Beliau adalah Ahmad bin Nashr. Seorang sufi berkebangsaan Mesir. Beliau termasuk generasi Syaikh Junaid al-Baghdadi dan para sahabatnya. Beliau merupakan seorang guru rohani bagi para sufi yang lain, di antaranya adalah Syaikh Abubakar ad-Duqi dan Syaikh Abubakar az-Zaqqaq ash-Shaghir yang tidak adalah adik kandungnya sendiri.
Beliau merupakan seorang sufi yang menjadi kebanggaan di Mesir. Beliau merupakan sandaran bagi para sufi yang lain. Terutama bagi mereka yang papa yang tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa selain Tuhan mereka sendiri.
Ketika beliau wafat entah tahun berapa karena memang tidak ditemukan tarikh kewafatannya, seorang sufi yang cukup masyhur, Syaikh Abubakar al-Kattani, memberikan secarik testimoni: “Telah terputus alasan para fakir untuk memasuki Mesir.” Berarti dengan demikian, beliau memang merupakan tokoh sentral di bidang pengayoman terhadap para sufi yang lain.
Beliau adalah seorang sufi yang betul-betul secara total mempersembahkan hidup dan matinya di jalan rohani yang lurus terhadap hadiratNya. Kesungguhan dan ketulusan beliau di dalam menempuh dan menyusuri jalan-jalan keilahian sama sekali tidaklah pantas untuk dipertanyakan.
Karena itu, dengan tegas beliau menyatakan bahwa harga yang mesti dibayar di dalam mengarungi dan mendaki lorong-lorong yang menuju kepada Allah Ta’ala tidak lain adalah roh manusia itu sendiri. Artinya adalah bahwa roh manusia itu menjadi taruhan di dalam menggapai rida dan posisi yang akrab dengan hadiratNya.
Dalam konteks pemahaman di atas, para salik mesti bersedia dengan lapang dada untuk “kehilangan” apa saja, baik yang merupakan milik mereka atau bahkan yang merupakan bagian dari diri mereka sendiri, demi untuk mendapatkan Allah Ta’ala. “Telah kujual apa yang bisa kujual, telah kugadaikan apa yang bisa kugadaikan, demi meraihMu, Kekasih,” tulis Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) dengan gemetar.
Di atas lorong-lorong yang menuju ke “rumah” hadiratNya, setiap salik atau penempuh jalan rohani dihadapkan kepada adanya dua pilihan. Yaitu, berpihak kepada Allah Ta’ala atau berpihak kepada diri mereka sendiri. Berpihak kepada hadiratNya secara habis-habisan adalah keberuntungan. Dan sebaliknya, berpihak kepada diri sendiri adalah malapetaka yang tak kunjung sirna.
Di dalam paradigma dan kepustakaan kaum sufi dituturkan bahwa hakikat sayang kepada diri sendiri tidaklah diimplementasikan dengan mengikuti berbagai macam kemauan diri sendiri yang parsial, melainkan justru sebaliknya. Yaitu, menafikan diri sendiri di satu sisi dan berpihak secara total kepada Allah Ta’ala di sisi yang lain.
Itulah sebabnya kenapa beliau dengan cemerlang menyatakan bahwa tema tentang penafian diri sendiri dan keberpihakan yang utuh kepada Allah Ta’ala sangat pantas bagi seseorang yang telah sanggup membersihkan tempat sampah dengan rohnya selama bertahun-tahun dengan penuh kejujuran.
Barang siapa telah dianugerahi pengalaman rohani tersebut, sungguh dia merupakan orang yang sangat beruntung, merupakan orang yang telah betul-betul rampung dengan dirinya sendiri, merupakan orang pilihan di tengah realitas kehidupan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024