Beliau adalah Ibrahim bin Ahmad al-Muwallad ash-Shufi ar-Raqi Abu Ishaq. Beliau termasuk salah seorang sufi agung di ar-Raqqah, Suriah. Beliau bersahabat, di antaranya, dengan Syaikh Abu ‘Abdillah bin al-Jala’ dan Syaikh Ibrahim al-Qashshar. Beliau wafat pada tahun 342 Hijriah.
Setelah wafatnya, beliau datang dalam mimpi Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali bin Ahmad. “Tolong beri aku wasiat,” pinta saudaranya itu. “Hendaknya engkau bersikap serba minimalis dan merasa hina hingga akhirnya engkau berjumpa Tuhanmu,” ungkapnya dengan tandas. Sebuah jawaban yang menggiringnya untuk senantiasa berhati-hati di dalam kehidupan ini.
Beliau berkisah bahwa di awal mula menempuh perjalanan rohani, beliau memiliki niat yang sangat kuat untuk sowan kepada Syaikh Muslim al-Maghribi. Setelah jarak yang membentang di depannya diterobos, beliau akhirnya sampai di masjid Syaikh Muslim biasa melaksanakan shalat fardhu bersama orang-orang.
Beliau menjadi imam ketika shalat bersama mereka. Syaikh Ibrahim ar-Raqi mengambil posisi sebagai makmum. Ketika membaca surat al-Fatihah, Syaikh Muslim banyak sekali melakukan kesalahan. Syaikh Ibrahim menanggapi dengan penuh gerutu di dalam benaknya: “Ya ampun. Sudah kusia-siakan aku ke sini.”
Perjalanan dari rumahnya ke rumah Syaikh Muslim cukup jauh. Dan karena tidak memiliki keberanian untuk pulang, akhirnya Syaikh Ibrahim menginap di situ. Fajar shiddiq menyingsing. Beliau keluar menuju Sungai Eufrat untuk bersuci. Di tengah jalan, beliau melihat harimau yang sedang tidur. Beliau takut. Lalu pulang.
Kemudian datang harimau yang lain lagi. Beliau betul-betul lemah dan takut. Syaikh Muslim, entah dari mana, tiba-tiba datang. Setelah melihat beliau, harimau-harimau itu sangat hormat kepada beliau. Masing-masing harimau itu ditarik telinganya oleh Syaikh Muslim. Beliau bilang kepada harimau-harimau itu: “Bukankah sudah kubilang, jangan ganggu tamu-tamuku.”
Kepada Syaikh Ibrahim ar-Raqi, Syaikh Muslim bilang: “Engkau selalu sibuk dengan dimensi lahiriah karena takut kepada makhluk. Sementara aku senantiasa sibuk memperbaiki dimensi batin sehingga makhluk-makhluk takut kepadaku.” Sebuah jawaban yang kontras antara spiritualitas Syaikh Muslim yang gagah dengan spiritualitas Syaikh Ibrahim yang bangkrut.
Dari kondisi spiritual yang compang-camping dan tidak keruan itu beliau bangkit dengan stamina rohani yang lebih kukuh daripada sebelumnya. Beliau merasa haqqul yaqin bahwa langkah-langkah spiritual ke depan mesti lebih ditekankan kepada dimensi-dimensi batin daripada mengurusi berbagai dimensi lahiriah belaka.
Perjumpaan dengan Syaikh Muslim itu tentu saja merupakan berkah tersendiri bagi Syaikh Ibrahim walaupun pertamanya sudah dapat dipastikan sangat tidak mengenakkan. Demikianlah yang sering terjadi di dalam kehidupan ini: Allah Ta’ala selalu memberikan karunia lewat sebuah pintu yang tidak dinyana dan sering kali menyakitkan.
Kelak di kemudian hari, ketika Syaikh Ibrahim sudah sepenuhnya menikmati Allah Ta’ala dengan penuh kepatuhan, dengan tegas beliau mengatakan bahwa hakikat kefakiran adalah hendaknya seseorang tidak merasa memiliki apa pun selain hadiratNya semata. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Husin al-Harawi - 17 January 2025
- Syaikh Ahmad Nassaj al-Khaisy - 10 January 2025
- Syaikh Muhammad as-Sakhiri - 3 January 2025