
Tidak banyak yang saya ketahui tentang identitas sufi yang satu ini. Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla ‘Abdurrahman al-Jami yang menjadi rujukan utama saya di dalam penulisan esai ini hanya menyatakan bahwa beliau adalah seorang sufi awal dari Tiberia, sebuah kota di Demaskus. Beliau termasuk sufi agung yang dianugerahi berbagai macam karamah.
Pernah tersiar secara luas pernyataan para sufi di Tiberia tentang kehebatan Syaikh Bisyr ath-Thabrani. Mereka semua sepakat di dalam sebuah keyakinan bahwa selama di Tiberia masih ada Sang Sufi agung itu, maka kota tersebut akan senantiasa aman dari agresi orang-orang Romawi yang waktu itu selalu menjadi ancaman.
Mendengarkan kabar tentang dirinya seperti itu, dengan tanpa berpikir panjang beliau langsung memerdekakan semua budak yang dimilikinya. Harga satu budak cukup mahal, seribu dirham. Sebuah harga yang luar biasa. Kegembiraan yang berawal dari tersiarnya kabar itu telah menjadikan beliau melakukan pengorbanan yang luar biasa. Pengorbanan yang kebanyakan orang lain belum tentu berani melakukannya.
“Ayah,” respons salah satu dari anak Sang Sufi itu karena semua budak yang dimilikinya dimerdekakan, “kau telah menjadikan kami jatuh ke dalam jurang kebangkrutan.”
“Anakku tercinta,” jawab Sang Ayah dengan penuh kasih-sayang, “hal itu kulakukan sepenuhnya semata karena realisasi rasa syukurku kepada Allah Ta’ala. Tidak tanggung-tanggung. Dia telah menjadikan para kekasihNya di Tiberia ini memiliki keyakinan yang sedemikian agungnya tentang diriku. Tanpa digerakkan oleh hadiratNya, tak mungkin mereka takzim kepadaku.”
Kesan apa yang bisa kita tangkap dari respons Syaikh Bisyr ath-Thabrani terhadap berita yang kadung tersiar tentang dirinya itu? Dengan keagungan dan kemuliaan rohani yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepadanya, rasanya sangat tidak mungkin beliau tersanjung oleh pujian-pujian makhluk. Di seorang sufi seperti itu, baik hinaan maupun pujian sama-sama tidak berarti apa-apa. Pujian makhluk tak akan pernah menjadikannya merasa tinggi. Demikian pula cacian, tak akan pernah menjadikannya merasa rendah. Seluruh makhluk telah gugur dari pandangannya.
Ketika anak Sang Sufi itu merasa sedang terjun ke dalam jurang kebangkrutan karena semua budak yang dimiliki dibebaskan dengan tanpa syarat apa pun, justru ayahnya malah merasakan hal yang sebaliknya. Yakni, merasa berada di puncak kegembiraan dengan fondasi kekayaan spiritual yang sangat indah dan luar biasa.
Bagaimana mungkin sang anak dengan ayahnya bisa berseberangan? Bukankah anak itu sebenarnya merupakan titisan orang tua? Secara lahiriah dapat dipastikan bahwa anak itu merupakan darah dan daging orang tuanya sendiri. Akan tetapi berkaitan dengan orientasi hidup, berkaitan dengan kiblat spiritual, berkaitan dengan langkah-langkah rohani, di antara ayah dan anaknya tidak mesti selaras, tidak mesti searah, tidak mesti seirama.
Dalam konteks perbedaan di atas, si anak itu dengan protesnya menunjukkan bahwa dirinya masih dicengkeram oleh pejalnya rasa kepemilikan terhadap sejumlah karunia yang sesungguhnya secara hakiki bukanlah miliknya. Sedangkan si ayah, Sang Sufi itu, sudah merasakan merdeka dari segala bentuk kepemilikan. Bahkan terhadap dirinya sendiri beliau tidak merasa memiliki. Secara hakiki, seluruh yang ada adalah milik Allah Ta’ala semata.
Beruntunglah orang yang telah merasakan bebas dari kepemilikan apa pun untuk dirinya sendiri. Lalu memandang kehidupan dengan segala sesuatu yang dikandungnya sebagai perahu raksasa yang mesti dikerahkan untuk senantiasa melaju menuju rida hadiratNya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Hamzah al-‘Uqaily - 7 February 2025
- Syaikh Amirjah Bayya’ al-Fikhar - 31 January 2025
- Syaikh Abu al-Muzhaffar at-Tirmidzi - 24 January 2025