Nama lengkap beliau adalah Ibrahim Satnabih al-Harawi. Kun-yahnya Abu Ishaq. Bersahabat dengan Syaikh Ibrahim bin Adham. Sezaman dengan Syaikh Abu Yazid al-Bisthami. Asalnya dari Kirman. Lalu pindah dan menetap di Hirat. Wafat di Qazwin dan kuburannya sering diziarahi orang untuk mendapatkan keberkahan.
Di tengah masyarakatnya, beliau memiliki martabat dan kedudukan yang agung. Sedemikian dimuliakan. Tingkat tawakalnya mutlak. Tanpa ikhtiar sedikit pun. Bahkan beliau melaksanakan ibadah haji berkali-kali dengan sepenuhnya tawakal yang mutlak itu. Tidak membawa bekal sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang lain.
Dengan sengaja, penuh keyakinan dan ketulusan, beliau berdoa: “Ya Allah, putuslah rezekiku dari harta benda penduduk Hirat. Zuhudkanlah mereka semua terhadapku.” Sebuah doa yang kelihatannya tergolong “ngeri”, tapi diungkapkan dengan penuh nikmat dan percaya diri.
Setelah terkabulnya doa itu, beliau betul-betul kelaparan. Lalu beliau berangkat ke pasar. Di sana, beliau mendengar orang-orang berbincang tentang dirinya: “Laki-laki itu setiap malam menginfakkan uangnya dengan jumlah berdirham-dirham,” kata seseorang di antara mereka. Reputasi kemurahan hatinya berarti telah “direalisasikan” oleh Allah Ta’ala.
Laku tirakat spiritual beliau sungguh sangat berat. Setidaknya kalau diterapkan oleh saya pribadi. Bayangkan, beliau lebih memilih kefakiran ketimbang kaya, lebih memilih lapar ketimbang kenyang, lebih memilih rendah ketimbang tinggi, lebih memilih “hina” ketimbang “mulia”, lebih memilih tawadhu ketimbang sombong, lebih memilih sedih ketimbang gembira, dan lebih memilih mati ketimbang hidup.
Betapa sangat tidak mudah untuk menapaktilasi sekian laku rohani beliau secara konkret, utamanya untuk generasi zaman ini yang cenderung mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara “minimalis”, bahkan malah cenderung lebih mengedepankan gairah nafsu ketimbang kesungguhan dan keikhlasan di dalam menempuh suluk.
Akan tetapi ketika ditempuh dengan kesabaran dan penuh ketulusan, dengan pertolongan hadiratNya, maka siapa pun akan dengan mudah menekuni berbagai laku rohani yang semula dipandang impossible untuk bisa dilaksanakan. Bahkan pada saatnya nanti, segala yang dirasa getir itu bisa berubah menjadi bagian dan rangkaian “hari raya” yang sedemikian menyenangkan.
Karena itu, jangan dibayangkan bahwa apa yang telah diamalkan dan ditekuni oleh Syaikh Ibrahim itu adalah tumpukan buah maja yang rasanya memang dapat dipastikan pahit. Di lidah rohani beliau, yang dialami dan dirasakan justru malah sebaliknya. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025
- Syaikh Abu al-Husin as-Sarki - 27 December 2024