Syaikh Ibrahim ad-Dihistani

Beliau adalah sebagaimana judul di atas, persis. Tidak lebih dan tidak kurang. Setidaknya, itulah yang saya ketahui dari Kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi, satu-satunya kitab yang menampung dan menyebut nama beliau di dalamnya. Menurut editor Kitab Nafahat, kitab-kitab thabaqat yang lain tidak mendeskripsikan nama beliau.

Di sebuah negeri yang terletak di antara Rey dan Nisapur, di Damighan, Syaikh Muhammad al-Qashshab pernah menyatakan kepada Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam: “Aku pernah mengalami lelah luar biasa pada hari-hari ketika orang-orang yang ahli di bidang kalam berada di sini.

Kemudian aku sowan kepada Syaikh Ibrahim ad-Dihistani untuk bertanya tentang mereka kepada beliau. Beberapa waktu kemudian aku melontarkan pertanyaan dan beliau menjawab: ” Muhammad, pulanglah engkau. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak betul-betul diketahui dan tidak akan sepenuhnya diketahui oleh siapa pun yang selain hadiratNya.”

Menurut Syaikh Abu Isma’il ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi, siapa pun tidak akan mengenal Allah Ta’ala kecuali dia diperankan oleh hadiratNya, juga dengan berpedoman kepada firman-firmanNya. Barang siapa mengenal Allah Ta’ala lewat al-Qur’an dan Sunnah, maka berarti dia sudah mengenalNya dengan pasrah dan berserah diri.

Allah Ta’ala tidak mungkin hanya dikenal lewat akal semata. Karena akal jelas merupakan makhluk yang tidak akan menunjukkan siapa pun kecuali terhadap makhluk juga. Oleh sebab itu, siapa saja yang berbicara tentang hadiratNya hanya dengan menggunakan akal semata dan kiyas, maka dia tidak bisa diterima.

Sementara orang yang berbicara tentang Allah Ta’ala dengan dimensi keimanan, itu jelas bisa diterima. Karena keimanan itu adalah sam’i, sesuatu yang bisa kita dengar dari keterangan hadiratNya, baik lewat al-Qur’an maupun Hadis, dan sama sekali tidak akan terjangkau hanya oleh potensi rasio belaka.

Ungkapan Syaikh Ibrahim ad-Dihistani itu sangat masuk akal bahwa hanya ketika dibekingi oleh hadiratNya saja seseorang akan bisa mengenal Allah Ta’ala. Kalau tidak, bagaimana mungkin? Bukankah manusia itu merupakan makhluk yang nisbi dan temporal yang pikirannya tidak akan sampai kecuali pada yang nisbi dan temporal juga?

Sedangkan Allah Ta’ala adalah Tuhan yang mutlak yang tidak mungkin terjamah sepenuhnya oleh apa atau siapa pun yang nisbi dan temporal. Seluruh keinginan yang nisbi itu pastilah dibatasi oleh limitnya sendiri yang tidak mungkin untuk bisa dijebol. Bagaimana mungkin untuk sepenuhnya bisa menggapai ketidakterbatasan hadiratNya? Duh, tidak mungkin.

Maka dapat dipastikan bahwa sesungguhnya kegeniusan manusia yang paling liar sekali pun pastilah hanya akan berhenti di luar kemahaan Allah Ta’ala, tidak mungkin tidak. Dalam konteks inilah kemudian apa yang disebut keimanan itu menjadi sangat diperlukan. Untuk apa? Untuk menjangkau ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh rasionalitas itu.

Karena itulah kemudian bisa diungkapkan bahwa keseluruhan diri orang beriman tersebut tidak mungkin bisa ditekuk oleh potensi rasionalitasnya sendiri. Kenapa? Jelas karena orang beriman itu sebenarnya terhubung dengan kemahaluasan Allah Ta’ala yang tidak bertepi. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Kuswaidi Syafiie
Latest posts by Kuswaidi Syafiie (see all)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!