Syaikh Abu ‘Ali as-Siyarjani

Editor kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki kitab sama sekali yang bisa dijadikan acuan di dalam penulisan esai pendek tentang sufi di atas. Demikian juga saya. Tidak ada satu pun kitab yang menyebut nama beliau selain kitab Nafahat. Itu pun disebutkan dengan sangat ringkas.

Kata-kata “as-Siyarjani” yang diletakkan di belakang namanya itu menunjuk kepada kota yang ada di negeri Kirman, sebuah tempat yang berdampingan dengan negeri Persia. Di kota itulah kemungkinan sufi ini dilahirkan. Dan kepada kota itulah dia dinisbatkan.

Di dalam kitab Nafahat disebutkan bahwa pada suatu hari, seseorang pernah datang kepada Syaikh Abu ‘Ali as-Siyarjani sebagai seorang musafir. Sang tuan rumah minta tolong kepada si tamu untuk membelikan sebuah jarum di pasar. Dan setiap kali telah berhadapan dengan jarum yang mau dibelinya, dia bilang: “Aku ingin jarum yang lebih baik.”

Beserta umur yang makin tua dengan kelelahan yang menyertainya, dia kembali lagi ke pasar untuk mencari sebuah jarum. Dari rumah sang tuan rumah, Syaikh Abu ‘Ali as-Siyarjani, dia bolak-balik ke pasar sampai tujuh puluh kali. Setelah yang ketujuh puluh kalinya, dia pulang dari pasar dengan membawa seorang penjual jarum.

Si penjual jarum bilang dengan tegas kepada orang itu: “Pilihlah sebuah jarum yang menurutmu sangat menakjubkan.” Dia diam saja. Hanya melirik kepada “tuannya.” Syaikh Abu ‘Ali as-Siyarjani lalu berkata: “Sesungguhnya aku ingin mengujimu sebagai seorang khadim. Andaikan engkau tidak membawa pulang seorang penjual jarum, maka aku akan memerintahkan kamu ke pasar sebanyak tujuh ratus kali.”

Apa pentingnya sebuah jarum? Sampai-sampai Syaikh Abu ‘Ali as-Siyarjani menyuruh seseorang yang dianggapnya sebagai murid ke pasar hingga puluhan kali? Atau bahkan seandainya cukup waktu, beliau akan menyuruh muridnya itu ke pasar sampai tujuh ratus kali. Sebuah angka yang sama sekali tidak sedikit untuk orang yang pergi ke pasar.

Saya kira bukan karena pentingnya jarum itu sendiri. Tapi murni karena sang guru, Syaikh Abu ‘Ali as-Siyarjani, ingin menanamkan kepatuhan yang mutlak kepada sang murid. Sehingga seluruh perintah sang guru, apa pun wujudnya, dengan demikian akan senantiasa dilaksanakan dengan sempurna.

Dan ketika kepatuhan yang tanpa reserve seperti itu diterapkan kepada perintah-perintah Allah Ta’ala dengan penuh keyakinan dan ketulusan, maka dapat dipastikan bahwa pelakunya jelas sangat beruntung. Bagaimana mungkin tidak, sementara yang memberikan perintah adalah hadiratNya, dan melaksanakan perintah Allah Ta’ala tidak ada yang gratisan. Upahnya pastilah sangat besar. Walaupun tentu saja orang itu tidak mengharapkan upah apa pun.

Di saat melaksanakan perintah itu sudah berubah menjadi kesetiaan, maka dapat dipastikan bahwa hal itu akan sangat menyenangkan. Karena jelas bahwa melaksanakannya tidak lain merupakan bagian inheren dari hadiratNya itu sendiri. Tidak mungkin tidak. Sebab, siapakah yang bisa mengerjakan kebaikan secara substansial selain Allah Ta’ala?

Tidak ada. Tidak mungkin ada. Dan ketika kita mengerjakan kebaikan, itu berarti sesungguhnya kita telah dijadikan sebagai mitra. Dan mitra hadiratNya itu pastilah sangat terhormat. Betapa sangat membahagiakan. Betapa sangat menyenangkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!