Tujuh Babak Cerita Jelang Malam Pertama

Tak ingin hanya bermodal sebatang badan sebagai pengantin, Asni memikirkan cara agar jadi calon istri yang “dihitung”. Sudah kapalan ia mendapati pemandangan mengenaskan: istri tanpa pekerjaan yang dilecehkan suami di kampungnya di Lubukdian sana, termasuk perlakuan bagi gadis calon pengantin yang menerima saja semua antaran mempelai laki-laki sehingga pihak laki-laki berkuasa penuh atasnya, termasuk … kacau-balaunya rumah tangga Mak yang baru berakhir ketika suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan lima tahun lalu.

Maka, begitu menjalin kasih dengan Jamal, anak kepala desa Lubukdian dan hubungan mereka makin serius, gadis dua puluh dua tahun itu tak ingin menerima pinangan tanpa segram emas pun di tangan.

Orangtuanya memang telah membujuk Asni untuk bekerja saja di desa, membantunya menyadap karet atau menanam padi darat, tapi gadis itu tak tertarik. Kalau masih di dusun, bakal sama saja, pikirnya. Berbekal ijazah SMK Jurusan Menjahit, gadis berambut sebahu itu menitipkan surat lamaran kerja lewat Intan, sahabatnya yang telah lama bekerja di sebuah pabrik tekstil. Begitu kabar baik ia terima, dua minggu kemudian, tanpa bisa dicegah, Asni ke Jakarta. “Aku tidak mau kehormatanku ditakar oleh darah perawan dan keris malam pengantin!” Sebagai orang sedusun, Asni tahu kalau Intan mengerti ke mana kata-katanya diarahkan.

2

Di kota, Asni menumpang tinggal di kosan Intan. Ia mulai terbiasa mandi sekali sehari karena harga air lebih mahal daripada bedaknya. Asni sempat mengeluh, tapi bulatnya tekad mengalahkan segalanya. Bawaannya yang masih lugu sering menjadi candaan teman-teman di pabrik. Suatu sore, di jam pulang buruh, Bang Heri, mandor yang sering dihindari pegawai perempuan, memanggil Asni ke gudang. “Sebagai pegawai baru, kau harus lembur sampai pukul delapan sekali seminggu. Jangan banyak protes kalau masih mau cari makan di sini!”

Asni menurut saja. Dilawannya rasa letih yang mulai melanda, Asni menjahit pola-pola yang menjadi tanggungannya besok. Semuanya menjadi neraka ketika lampu mati tiba-tiba.

3

Ketika siuman, Asni, yang sudah berada di kosan Intan, meraung sejadi-jadinya. Intan memeluknya. Sambil mengusap air mata, Intan memintanya menyimpan semuanya. “Aku sudah punya firasat, nggak enak malam ini, apalagi ketika mandor mata keranjang itu mengantarmu pulang pukul dua tadi dalam keadaan pingsan. Tapi … kita orang kecil bisa apa?” Air mata Intan berlinang.

Asni bergeming. Hingga Intan menutup pintu, ia bingung apa yang harus dilakukannya. Bekerja atau kembali ke kampung membawa aib? Dering ponsel membuyarkan lamunannya.

Jamal.

Bagaimana ini? Ia abaikan panggilan itu.

Sebuah pesan masuk.

Hatinya gugup. Dibolak-baliknya ponsel, seakan-akan itu akan membantunya menemukan jalan keluar.

Di mana, Dek? Kakak rindu.

4

Sebenarnya Asni tidak ingin memberi tahu siapa pun tentang kepulangannya, termasuk orangtua dan Jamal. Perasaan cemas dan takut merayapinya. Karena itu pula, tak sekalipun telepon orangtua dan Jamal yang dijawabnya.

“Kalau Adek tidak mau menjawab telepon ini, Kakak akan menyusul ke Jakarta, sekarang juga,” begitu bunyi pesan suara yang dikirimkan kekasihnya itu.

Perasaan Asni makin tak keruan.

Ia memilih pasrah.

Daripada Jamal makin marah karena tak mendapatinya di Jakarta nanti, begitu ponselnya berdering, ia pun mengatakan halo. “Asni sedang di bus dalam perjalanan pulang, Kak,” katanya seperti bergumam.

Di seberang, Jamal bersorai seperti anak kecil. “Sudah, sudah,” suaranya terdengar riang, “ceritanya nanti kalau sudah di rumah saja. Pokoknya Adek cepat pulang!”

 Asni sungguh matikata ketika kekasihnya justru tak mau mendengar cerita panjang lebarnya, seakan-akan ia sedang membawa buntalan kabar gembira ke Lubukdian.

Perjalanan yang memakan waktu hampir dua belas jam membuat Asni merasa letih. Ia sampai di rumah ketika menjelang pukul sepuluh malam. Tenda dan janur kuning di halaman rumah membuatnya kehilangan kata-kata. Melihat Asni, Mak langsung memeluk putri semata wayangnya dan mengajaknya melihat kamar pengantinnya. Sebuah ranjang sudah dihiasi kelambu putih dengan bunga plastik di tiap sisinya. Asni menangis. Mak kembali memeluknya. Asni menghapus air matanya, dan mengajak Mak bicara. Tapi perempuan itu malah meminta Asni segera beristirahat.

Setelah Mak pergi, Asni menangis sejadi-jadinya. Ditelungkupnya wajah ke bantal agar tak terdengar hingga ke luar kamar. Sambil menatap ranjang penggantinya, hatinya teriris. Asni merasa sangat tak pantas tidur di ranjang suci ini.

Tiba-tiba saja, ia mendengar suara Mak.

Hari telah pagi rupanya.

Di dapur, ada Bibi Inah—sepupu Mak—yang akan membantu mempersiapkan acara antaran. Melihat itu urung Asni menceritakannya. Melihat Asni yang berdiri sambil melamun. Mak mendekati dan berbisik bahwa gadis yang akan jadi pengantin tak boleh banyak melamun.

Gadis? Aku tak gadis lagi, Mak.

Selesai sarapan, Mak menyiapkan tikar pandan yang lebar di ruang tamu. Nampan-nampan berisi bolu koja telah terhidang. Asni memandang raut wajah Mak yang begitu bahagia. Antaran merupakan adat pemberian pihak laki-laki kepada calon mempelai perempuan. Biasanya dalam bentuk sembako, kelapa tua, pakaian yang bagus, atau bahkan ada yang menyertakan hewan ternak di dalamnya. Dan keluarga Jamal rupanya tidak mau main-main. Selain sembako, puluhan kelapa tua, sebonggol umbut kelapa, dan beberapa setel pakaian bagus, mereka juga membawa seekor sapi!

Betapa jemawanya Mak Asni. Ia tersenyum dengan wajah tegak. Ah, janda yang tangguh itu, batin Asni, kau memang layak mendapatkannya, Mak. Mak mendekatinya. “Beruntung sekali kau mendapatkan Jamal, Nak,” bisiknya dengan nada gembira.

Asni mengangguk dan memaksakan bibirnya tersenyum. Hiruk pikuk keramaian membuat perasaannya makin tak keruan. Ibu-ibu di desanya mulai berdatangan. Mereka membawa bokor yang isinya beras, kelapa, dan juga ayam kampung. Mak mulai mempersilakan mereka untuk menikmati segala macam bolu dan minuman di atas meja prasmanan. Asni tak henti menatap Mak dengan hati yang pilu. Sungguh ia makin tak berani berterus-terang.

5

Pagi akad nikah, perempuan bertubuh tambun datang dengan sekotak besar alat rias ketika beduk subuh bahkan belum ditabuh. Asni diminta mandi air rendaman mawar merah. Perempuan itu membaca mantra sebelum membalurkan wajah Asni dengan mawar-mawar yang basah. Setelah Asni mengeringkan tubuhnya, ia duduk di depan meja rias. Di hadapan cermin, ia merasa sangat kotor.

Perias itu mulai menyapu wajah Asni dengan alas bedak. Sedikit demi sedikit, bedak itu pun memadati wajahnya. Tak lupa, lipstik merah muda perias itu oleskan ke kedua bibirnya. Katanya, sentuhan itu akan membuatnya makin memesona. “Kamu mirip artis Ashanti!” perias itu memuji hasil pekerjaannya sendiri.

Jelang pukul delapan, Mak masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Ia meminta perias itu untuk segera menyelesaikan riasannya karena mempelai pria sebentar lagi tiba. “Cepetan, Mbul!” desak Mak. Asni ingin tertawa begitu menyadari kalau perempuan yang meriasnya hampir dua jam itu dipanggil Gembul. Dengan bergegas, Gembul memakaikannya kebaya putih lengkap dengan sanggul bunga melati yang ditutupi dengan selendang putih transparan. “Semua gadis Lubukdian bermimpi dikawinin Jamal!” selorohnya seraya merapikan kainnya. “Tapi … bagaimanapun … kalian memang pasangan serasi, Asni!” Gembul tertawa, sebelum lagi-lagi Mak menegur agar ia mempercepat pekerjaannya.

Baru saja Asni hendak bangkit dari bangku rias, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Intan. Perasaan Asni tak enak.

 Asni, maafkan aku ya. Ketika kau membaca pesanku ini, aku dan Bang Heri telah berada di penjara. Entah dengan keberanian apa, aku melaporkan semua perbuatan bejat Bang Heri, kepadamu dan aku. Semua bukti telah kupersiapkan termasuk uang sogokannya kepadaku di hari kau diperkosanya.  Aku adalah korban yang tak belajar dari kecerobohanku di masa lalu. Maafkan aku, Asni, yang telah menjerumuskanmu.

Dada Asni bergemuruh. Rasa marah dan kecewa menjadi satu hingga air matanya turun deras. Ia tak memedulikan Gembul yang menggerutu karena harus mendempul kembali bedak dan lipstik.  Perias itu menasihati Asni untuk menahan perasaan harunya agar riasannya tahan lama.

Penghulu pun memanggilnya. Asni gugup. Jamal memandangnya. Ada rindu di matanya. Asni jadi salah tingkah. Ijab-kabul pun dilangsungkan dengan pamannya yang bertindak sebagai wali nikah.

Sah!

Asni terkesiap.

Suara Alhamdulillah bergeremengan.

Jamal menyematkan cincin di jarinya lalu mencium keningnya.

6

Di kamarnya, Mak mengantar tetua adat yang membawa sebilah keris ke kamarnya. Tanpa berkata sepatah kata pun, laki-laki berikat kepala kain hitam itu meletakkan senjata keramat itu di bawah ranjang pengantinnya.

Asni bergidik. Ia ingin bertanya tapi bisikan Mak membuatnya hanya bisa menelan liur. “Mak yakin kau masih perawan,” katanya lirih. “Pastikan kau tidak mengacaukan segalanya, Nak.”

Asni tahu, Mak tidak kuasa menolak antaran yang nilainya sangat besar itu. Itu juga sebagai tanda bahwa mempelai lelaki berhak menggunakan keris keramat Lubukdian sebagai bagian dari “upacara” malam pengantin.

7

Malam itu Asni dan Jamal akan membuat sejarah baru sebagai bujang-gadis yang akan menjalani kehidupan bersama yang halal. Jamal memegang tangan Asni yang hanya duduk meja riasnya. Rasa rindu bergemuruh di dadanya. Bahu Asni berguncang. Ia tak dapat membendung air matanya. Jamal pun penasaran. Jamal mengguncang-guncang pundaknya. Asni makin tersedu-sedan.

Jamal mulai emosi. Ia yakin, itu bukan lagi air mata bahagia. Jamal mendesaknya untuk berbicara.

Asni menghela napas panjang. Lalu dari bibirnya mengalir kisah kelam itu. Jamal menjauhi Asni seakan-akan Asni adalah benda haram yang mengandung petaka. Ia mondar-mandir di dalam kamar seraya meremas-remas rambutnya. Diobrak-abriknya hiasan di ranjang pengantin mereka. Asni menangis. “Maafkan aku, Kak,” kata Asni seraya mendekat, tapi Jamal malah mendorongnya hingga ia terjerembab di kolong ranjang.

 Beberapa saat kemudian, tangannya sudah memegang sebilah keris. “Kau ingin menunjukkan ini kepada Mak, Kak?” Ya, Asni hafal sekali adat di Lubukdian. Apabila keris itu diserahkan kepada orang tua pengantin perempuan, pertanda pengantin perempuan sudah tidak perawan lagi sebelum pernikahan.

Jamal ingin meraih keris itu, tapi Asni mengelak.

“Aku bukan wanita tanpa harta dan hak!” suara Asni tertahan.

“Aku sudah membeli barang rongsokan dan sekarang kau banyak tingkah juga!” Jamal makin geram.

Di luar, Mak Asni dan ibu-ibu dari keluarganya mendekatkan telinga mereka di daun pintu. Bunyi ranjang yang berderat-derit dan suasana kamar yang kacau mereka anggap sebagai api membara sepasang pengantin yang memang susah dikendalikan. Tawa-tawa nakal terukir di bibir mereka. Sampai … teriakan panjang dari Asni dan Jamal dari dalam kamar membuat mereka refleks berteriak. Ah, adakah yang lebih menggairahkan daripada melepas segalanya di malam pertama?

Musirawas, 22 September 2021

Desy Arisandi
Latest posts by Desy Arisandi (see all)

Comments

  1. Yonsa Reply

    Admin, ini endingnya apa ya?

    Sepasang pengantin itu brcinta atau salah 1 terbunuh oleh keris pngntin?! Palakku pening, abis baca, trus kepikiran endingnyaaa ya Allah.

    Apa emang seperti ini cerpen yg bagus itu ya?
    Yang bikin kita nanya2 sndiri ini apa akhirnya.
    Maaf saya awam.

    • SH Reply

      Ini open ending namanya. Pembaca dibiarkan untk menerka sndiri ending cerita. Kalau sy sndiri, dari paragraf akhir cerita, mnyimpulkan Asni tlah membunuh Jamal dgn keris itu..

      • Pid Reply

        Iya kak, saya sependapat. Soalnya posisi kerisnya lagi dipegang sama Asni

    • Indra darma putra Reply

      ceritanya biasa ajaa yg buat penasaran alurnya, yang jelas perawan ataupun perjaka itu tidak penting, intinya saling memiliki dan melengkapi satu sama lain tuk menata masa depan lebih baik

    • Dian Aris Munandar Reply

      kalau menurut pembacaan saya, saya kecil kemungkinan ada “niatan membunuh” apabila sang istri terbukti tidak perawan sebelum pernikahan (bila kita asumsikan mereka adalah pemegang adat yang taat). Tetapi sebagaimana telah disebut penulis “apabila keris itu diberikan kepada orang tua pengantin perempuan..” dalam babak 7, ketidak perawanan calon istri akan berakhir pada keputusan orang tua, bagaimana sebaiknya, mau diapain 🙂

  2. Usdhof Reply

    Ending yang terbuka… Joss… Menarik ketika membaca karya teman dari daerah melayu. Semenarik ketika saya membaca karya Bang Tere Liye…

  3. melancholia Reply

    menarik sekali tema yang dibawakannya..

  4. kawe Reply

    endingnya bisa tiga:
    1. pengantin perempuan bunuh diri karena tak kuat menanggung beban.
    2. pengantin laki-laki membunuh pasangannya karena kecewa.
    3. pengantin laki-laki menerima keadaan pasangannya karena dirinya juga tidak perjaka.
    tinggal pilih, pembaca mau hepi atau menderita….hahahihi…

  5. Dian Aris Munandar Reply

    Tafsiran saya: Asni perempuan yang polos (petunjuk yang penulis “spill” di awal), Ia mengira dirinya sudah tidak perawan, dan mempercayai kata-kata Intan bahwa Asni telah disetubuhi di malam ia tak sadarkan diri. Lalu mereka pulang, keluarganya tertawa Asni tidak sadar sedang berada di tengah skenario “melepas segalanya di malam pertama” yang sudah dirancang keluarganya dengan sangat epik. Melepas yang dimaksud adalah “melepas semua duka dan amarah” sebelum akhirnya mereka benar-benar menjalani rumah tangga. Awal seperti itu mungkin justru akan jadi cerita berkesan bagi anak-cucu dan masa tua mereka, kisah konyol yang bermula dari kepolosan, keluguan, dan sekaligus “perjuangan” Asni untuk menjadi perempuan yang “suci” dan memiliki harga diri.

    Jujur, sepanjang badan cerita, saya mengira ini cerpen dark-ending, sampai saya terkejut dan tak menduga menemukan ada humor cerdas di dalamnya. Cerpen ter”mesra” yang berhasil saya baca belakangan tahun ini.

  6. zoel Reply

    akhir nya mama asni yg di jadikan istri oleh kang jamal

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!