Beliau berasal dari Tripoli. Segenerasi dengan Syaikh Muzhaffar al-Kirmansyahi. Keduanya pernah menempuh perjalanan bersama menuju ke Mekkah ketika hendak melaksanakan ibadah haji. Beliau wafat sebelum Syaikh Muzhaffar al-Kirmansyahi. Tapi saya tidak menemukan data, tahun berapa dan di mana beliau wafat.
Tentang spiritualitas dan moralitasnya, Syaikh ‘Abdullah al-Maghribi pernah memberikan testimoni: “Tidaklah saya melihat seorang pun dari kalangan para pemuda yang lebih baik daripada Zahrun.”
Syaikh ‘Abdullah al-Anshari al-Harawi yang juga dikenal dengan sebutan Syaikh al-Islam pernah menuturkan bahwa pada suatu hari Syaikh Zahrun al-Maghribi pergi bersama teman-temannya untuk menyegarkan pikiran dan mencari hiburan. Beliau lalu menyenandungkan dua bait berikut ini dengan penghayatan yang sangat mendalam dan menggetarkan:
“Cahaya kilat telah melenyapkan kantukku. Ia senantiasa berkilauan bagiku dari Lembah Thuwa.
Sebuah rumah yang disinggahi oleh Salma adalah rumah dengan halaman yang sangat baik dan dihiasi kefanaan.”
Setelah membacakan syair dengan dua bait itu berulang-ulang, beliau merasa linglung dan terhuyung-huyung, penuh dengan gelegak cinta dan kerinduan kepada Allah Ta’ala. Beliau menjerit sejadi-jadinya. Sambil menempuh jalan pulang, beliau berteriak: “Aku bebas, aku merdeka.”
Apa yang kita dapatkan dari kisah dan syair tersebut? Pertama, dalam konteks spiritualitas, bepergian ke mana pun bisa membuka peluang bagi seseorang untuk mengalami getar-getar rohani. Pandangannya yang tertuju kepada berbagai panorama dan suasana yang baru bisa membuka hatinya lebar-lebar untuk merasakan ketakjuban terhadap Sang Pelukis yang bertahta di balik semua itu. Dan karena Dia tak terhingga, maka panorama-panorama itu juga mengandung makna-makna rohani yang juga berlapis-lapis, sampai bagian paling dalamnya yang tidak akan pernah sepenuhnya terjangkau bahkan oleh potensi orang yang paling genius sekalipun.
Mungkin lantaran itulah, Nabi ‘Isa putra Maryam yang senantiasa bepergian itu dengan tegas bersabda: “Bepergianlah kalian untuk mendapatkan derajat yang tinggi.”
Kedua, syair yang diresapi dengan mendalam dan dibaca berulang-ulang bisa tidak saja menggetarkan hati seseorang yang membacanya, tapi juga bisa menjadikannya mengalami ketercerahan demi ketercerahan rohani yang sangat mengagumkan sebagaimana yang dialami oleh Syaikh Zahrun al-Maghribi.
Apalagi syair itu bukan hanya merupakan untaian-untaian kalimat kosong, tapi murni memancar dari pengalaman-pengalaman spiritual yang berdebar-debar karena terpanggang oleh api cinta dan bara kerinduan ilahiat seorang salik terhadap Sang Pecinta sekaligus Sang Kekasih yang tidak lain adalah Tuhan semesta alam.
Cahaya kilat adalah lambang penerimaan yang datang dari hadiratNya. Sedang Lembah Thuwa merupakan simbol ketauhidan yang paling runcing di mana Nabi Musa diperintahkan untuk membebaskan diri dari kebersandaran terhadap dunia ini dan akhirat nanti dengan adanya perintah untuk mencopot kedua terompahnya.
Itulah singgasana rohani yang begitu luas, begitu bersih, begitu indah, dan begitu wangi yang disimbolkan dengan rumah yang sedang dihuni oleh si dara jelita bernama Salma. Sungguh sangat menyenangkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu ‘Abdillah ad-Dinuri - 8 November 2024
- Syaikh Abu ‘Abdillah at-Turughbadzi - 1 November 2024
- Syaikh Abu Muhammad ar-Rasibi - 25 October 2024