Saya betul-betul kerepotan untuk mengetahui lebih banyak tentang seorang sufi yang namanya tertulis sebagai judul di atas. Yang tertera pada referensi yang saya miliki, salah satunya yang paling pokok adalah kitab Nafahat al-Unsi min Hadharat al-Qudsi karya Mulla’Abdurahman al-Jami, hanyalah menyebutkan bahwa beliau merupakan seorang sufi agung dari Propinsi Hamadan, Iran, yang bersahabat dengan Syaikh Junaid al-Baghdadi.
Memang, di antara para sufi ada yang terkenal dengan berbagai keterangan biografinya yang melimpah-ruah di berbagai kitab. Sehingga rangkaian kisah hidupnya menjadi lengkap dari mulai di mana dan kapan dilahirkan, corak rohani dan amaliahnya, berbagai karya dan karamahnya, hingga di mana dan kapan wafatnya. Akan tetapi, ada juga di antara para sufi yang sangat minim keterangan mengenai biografi mereka. Bahkan, berkaitan dengan keterangan tentang kapan lahir dan wafatnya juga tidak bisa dilacak sebagaimana sufi yang sedikit saya ulas ini.
Namun, walaupun sufi dalam tulisan ini “miskin” biografi, saya tetap tertarik untuk sedikit mengulasnya. Di antara kisah mengenai beliau yang membuat saya tertarik adalah penuturan Syaikh Kahmas al-Hamadani, seorang sufi yang juga berasal dari satu provinsi dengan beliau, sebagaimana berikut ini: “Pada suatu hari, aku berada di Masjid Agung. Aku melihat Syaikh Ziyad duduk di mihrab masjid sembari berdoa memohon hujan. Sebelum doanya rampung, hujan langsung turun dengan deras sehingga aku kesulitan untuk pulang ke rumah.”
Apa yang kita bayangkan di balik peristiwa yang dituturkan di dalam kisah itu? Saya sendiri membayangkan tentang ketangkasan sebuah doa yang sedemikian cepatnya melesat menuju kepada asal-usulnya yang tidak lain adalah Tuhan semesta alam. Jauh lebih cepat dibandingkan dengan gerakan benda apa pun yang tercepat. Bahkan juga jauh lebih cepat ketimbang kilat yang menyambar dan lesatan cahaya.
Setiap orang, kemungkinan besar, ingin memiliki doa yang sakti dan ampuh sebagaimana doa Syaikh Ziyad al-Hamadani tersebut. Mereka, termasuk kita juga, bisa membayangkan bahwa dengan kesaktian doa seperti itu akan mendapatkan apa pun yang diinginkan, dan dengan demikian, hidup akan menjadi sangat menyenangkan, akan senantiasa membawa mereka kepada gugus-gugus impian dan idaman.
Ketahuilah bahwa sesungguhnya doa yang ampuh dan sakti seperti itu sepenuhnya meluncur dari hati yang suci dan steril dari segala kekeruhan nafsu, suci dan steril dari segala kotornya kemaksiatan, suci dan steril dari timbunan kelalaian yang menjadikan siapa pun semakin “berjarak” dan jauh dari Allah Ta’ala, semakin tidak tergetar bahkan oleh hamparan kemahaanNya yang tidak bertepi.
Maka, tidak boleh tidak, semua hal yang menjadikan seseorang tidak “sinkron” dengan hadiratNya itu mesti diatasi dan dibereskan terlebih dahulu. Yaitu, dengan adanya ikhtiar yang penuh dengan ketulusan dan kesungguhan di dalam mengusir segala yang nista dan sia-sia secara rohani itu. Bahkan menyapu segala hasrat kepada segala sesuatu yang selain Allah Ta’ala.
Secara tidak langsung, berguru kepada Syaikh Ziyad al-Hamadani dalam konteks ketajaman doa adalah mengikuti mengikuti gemuruh spiritualitas beliau yang membentang sepanjang hidupnya, adalah mengikuti tapak-tapak rohaninya yang telah “mengantarkan” beliau pada kedudukan spiritual yang ditandai dengan kesucian batin.
Orang suci seperti Syaikh Ziyad al-Hamadani adalah seorang asketis dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya adalah bahwa beliau, dengan karunia dan pertolongan hadiratNya, telah sanggup memenangkan pertarungan di dalam menghadapi segala sesuatu yang disebut sebagai yang lain. Termasuk juga mengalahkan segala renik keakuan yang sangat halus dan lembut di dalam dirinya sendiri.
Sehingga di puncak gunung rohaninya itu beliau tidak lain adalah realitas dari bayang-bayang Allah Ta’ala yang sempurna. Dengan demikian, doa beliau kepada hadiratNya, meminjam istilah Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273), laksana doa Allah terhadap diriNya sendiri yang tidak mungkin untuk tidak dikabulkan. Wallahu a’lamu bish-shawab.
- Syaikh Abu al-Hasan al-Hamadzani - 13 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #3 - 6 December 2024
- Syaikh Abu al-Husin as-Sirwani ash-Shaghir #2 - 29 November 2024
Nadwa Dwi Nurcahyo
Mas,mau nanya,cara ngirim tulisan yang bertema tajali itu seperti apa ya? Soalnya di peraturan basabasi tidak ada tema tajali mas
Admin
itu kolom khusus, mas.