya sebagai spektrum dari hadiratNya.
Bahkan lebih dari itu, nafsu ammarah tersebut akan mengalami metamorfosis menjadi lawwamah, menjadi mulhamah, menjadi muthmainnah yang senantiasa siaga melakukan kebaikan demi kebaikan, bahkan melakukan keterpujian demi keterpujian. Hal-ihwal itu dilakukannya dengan penuh kesenangan. Bukan lagi dengan terpaksa.
Sedangkan orang yang telah mengalami kekalahan rohani semakin hari menjadi semakin terhempas, semakin sibuk dengan berbagai macam harta benda duniawi, semakin terkunci jurus-jurus kebaikannya, sehingga dia menjadi semakin ruwet dengan hal-ihwal yang sesungguhnya secara spiritual tidaklah penting.
“Tanda bahwa Allah Ta’ala berpaling dari seorang hamba adalah Dia menjadikan si hamba itu sibuk dengan aneka ragam hal yang sebenarnya sama sekali tidak penting secara rohani bagi dirinya,” ungkap Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari dengan sangat meyakinkan.
Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari sendiri sungguh telah melakukan keberpihakan yang begitu gamblang kepada hadiratNya dan segala sesuatu yang bisa mengantarkan beliau pada posisi yang makin akrab dan intim dengan Allah Ta’ala. Bukan hanya rida yang beliau miliki, tapi juga kesabaran yang sedemikian sempurna.
Bukan hanya syukur yang beliau miliki, tapi lebih dari hal itu juga kesempurnaan yang sungguh nyata. Dengan getar-getar makrifat, beliau melangkahkan kaki dan hati hingga akhirnya sampai di kebun cintaNya yang begitu rindang, yang begitu menenteramkan, yang begitu membahagiakan.
Di kebun cinta hadiratNya itu, beliau memiliki hati yang bisa menyaksikan Ilahi, beliau memiliki relung batin yang bisa merasakan ketersingkapan, beliau memiliki mata hati yang bisa menembus realitas. Dengan adanya perangkat-perangkat itu, beliau menjadi semakin tertarik hanya terhadap hadiratNya belaka. Tidak kepada apa pun yang lain.
Agar sampai kepada kedudukan rohani yang sangat mulia sebagaimana yang telah dianugerahkan oleh Allah Ta’ala kepada Syaikh Abu ‘Ali ar-Rudzbari itu, kita mesti selalu setia dengan lapar yang akan mengantarkan kita pada hati yang khusyuk, mesti selalu fakir yang akan mengantarkan kita kepada dimensi asketis yang nyata.
Kita juga mesti memiliki kesabaran yang sempurna yang akan senantiasa mengantarkan kita kepada sikap qana’ah yang ajeg, menerima apa pun pemberian hadiratNya dengan rasa senang hati dan tenteram. Dengan demikian, kita insyaallah akan dimuliakan oleh Allah Ta’ala, baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025