
Di dalam berbagai literatur tasawuf yang saya miliki, saya tidak menemukan biografi “lengkap” tentang sufi di atas. Di dalam kitab Nafahatnya Mulla ‘Abdurrahman Jami hanya disebutkan bahwa beliau bermukim di tanah suci Makkah.
Saya menulis tentang beliau semata karena tertarik terhadap kecemerlangan rohaninya sebagaimana terungkap di dalam kalimat-kalimatnya. Di antara ungkapan beliau adalah bahwa 1) barangsiapa rida terhadap dunia demi kesenangan dunia itu sendiri, maka dia terlaknat.
2) Barangsiapa rida terhadap ilmu demi ilmu itu sendiri, maka dia gila. 3) Barangsiapa rida terhadap sikap asketiknya demi pujian yang menyertainya, maka dia berhijab. 4) Barangsiapa rida terhadap kebenaran yang bercampur dengan yang lain pada dirinya, maka dia melampaui batas.
Poin yang pertama di atas itu memberikan isyarat yang gamblang kepada kita bahwa menambatkan hati secara sepenuhnya kepada dunia yang fana ini betul-betul akan menjadikan siapa pun terlaknat. Yang dimaksud terlaknat di sini tidak lantas menunjuk kepada hancurnya seseorang, tapi memberikan pemahaman kepada kita bahwa orang tersebut telah tersingkir dari rahmat Allah yang hakiki yang berupa cahaya petunjuk dan kepatuhan.
Berbeda, misalnya, dengan orang yang menggunakan harta-benda dunia itu sebagai sarana yang efektif untuk semakin mendekatkan diri kepada hadiratNya. Dalam konteks ini, harta-benda dunia itu justru menjadi support bagi kesempurnaan nilai rohani seseorang.
Poin yang kedua dari pernyataan beliau dimaksudkan bahwa menikmati samudera keilmuan demi ilmu itu sendiri akan menjadikan seseorang gila karena hanya akan berputar-putar tanpa tujuan yang mulia di tengah gelanggang dunia ilmu tersebut. Padahal semestinya secara spiritual seluruh ilmu yang dimiliki seseorang hanya pantas untuk dijadikan kendaraan di dalam menempuh suluk atau perjalanan rohani menuju kepada hadiratNya.
Ketika keilmuan seseorang hanyalah merupakan koleksi yang dibanggakan dan tidak mengantarkannya pada awal dan akhir hidupnya sendiri, Allah Ta’ala, maka keilmuan yang dimilikinya itu sesungguhnya tidaklah berbeda dengan kebodohan. Karena keduanya sama sekali tidak mengantarkan dia kepada hadiratNya.
Poin ke-3 di atas itu berkaitan dengan tindakan asketik atau mengambil jarak dari segala apa pun yang fana di dunia ini. Itu merupakan tindakan yang terpuji. Akan tetapi ketika seseorang menempuhnya sembari menikmati pujian-pujian orang lain lewat perilaku asketiknya itu, sungguh dia masih merupakan orang yang berhijab dari Tuhannya.
Bagaimana mungkin tidak, pujian-pujian makhluk masih dengan mudah bertengger di hati dan pikirannya. Sementara perilaku asketik yang sesungguhnya mestinya menjadikan dia merdeka dari segala penilaian dan pujian makhluk. Bagi para salik yang menempuh jalan asketis, baik pujian maupun cacian, sama sekali tidak memengaruhi mereka sedikit pun.
Poin terakhir dari ungkapan sang sufi tersebut merupakan emanasi dari salah satu nama Allah Ta’ala, al-Haqq atau Yang Maha Benar. Terpujilah orang yang sudah bisa menikmati kebenaran-kebenaran hakiki di dalam kehidupannya. Hal itu merupakan pertanda bahwa hadiratNya itu telah berkenan bertajalli dengan nama suci di atas terhadapnya.
Akan tetapi ketika seseorang yang menikmati kebenaran itu masih memiliki kegandrungan, seberapa pun takarannya, terhadap kebatilan, berarti dia masih tergolong orang-orang yang melampaui batas. Dan itu sama sekali tidak benar.
Karena itu, di dalam kehidupan yang sementara ini kita mesti berikhtiar dengan kesungguhan dan ketulusan agar sepenuhnya kita menjadi wadah yang indah bagi pengejawantahan nama-nama Allah Yang Maha indah. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu Nashr as-Sarraj - 14 March 2025
- Syaikh Bab al-Farghani - 7 March 2025
- Syaikh Abu Hamid al-Muhib - 28 February 2025