
Beliau adalah Husin bin Shalih bin Khairan. Beliau merupakan seorang ahli fikih yang menekuni madzhab Imam Syafi’ie. Tidak saja suntuk terhadap ilmu fikih, beliau juga menekuni ilmu tasawuf di bidang wara’ atau kehati-hatian di dalam menempuh kehidupan. Orang-orang menginginkan beliau menjadi seorang hakim, tapi beliau dengan tegas menolaknya.
Dikatakan bahwa sesungguhnya ‘Ali bin ‘Isa, salah seorang menteri dari al-Muqtadir Billah, memerintahkan kepada seorang hakim untuk mencari Syaikh Abu ‘Ali bin Khairan agar beliau bisa menerima tugas-tugas pengadilan. Mengetahui hal tersebut, beliau sengaja bersembunyi agar bisa bebas dari berbagai tugas negara.
Maka, selama sepuluh hari ‘Ali bin ‘Isa menempatkan sepuluh serdadu di depan pintu rumahnya. Selama itu pula Syaikh Abu ‘Ali bin Khairan tidak pernah kelihatan keluar, baik untuk menunaikan hajat atau untuk keperluan yang lain. Kondisi seperti itu kemudian dilaporkan kepada ‘Ali bin ‘Isa.
“Biarkan saja beliau,” ungkap ‘Ali bin ‘Isa. “Karena maksudku meletakkan sepuluh serdadu di depan pintu rumah beliau tidak lain adalah agar orang-orang semuanya tahu bahwa orang seperti beliau itu berada di bawah kekuasaanku. Semua hakim yang ada di negeri ini, baik di barat maupun di timur, telah menyodorkan tugas-tugas pengadilan, tapi beliau menolaknya.”
Pertanyaannya adalah kenapa beliau menolak tawaran kekuasaan yang sesungguhnya telah diincar oleh banyak orang? Tidak adakah di dalam diri beliau hasrat untuk sepenuhnya ditopang kehidupannya oleh kekuasaan? Bukankah rezeki yang dicukupi itu merupakan bagian dari karunia Ilahi?
Di zaman-zaman dahulu di mana masih banyak para sufi yang masih hidup, rezeki-rezeki kekuasaan sama sekali tidaklah menggiurkan bagi mereka. Di penglihatan mereka, rezeki-rezeki seperti itu lebih banyak yang telah bercampur dengan syubhat atau bahkan dengan sesuatu yang jelas haram. Itulah sebabnya kenapa mereka sering kali menghindar.
Kehidupan para sufi di zaman itu, sama sekali bukanlah untuk menerima sebanyak mungkin rezeki, apalagi yang datangnya dari kekuasaan. Sama sekali tidak. Karena bagi mereka sendiri, hal itu tidak lain merupakan sarana pemberatan di hari pengadilan kelak di hadapan Tuhan semesta alam.
Seandainya di antara mereka ada seorang sufi yang ditakdirkan untuk menjadi kaya, hal itu dapat dipastikan bahwa kekayaannya itu mutlak diperoleh secara halal. Itu yang pertama. Yang kedua, pastilah kekayaan tersebut dipakai di jalan Allah Ta’ala. Tak mungkin di jalan lain yang kelak hanya akan menjadi malapetaka di hari kebangkitan.
Ketika seorang sufi betul-betul berhati-hati dengan rezeki yang akan diterima, hal itu berarti telah menunjukkan bahwa martabat si sufi jauh lebih tinggi dibandingkan karunia rezeki yang telah diterimanya. Dalam konteks ini, rezeki telah menjadi pelayan bagi dirinya. Bukan dia yang masih memburu rezeki. Dengan rezeki yang mutlak halal itu, mereka menapaki jalan kehidupan ini dengan riang gembira karena mereka akan menyongsong berlangsungnya perjumpaan yang telah lama dirindukan. Yakni, perjumpaan dengan Allah Ta’ala yang merupakan asal-usul dari segala kebahagiaan dan keindahan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025
Bambang Eko Prasetya
Seperti situs ini sudah cocok ganti nama menjadi Tajalli.