Beliau adalah Ishaq bin Muhammad Abu Ya’qub an-Nahrajuri. Bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi, Syaikh ‘Amr bin’Utsman al-Makki. Beliau adalah salah seorang dari murid Syaikh Abu Ya’qub as-Susi. Beliau tinggal di Makkah selama beberapa tahun dan wafat di sana pada tahun 330 Hijriah.
Tentang reputasi rohani beliau di jalan spiritual, tentu tidak perlu diragukan lagi oleh siapa pun. Beliau adalah salah seorang sufi yang begitu intens mengalami Allah Ta’ala. Bukan saja memahami dan mengetahui tentang posisi hadiratNya di hadapan seluruh makhluk, tapi mengalami Allah Ta’ala itu sendiri.
Apa bedanya antara mengetahui dan mengalami? Di dalam keterkaitan dengan perkara apa pun, mengetahui belum tentu mengalami. Bahkan jarak yang memisahkan di antara keduanya bisa sangat jauh. Sangat dimungkinkan seseorang atau bahkan banyak orang mengetahui tentang sesuatu, tapi sampai ajal menyongsong mereka, apa yang mereka ketahui itu tak kunjung dialami.
Pun, tentang Allah Ta’ala. Posisi Dia sebagai Tuhan semesta alam bisa dikatakan diketahui oleh semua orang. Tapi berapa orang yang dianugerahi kesanggupan untuk mengalami hadiratNya? Berapa orang yang senantiasa mengalami interaksi rohani secara terus-menerus dengan Allah Ta’ala? Atau bahkan berapa orang yang merasa tenggelam di dalam Dia?
Syaikh Abu Ya’qub an-Nahrajuri adalah salah seorang sufi yang senantiasa merasa tenggelam di dalam hadiratNya. Bahkan beliau juga merasakan betapa alam semesta tenggelam di dalam Allah Ta’ala. Dan ketika seorang sufi semakin tenggelam di dalam hadiratNya, tidak lantas dia menjadi semakin paham tentang Allah Ta’ala, bahkan malah menjadi semakin bingung.
Itulah sebabnya kenapa dengan tegas sang sufi mengatakan bahwa paling makrifatnya orang kepada Allah Ta’ala adalah dia yang paling dahsyat rasa bingungnya tentang Dia.
Bagaimana mungkin seseorang semakin menyelami keagungan Allah Ta’ala kok malah semakin bingung? Bukankah semestinya dia semakin paham? Berkaitan dengan segala sesuatu yang lain mungkin ya. Tapi tidak ketika berkaitan dengan hadiratNya. Sebab jelas bahwa Dia itu sama sekali tidak dibatasi oleh limit apa pun.
Maka sangat wajar dan begitu rasional ketika seseorang semakin menyelami Allah Ta’ala, dia menjadi semakin bingung. Dan bingung mengenai hadiratNya pastilah tidak sama dengan bingung mengenai yang lain. Bingung mengenai yang lain bisa membuat seseorang abai atau tidak urus terhadap sesuatu yang menjadikannya bingung itu. Sementara bingung tentang kemahaan Allah Ta’ala bisa membuat seseorang ketagihan terhadap hadiratNya.
Dari sini kita bisa dengan mudah mengafirmasi salah satu doa Nabi Muhammad Saw: “Tuhanku, tolong tambahkan kepadaku rasa bingung itu.” Yaitu, rasa bingung di dalam penjelajahan spiritual terhadap kemahasempurnaan hadiratNya yang tidak bertepi.
Sungguh hal itu merupakan kenikmatan rohani yang luar biasa. Setiap penjelasan tentang kenikmatan yang tidak terpermanai itu pastilah kedodoran, pastilah mengalami reduksi. Untuk itu, janganlah kita hanya bersandar kepada pemahaman tentang kenikmatan tertinggi tersebut. Tapi berusahalah dengan penuh kegigihan dan ketulusan untuk bisa mencicipi dan merasakan kenikmatan hakiki itu. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
April
Yee seru suka banget baca kisah2 di bagian Tajalli, good job Basa-basi.co 😃👍
Admin
terima kasih 🙂