Beliau adalah Abu al-Hasan Ahmad bin Abu al-Hawari. Termasuk sufi dari generasi awal. Berasal-usul dari Demaskus. Bersahabat dengan Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani, Syaikh Abu ‘Abdillah an-Nibaji dan lain sebagainya. Syaikh Junaid al-Baghdadi menyebut beliau sebagai bunga harum dari Syiria. Wafat pada tahun 230 Hijriah.
Ada kisah menarik tentang beliau berkaitan dengan Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani, kawannya itu. Yaitu, keduanya saling berjanji untuk tidak membuka rahasia-rahasia keilahian kepada umat. Mereka berdua berjanji untuk senantiasa mematuhi apa yang sudah ditentukan bersama itu.
Akan tetapi, pada suatu hari Syaikh Sulaiman ad-Darani tidak sanggup untuk tetap berpegang kepada janjinya. Beliau berada di sebuah majelis, berbicara kepada jama’ah tentang rahasia keilahian, terutama yang berkaitan dengan Syaikh Ahmad bin Abi al-Hawari, kawannya.
Saat itu juga orang yang dibicarakan itu datang ke majelis Syaikh Abu Sulaiman ad-Darani. Beliau terkejut. “Tungku perapian menyala. Apa yang kau katakan?” Seperti hendak mengingatkan tentang janji berdua itu dengan tegas. Tapi Syaikh Sulaiman ad-Darani tidak merespons sehingga pernyataan tersebut diulangi sebanyak tiga kali oleh Syaikh Ahmad bin Abi al-Hawari.
“Pergi dan duduk di sana,” kata Syaikh Sulaiman ad-Darani kepada temannya itu dengan nada sedikit membentak. Setelah itu, beliau tetap kelihatan sibuk berceramah untuk jama’ahnya. Seperti tidak menggubris temannya yang baru saja datang itu sama sekali. Akan tetapi sebentar kemudian beliau lalu tersadarkan.
“Apa yang sudah kukatakan kepada Ahmad? Di mana dia sekarang? Jangan-jangan berada di tungku perapian!” Seketika beberapa orang dari jama’ah tersebut mencari Syaikh Ahmad bin Abi al-Hawari. Dan betul, beliau ditemukan di tengah tungku perapian yang sangat panas dan menyala. Dan anehnya, tidak ditemukan pada diri beliau sehelai bulu kuduk pun yang terbakar.
Memang, beliau menekuni jalan rohani yang sedemikian ketatnya. Tidak memberikan peluang kepada hatinya walaupun secercah untuk lalai, untuk gandrung kepada segala kesenangan duniawi, juga untuk tertarik kepada berbagai macam bujuk-rayu apa pun selain hadiratNya.
Sampai-sampai di dalam sebuah ungkapannya beliau menyatakan bahwa dunia ini adalah tempat sampah dan tempat berkumpulnya anjing-anjing. Dan yang lebih hina lagi dari anjing-anjing adalah orang yang mencintai dunia dengan sepenuhnya. Karena anjing-anjing itu mengambil makanan hanya yang sesuai dengan kebutuhan mereka, setelah itu pergi. Sementara orang-orang yang mencintai dunia dengan sepenuh hati tidak akan menyingkir darinya hingga ajal mereka tiba.
Tentu saja kita telah memahami dengan benar bahwa “dunia sebagai tempat sampah” itu tertuju kepada orang yang menjadikan dunia fana ini sebagai segala-galanya, sebagai tujuan bagi hidup dan matinya. Bukan sebagai sarana semata untuk mengukir “reputasi” rohani yang indah dan cemerlang, baik dalam konteks transendental maupun horizontal.
Dunia fana yang dipandang sebagai segala-galanya itu pastilah menjadi tabir yang sedemikian tebal bagi siapa pun yang mengalaminya. Sehingga akhirat, dengan demikian, pasti tidak kelihatan sama sekali dengan pandangan mata batinnya. Karena mata batin itu telah terbutakan oleh segala sesuatu yang menipu, oleh segala sesuatu yang seakan-akan, oleh segala sesuatu yang centang-perenang, oleh segala sesuatu yang sesungguhnya hanyalah merupakan bayang-bayang kepalsuan belaka. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Mayyirah an-Nisaburi - 6 September 2024
- Syaikh ‘Ali Bin Hasan al-Kirmani - 30 August 2024
- Syaikh Musa al-Jirufti - 23 August 2024