Syaikh Abu Ja’far as-Sumani

Nama beliau adalah sebagaimana judul di atas. Tidak lebih dan tidak kurang. Setidaknya itu menurut pengamatan saya terhadap referensi-referensi yang mungkin dijangkau. Saya juga betul-betul tidak menemukan literatur yang menuturkan tentang di mana dan kapan beliau dilahirkan dari rahim ibunya. Pun, saya tidak mendapatkan referensi yang mengabarkan tentang di mana dan kapan beliau wafat.

Tapi yang jelas adalah bahwa Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami yang merupakan ensiklopedi para sufi dan menjadi pegangan pokok saya di dalam penulisan esai singkat tentang mereka, telah dengan terang-terangan memasukkan nama beliau di antara deretan para sufi.

Bagi saya pribadi, hal itu tidaklah terlalu penting. Yang jauh lebih penting adalah ikhtiar dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan untuk menyelami realitas rohani beliau yang terungkap lewat perkataannya. Setelah itu, kita berjerih payah untuk sesegera mungkin merealisasikannya di dalam kehidupan nyata.

“Temanmu,” ungkap beliau dengan penuh kepastian, “adalah dia yang telah menjadikanmu berhati-hati agar tidak terjerumus kepada dosa-dosa. Kawanmu adalah dia yang telah menjadikanmu jeli mengamati aib-aibmu sendiri. Dan saudaramu adalah dia yang telah menggerakkanmu melangkahkan kaki rohani menuju Tuhan Yang Mengetahui segala yang gaib.”

Sudah dapat dipastikan bahwa kalimat yang meluncur dari lisan beliau yang penuh berkah di atas menghablur dari perspektif rohani yang sangat mendalam. Tidak boleh tidak. Hal itu ditandai dengan adanya konotasi pertemanan yang secara mutlak menunjuk kepada tindakan penyelamatan, baik di dunia maupun di akhirat, bukan diukur secara psikologis dengan parameter seberapa dahsyat pertemanan itu telah mengakrabkan seseorang dengan orang lain.

Yang menjadi tolok ukur di sini adalah substansi pertemanan yang sangat efektif di dalam melindungi diri dari terjerumus ke lembah-lembah dosa dan kehinaan. Dari sini kita menjadi paham bahwa betapa pentingnya kita bersikap selektif di dalam mencari teman. Bukan terutama yang cocok dan sesuai dengan selera psikis kita, tapi terutama yang menjanjikan keuntungan bagi dimensi spiritual dan akhirat kita.

Sedangkan idiom “kawan” dikonotasikan oleh beliau kepada siapa pun yang memiliki hubungan dekat dengan diri kita sekaligus juga menjadikan kita jeli di dalam melihat berbagai aib dan kekurangan kita sendiri sehingga tidak ada celah waktu dan kesempatan bagi kita untuk lebih tertarik mengoreksi berbagai aib dan kekurangan orang lain.

Dalam konteks pemahaman di atas, baik pertemanan maupun perkawanan tidak saja akan mengantarkan kita pada keselamatan di dunia dan akhirat, tapi lebih dari itu juga akan membawa kita pada kehormatan dan kemuliaan, pada derajat yang suci dan bergengsi di hadapan hadirat-Nya.

Dan yang lebih tinggi kedudukannya sebagai sarana spiritual dibandingkan dengan pertemanan dan perkawanan di atas, tidak lain adalah persaudaraan. Dengan adanya persaudaraan itu, kita akan menjadi tergiring sekaligus tertarik untuk senantiasa menempuh perjalanan spiritual menuju kepada Allah Ta’ala. Dan, sungguh, perjalanan spiritual adalah rihlah yang paling menyenangkan, paling mendebarkan, sekaligus paling indah.

Menemukan seorang saudara dalam konteks pemahaman di atas, sebenarnya jauh lebih membanggakan ketimbang mendapatkan kedudukan duniawi, jauh lebih membahagiakan ketimbang mendapatkan tumpukan rezeki materi, jauh lebih menyenangkan ketimbang menyaksikan berbagai panorama alam semesta. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!