Dalam literatur yang ada pada saya, nama beliau persis sebagaimana judul di atas, tidak lebih dan tidak kurang. Beliau seumuran dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi. Orang-orang memandang beliau segenerasi dengan Syaikh Junaid. Tapi beliau sendiri memandang lebih “intim” lagi. Yaitu, merupakan bagian dari sahabat dekat Syaikh Junaid.
Syaikh Junaid al-Baghdadi sendiri pernah mengungkapkan sepenggal kisah spiritualnya bersama Syaikh Abu Ja’far al-Haffar sebagaimana dituturkan oleh Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang masyhur dengan sebutan Syaikh al-Islam di dalam Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami.
“Ketika aku masih seorang remaja di Baghdad,” ucap sang sufi yang merupakan poros berbagai tarekat itu, “aku berkeliling di antara berbagai reruntuhan. Tiba-tiba aku melihat Syaikh Abu Ja’far al-Haffar. Entah kenapa, ada perasaan tidak senang di dalam hatiku telah bertemu dengan beliau.
Tapi juga aku merasa malu terhadap beliau. Dalam keadaan diserimpung rasa malu, kukatakan kepada beliau: ‘Syaikh, tolong ungkapkan kepadaku sebuah kalimat hingga aku bisa bawa pulang.’ Beliau merespons: ‘Apa yang akan kukatakan?’ ‘Bagaimana jalan menuju kepada Allah Ta’ala?’ tanyaku.
‘Jika Allah Ta’ala tidak mencintaimu, tidak mungkin engkau mencintai hadiratNya. Jika Allah Ta’ala tidak berakrab-ria denganmu, tidak mungkin engkau bisa berakrab-ria dengan hadiratNya,’ ungkap beliau dengan sangat meyakinkan’.”
Sesungguhnya apa makna berkeliling di antara reruntuhan? Secara denotatif, reruntuhan itu bisa berarti bekas-bekas bangunan yang telah hancur yang dulu mungkin pernah berdiri gagah. Tapi dalam pemahamannya yang lebih luas menurut kalkulasi tafsir kaum sufi, reruntuhan itu bermakna alam semesta secara keseluruhan.
Hal itu tidak lain karena alam raya ini merupakan aneka ragam tumpukan kefanaan yang sangat temporal sehingga diasosiasikan sebagai reruntuhan. Mengelilinginya adalah mengambil iktibar dari kesementaran dunia ini sekaligus membaca keabadian dunia yang akan datang.
Kesadaran tentang filosofi reruntuhan itu tidak mungkin mengantarkan seseorang untuk mencintainya. Sebab, bagaimana mungkin dia akan jatuh hati kepada segala sesuatu yang hancur dan musnah. Tidak mungkin. Dan pada saat yang bersamaan, dia akan menjadi tertarik terhadap bentangan kebahagiaan yang abadi.
Dalam kaitannya dengan kedua sufi itu, Syaikh Abu Ja’far al-Haffar dan Syaikh Junaid al-Baghdadi, kesadaran spiritual terhadap reruntuhan itu tidak saja mengantarkan keduanya kepada adanya perhatian terhadap hari-hari keabadian di akhirat nanti, tapi lebih dari itu telah mengantarkan keduanya kepada hamparan luas cinta Ilahi.
Tentu saja yang terjadi adalah sebagaimana diungkapkan oleh Syaikh Abu Ja’far al-Haffar kepada Syaikh Junaid al-Baghdadi di tengah reruntuhan itu bahwa cinta mereka kepada Allah Ta’ala tidak lain “hanyalah” merupakan pantulan dari cinta hadiratNya kepada mereka. Tidak mungkin sebaliknya. Tapi bagaimana pun adanya ikhtiar untuk menyongsong cintaNya itu merupakan suatu keharusan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 13 September 2024
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024