
Kau tahu, tak peduli seberapa besar kekuatan dan kekuasaan yang kaumiliki, di hadapan seseorang yang kaucintai, kau akan senantiasi menjadi makhluk lemah tak berdaya, yang akan selalu tunduk-takluk.
Turun dari mobil, perempuan itu menerobos barisan orang-orang yang menunggu giliran berobat dan sekonyong-konyong bersimpuh mencium kaki Zaman. “Kumohon, obati suamiku. Kaulah harapanku sekarang. Kami sudah ke berobat ke mana-mana, dan kau bisa lihat sendiri nanti, badannya kian lemah!”
Jika permintaan penuh nada iba itu datang dari orang lain, Zaman tentu akan tetap menegakkan kepala penuh wibawa, memberikan kata-kata penenang, dan meminta yang bersangkutan untuk bersabar menunggu. Namun, perempuan yang datang itu adalah Marlina, bunga yang pernah begitu semerbak di hati Zaman.
“Aku tahu, kau marah kepada kami. Dan, mungkin kalau bukan dengan cara seperti ini, kau tentu tak akan mengizinkanku masuk ke rumahmu.” Marlina mengangkat kepala, mengatupkan kedua telapak tangannya, bahunya bergetar menahan tangis. Ia jelas ingin mencari iba di mata Zaman. “Kususun jariku yang sepuluh, sebelas dengan kepalaku, carikanlah obat untuk suamiku ….”
Perempuan itu tahu belaka, meski dendam kesumat terus melumat, bara cinta di dada Zaman senantiasa membara kepadanya. Lagi pula, Zaman tentu tak akan sanggup berlama-lama menahan tatapan penuh tanya dari para pasien yang telah memenuhi rumahnya.
“Bawalah suamimu ke sini.” Bergetar suara Zaman ketika mengucapkan kata-kata itu.
***
Awalnya Lisuik, temannya sesama bujang lapuk, yang menyarankan Zaman untuk membuka praktik urut dan pengobatan tradisional. Waktu itu, Zaman hanya menanggapinya sepintas lalu karena menganggap Lisuik hanya berbasa-basi setelah ia memijat laki-laki kerempeng itu.
Lisuik yang sejak kecil sakit-sakitan memang sering mengeluhkan bermacam hal tentang badannya, terutama ketika malam merangkak pagi. Mulanya Zaman membiarkan saja laki-laki itu meringis di pojok surau sambil memegang pinggangnya. Karena ia tahu, sebagaimana yang sudah-sudah, tak lama kemudian Lisuik akan tertidur pulas seakan tak terjadi apa-apa dengannya. Pun, saat Zaman bergabung menjadi penghuni rutin surau ini, Lisuik sudah memberikan semacam maklumat bahwa demikianlah badannya bereaksi saat pergantian hari.
Namun, suatu ketika, Lisuik tak lagi meringis. Ia melolong-lolong meminta tolong. Pemuda-pemuda tanggung yang memang masih belum tidur saat itu langsung membangunkan Zaman, sebagai orang yang paling tua di antara mereka, meminta bantuan.
Dibantu pemuda-pemuda itu, Zaman bersusah-payah memegang kedua tangan Lisuik yang terus menerus memukul pinggangnya sekuat tenaga sambil melolong. Entah apa yang menggerakkan tangannya, Zaman kemudian menekankan ibu jarinya di satu titik di pinggang Lisuik, mengurutnya beberapa kali, dan tanpa diduga, seketika laki-laki itu pun berhenti melolong. Kini, tinggal erangan kecil yang keluar dari mulut Lisuik. Dan, sebagaimana tangannya tadi, kaki Zaman pun bergegas melangkah ke luar surau, seolah digerakkan oleh suatu kekuatan tak kasat mata. Ia rengkuh dahan sungkai, meruntih beberapa helai daun. Di halaman surau, ia tumbuk daun-daun sungkai itu hingga lumat. Setengah bagian ia balurkan ke pinggang Lisuik, dan sisanya ia campurkan ke dalam air putih, yang kemudian ia sorongkan ke mulut temannya yang malang.
Tidak hanya dini hari itu saja, pada hari-hari berikutnya, Lisuik mengaku sudah bebas merdeka dari penyakit yang selama ini menderanya.
“Jangan kau peram saja ilmu yang kau punya! Bahkan, Angah Liman yang katanya paling sakti sekalipun tak bisa mengobatiku hanya dengan sekali urut!” Demikian Lisuik memberi pujian.
“Ah, itu hanya kebetulan! Tak perlu kau besar-besarkan.”
Lisuik geram. “Menangis mendiang Siti Mowi mendengar jawabanmu!”
Entah demi mendengar nama perempuan itu atau memang mimpi buruk karena kurang tidur belaka, pagi itu Zaman bermimpi bertemu Siti Mowi. Menopang tubuhnya dengan tongkat, perempuan itu datang menemui Zaman dengan mata semerah darah. Tanpa berkata sepatah pun, ia melemparkan tongkatnya yang tiba-tiba berubah wujud menjadi seekor ular hitam bermata merah ke arah Zaman. Belum sempat ia menyadari apa yang tengah terjadi, ular hitam itu ternyata sudah melilit leher Zaman, menjulur-julurkan lidahnya, siap mematuknya dengan bengis.
Dan memang, ular hitam bermata merah itu mematuk mukanya berkali-kali tanpa ampun. Begitu terbangun, ia seolah masih mendengar suara pekikannya, yang ia yakin melebihi lolongan kesakitan Lisuik. Untung saja, Lisuik dan pemuda-pemuda tanggung penghuni surau sudah tidak ada di sana.
Sebagaimana Lisuik, orang-orang kampung tentu tak akan menyangsikan bahwa Zaman memiliki keahlian dalam mengurut dan meramu obat-obatan. Memang sudah seharusnya demikian. Ke mana lagi kemampuan Siti Mowi diturunkan kalau bukan ke anak-cucunya?
Siti Mowi. Tak sekali dua Zaman mendengar cerita tentang neneknya itu dari orang-orang. Perempuan itu tak hanya dikenal sebagai tukang urut dan peramu obat, tetapi juga sebagai pawang ular. Di pohon beringin di belakang rumahnya konon ular berbagai jenis dan ukuran bersarang tanpa sedikit pun berani berbuat macam-macam kepada perempuan itu. Siti Mowi mengenal ular-ular itu seperti halnya ia mengenal tubuhnya sendiri. Bahkan, orang-orang percaya, ular-ular itulah yang menuntun Siti Mowi mencari obat-obatan di hutan.
“Sesaat sebelum kau beranjak dan pergi mencari daun dini hari itu, aku dan pemuda-pemuda di surau melihat dengan mata kepala kami sendiri seekor ular hitam menyelinap keluar di celah jendela. Jelas, Siti Mowi telah memilihmu!” Di lain kesempatan, Lisuik mendedahkan cerita itu kepadanya.
Tak ingin mimpi buruk kembali menimpanya, Zaman tak sedikit pun mendebat Lisuik.
Memang, kalau ia ingat-ingat, tak seorang pun anak Siti Mowi mewarisi kepandaian neneknya itu. Salah seorang pamannya yang dulu dianggap mampu menjinakkan ular, toh pada akhirnya tak bisa berbuat apa-apa setelah dua jari tangannya harus diamputasi karena membusuk akibat gigitan ular tiong yang coba ia tangkap.
“Mulai besok, kau harus siap menerima orang-orang datang meminta bantuanmu. Aku sudah menceritakan kejadian dini hari itu kepada mereka.”
Demikianlah. Dari Lisuik, cerita tentang tangan Zaman yang ahli mengurut dan meramu obat-obatan menyebar dari mulut ke mulut, dari kampung ke kampung, dari satu keluarga di desa ke keluarga lain di kota, melintasi tarikh. Hingga, rumah yang ia bangun berkat kepandaiannya itu pun dapat dipastikan akan selalu penuh dengan orang-orang yang datang untuk berobat. Bermacam-macam keluhan dan permasalahan dibawa kepadanya, mulai dari sakit perut yang tak kunjung sembuh, anak yang kelewat pemalu, suami yang mulai loyo, hingga caleg yang ingin dibukakan auranya agar dilirik calon pemilih.
Selama ini, ia selalu mampu dengan tenang dan penuh wibawa mencarikan obat atas rupa-rupa keluhan dan penyakit yang diceritakan kepadanya.
Namun, tidak demikian halnya ketika yang datang padanya adalah seorang Marlina.
Mungkin benar belaka. Di hadapan orang yang kaucintai, tak peduli seberapa besar kekuatan dan kekuasaan yang kaumiliki, kau akan senantiasa menjadi makhluk lemah tak berdaya, yang akan selalu tunduk-takluk.
***
“Tolonglah suamiku ….” Entah sudah berapa kali Marlina mengucapkan kata-kata itu, seolah tanggapan dari Zaman tempo hari masih belum membuatnya yakin.
Zaman memandang Komuk yang duduk di kursi roda. Sama sekali tak ada pancaran cahaya di wajah suami Marlina itu, seolah di mana pun ia berada selalu ada gumpalan awan gelap yang menyungkupinya. Dan, benar belaka apa yang disampaikan Marlina, badan laki-laki itu kurus sansai dimakan penyakit. Sungguh jauh berbeda dengan fotonya di spanduk dan baliho saat kampanye caleg lima tahun yang lalu. O, sungguh gagah, sungguh berminyak, kata orang-orang.
Bukankah selain kata-kata manis penuh gula, wajah klimis itulah yang dulu mengantarnya menjadi anggota DPRD? Dan, bukankah itu pula yang membuatnya bisa dengan jemawa mendatangi rumah Marlina dan meminta langsung pujaan hati Zaman itu kepada orang tuanya?
Dengan segala pesona yang ia punya dulu, siapa yang sanggup menolak Komuk? Bahkan, meski berkali-kali Marlina mengatakan bahwa ayahnyalah yang memaksa ia menerima pinangan Komuk, Zaman tahu Marlina pun sebenarnya juga jatuh hati kepada laki-laki itu.
Tapi kini, lihatlah! Apa lagi yang tersisa dari laki-laki itu selain kulit pembalut tulang dan sepasang mata dengan tatapan kosong?
“Kalau bukan karena guna-guna yang telah dikirim orang yang iri kepadanya, suamiku tentu akan kembali terpilih tahun ini,” ujar Marlina di sela sedu-sedan. “Politik itu kotor. Andai aku tahu akan seperti ini jadinya, tentu akan kusuruh ia menyerahkan jabatannya ke kader yang lain. Tapi, ya semuanya sudah terlambat, sangat terlambat.”
Marlina masih saja berbicara tentang keyakinannya terkait penyebab mala yang menimpa suaminya ketika Zaman membuka langkah menuju pintu belakang. Biasanya, jika ada pasien yang datang, Zaman hanya perlu sejenak di kebun belakang rumah, lalu akan kembali ke rumah membawa akar pohon, kulit kayu, atau dedaunan yang akan ia ramu menjadi obat. Paling jauh mungkin hanya sampai pinggir sungai Batang Tatao, tempat ia menampung sari pati air pohon kuku ambai.
Namun, tidak kali ini. Kedatangan Marlina dan suaminya telah membuat Zaman melangkah lebih jauh menyeberangi sungai Batang Tatao, menyusuri jalan setapak ke arah hulu, lalu mendaki menuju telaga di puncak Bukik Talago.
Hujan agaknya turun dengan lebat tadi malam di sana. Sekawanan babi hutan yang berkubang tak jauh dari telaga berlarian ketika menyadari kehadiran laki-laki itu.
Ini telaganya dan Marlina. Ke sinilah dulu mereka menghabiskan hari sepulang sekolah bersama sepupu-sepupu yang lain. Datuk Monti, ayah Marlina, yang tak lain adalah paman Zaman, membuka ladang gambir di pinggang Bukik Talago. Ayah Zaman dan beberapa paman yang lain bekerja di sana sebagai tukang kampo, merebus dan mencetak getah gambir menjadi bongkahan-bongkahan serupa kue sagu kering.
Bagi anak-anak seusia mereka saat itu, di mana pun selalu ada tempat bermain. Dan ke telaga di puncak bukit itulah mereka akan selalu datang bertandang, terlebih ketika pohon-pohon di hutan tengah berbuah. Mereka tak akan pernah lengah mencari buah bangan, tarab, dan cempedak yang tumbuh di hutan di sekitar telaga itu.
Dan, tentu saja, masih lekat di ingatan Zaman kejadian nahas ketika pada suatu musim cempedak, ia telah gegabah memilih titik memanjat dan menerobos segerombol perdu dengan daun bergerigi, yang dalam hitungan detik membuatnya menjerit seperti orang kesetanan.
Jilatang niru. Ia mendengar nama itu pertama kali dari ayahnya. Daunnya jauh lebih lebar dan batangnya lebih besar dibandingkan jelatang api, yang sudah ia kenali. Dan, rasa gatal yang ditimbulkan miang daun jilatang niru juga jauh lebih dahsyat. Butuh beberapa hari hingga bengkak-bengkak merah dengan rasa gatal luar biasa benar-benar hilang dari badan Zaman.
Dan, ke sanalah ia kini berjalan, ke bawah pohon cempedak tempat jilatang api itu dulu berada. Pohon-pohon yang masih tumbuh dengan rapat di puncak bukit dan telaga yang masih berair agaknya menjadi tempat berbiak yang cocok bagi perdu seperti jelatang. Lihatlah, bahkan, setelah bertahun-tahun berlalu, perdu itu masih bergerombol dengan subur di sana.
Zaman hanya perlu beberapa helai saja.
***
“Bawalah suamimu pulang, dan campurkan ramuan ini ke dalam air mandinya. Mungkin ia akan merasa sedikit gatal. Itu biasa. Demikianlah cara ramuannya bekerja. Dalam beberapa hari mudah-mudahan ia akan membaik,” ujar Zaman sambil menyerahkan botol ramuan itu kepada Marlina.
“Tidak adakah pantangan atau sesuatu yang harus—”
“Tidak,” potong Zaman. “Cukup mandikan ia tiga kali sehari dengan ramuan ini.”
Begitu Marlina dan suaminya pulang sore itu, Zaman segera menutup pintu. Pasien yang telanjur menunggu ia minta untuk datang lagi esok hari, meski ia sendiri tidak begitu yakin ketika mengucapkan kata-kata itu.
Karena ia tahu, ini adalah waktu yang tepat baginya untuk meninggalkan kampung dan mengubur segala cinta dan dendam yang tumbuh bersamanya di sana. Untuk selama-lamanya.
Dan jelas ia tak ingin lagi menjadi orang yang lemah tak berdaya. Ia tak ingin lagi tunduk-takluk di hadapan cinta.
Padangpanjang, 21 Agustus 2024
- Tangan Zaman - 7 March 2025
- Puisi Afri Meldam - 14 January 2025


PBB
Ringan, mengalir lancar. Asoyyy, wkwk
cha
menarik pengolahan katanyaa
Darma
Ketika dibaca, saya merasakan ada unsur melayu minangnya. Ternyata benar, yang buat juga orang Minang hahahaha
Santay
Bagus dan menarik menurut saya
Alip
Bagus banget
Hotma Di Hita L.Tobing
Boleh juga
Hotma Di Hita L.Tobing
Boleh juga tuh
Fateema Cholis
Bagus, nggak terasa sudah habis baca.