Tato Burung Gereja di Lengan Marbot

Laung tak tahu-menahu hukum tato menurut agama. Tak pernah pula dia terpikir mencongkel tato warna biru kelabu itu dari lengan kirinya. Dia hanya ingin tobat, balik kampung, dan menemani ibu mengurus kebun karet peninggalan ayahnya. Kenyataan bahwa Laung kemudian menjadi marbot masjid, tak masuk rencananya. Namun, setelah sebaris maklumat terpampang di tembok kamar wudu yang menghadap ke jalan raya, Laung dilalati kecemasan. Dia cemas bukan karena   dirinya bertato, tetapi karena tatonya bergambar burung gereja.

Jalan Laung menjadi marbot masjid di kampungnya tidak mudah. Dia dulu merantau ke Medan dengan meninggalkan aib. Laung dituduh mencuri perangkat pengeras suara masjid. Saksi mata telanjang, tak ada. Namun, sekawanan pemuda kampung sepulang kumpul-kumpul, mengaku berpapasan dengan Laung, tak jauh dari pekarangan masjid.

Martakuak manuk parjolo, kokok ayam pertama,” terang salah seorang pemuda menjelaskan waktu papasan—sekira pukul tiga pagi. Para pemuda bersaksi kalau Laung membawa dua tas: satu ransel di pundak, satu tas lagi ditenteng. Lain itu, tegur sapa sempat terjadi.

“Bah, kau itu, Laung?” Tegur yang satu. “Macam-macamnya kau keluar rumah dari dua jam lalu, jamnya haroroan ni panakko, waktunya pencuri keluar sarang,” sambung yang lain setengah berteriak, tetapi bernada menggoda. Gelak kawanan pemuda memecah gelap, sedang Laung berlalu ke tikungan senyap. Namun, kesenyapan tak berlangsung lama. Tatkala subuh tiba, yang berkumandang ke seantero kampung adalah suara ribut-ribut jemaah masjid, bukan lantang suara azan. Baru kali ini barang termewah di masjid digondol pencuri. Benarkah Laung, anak lajang tanggung dan putus sekolah SMA itu pelakunya?

Kesaksian Opung Tikkos—marbot masjid berusia kepala enam, mendukung tuduhan tersebut. Meski tak lagi muda, dia masih cekatan mengurus masjid sekaligus muazin andalan. Nah, Opung Tikkos hampir pasti menjadi jemaah yang pulang paling akhir, bakda Isya. Malam menjelang kejadian, dia pulang agak larut karena sempat tertidur usai bersih-bersih masjid. Saat hendak pulang, setelah memastikan lampu padam dan pintu masjid terkunci, Opung Tikkos melihat Laung rebah-rebah risau di beranda masjid. Dia tak menaruh curiga karena memang Laung tak memiliki riwayat pengacau kampung.

Keterangan ibu Laung turut membulatkan tuduhan. Sambil tersedu menanggung malu, ibu Laung mengaku jika dua hari sebelum kejadian, dia cekcok dengan Laung yang meminta bekal uang merantau. Api cekcok membesar karena janda sakit-sakitan itu menolak mengabulkan permintaan Laung.

“Sah! Laung pelakunya!” sembur Haji Somba, pengurus masjid sekaligus bendahara. Pengurus yang lain angguk-angguk kepala.

“Hanya Allah yang tahu. Tak ada saksi mata kontan. Jadi sebaiknya jauhi fitnah,” nasihat Malim Lelo, tetua sekaligus ketua pengurus masjid yang lumayan disegani, “Kas masjid masih cukup untuk mengganti yang hilang, kan, Haji?” Pertanyaan lembut Malim Lelo tersebut semacam perintah. Haji Somba tak membantah sekalipun hatinya dilepuh amarah.  

Kasus dianggap selesai meski tak mungkin dilupakan. Rutinitas di masjid kembali seperti sediakala. Di bawah pengelolaan Malim Lelo dan pengurus lain, juga berbekal dana jemaah yang terus saja mengalir, masjid tumbuh makin nyaman. Ya, sudah semestinya, terlebih masjid tersebut terletak di tepi jalan lintas Sumatera yang kerap disinggahi para pelintas. Tidak jarang jemaah masjid dimakmurkan penumpang bus antarprovinsi.

Tak heran, ada saja yang diperbaharui saban tahun. Warna cat masjid makin terang, lantai sudah dikeramik dan berambal. Di sisi kanan, sudah tegak pula menara permanen. Terakhir, di kiri masjid, kamar wudu yang semula berupa pancuran mandi dan deretan kakus bersekat semen sepinggang sudah berganti menjadi bilik-bilik tertutup, berbak, dan berpintu. Air gunung yang sebelumnya dibiarkan melimpah-ruah, sudah ditampung dengan instalasi tangki air yang diatur oleh kerja buka-tutup keran. Pekarangan masjid yang lumayan luas, setidaknya untuk parkir empat bus menjadikan masjid masih bisa berkembang. 

Laung, apa kabar? Tak ada yang peduli, selain ibunya yang masih terus merawat doa kebaikan bagi anak satu-satunya. Laung, ah, Laung. Jika masjid makin terang di kampung halaman, Laung makin kelam di perantauan. Kota Medan menyeretnya menjadi perantau yang beringas. Dia tak punya pilihan. Ikut arus atau mati mampus dibenam arus? Tubuh Laung tak banyak berubah, tapi jiwanya sebuas rubah. Namun, sebuas-buas rubah, tiba juga jiwa di padang lelah. Laung rindu ibu, sudah sepuluh lebaran tak bertemu.

Selamat tinggal Medan! Laung pulang ke kampung halaman. Sosok yang dijumpai Laung setelah bersimpuh di kaki ibunya adalah Malim Lelo. Di hadapan Malim Lelo, Laung mengaku sebagai pelaku pencurian tempo silam. Tak ada cerita yang disembunyikan Laung, termasuk kekelaman perilakunya selama di perantauan. Hanya satu hal yang disimpan Laung rapat-rapat: tato di lengan kirinya. 

Separuh kelegaan sudah ditabung Laung. Separuhnya lagi dititipkannya ke Malim Lelo melalui permohonan dibimbing ke jalan lurus, meski mustahil langsung terwujud. Buktinya, sekalipun Malim Lelo yang kini menjabat penasihat berhasil meyakinkan Haji Somba dan kawan-kawan pengurus masjid agar memaafkan Laung, tetap saja dibumbui bisik-bisik gibah. Malim Lelo pun turut tersangkut.

Apa hal? Salah satunya karena niat Laung yang hendak menyodorkan uang di hadapan sidang jemaah masjid, dihalangi Malim Lelo. Niat Laung itu semacam pertanggungjawaban atas ulahnya mencuri harta masjid satu dasawarsa lalu.

“Berikan ke ibumu saja. Dia lebih butuh,” seru Malim Lelo sebelum gerak-gerik tangan Haji Somba sampai pada posisi menadah. Haji Somba selaku ketua pengurus pengganti Malim Lelo tak menyanggah. Bagaimanapun Malim Lelo masih memiliki karisma. Namun, selepas itu, pengurus menggunjingi Malim Lelo. Macam-macam bunyi gunjingannya. Malim Lelo lembeklah, Malim Lelo terlalu membelalah. Sampai-sampai tuduhan cenderung kurang ajar pun dicetuskan: Malim Lelo mau menjadikan ibu Laung sebagai istri kedua.

Astaghfirullah. Laung tak peduli sorotan miring warga atas keberadaannya di masjid. Jika tak sedang menyiangi kebun karet yang luasnya tak genap satu rante, ya biasanya Laung berada di masjid. Ada saja yang dikerjakan Laung selain beribadah. Mulai dari bersih-bersih masjid sampai mengatur parkir kendaraan, terutama bus yang kebetulan singgah. Sindiran sok alim, seujung kuku bagi Laung. Malah dia sering senyum sendiri terhadap kebiasaannya memakai baju lengan panjang. Bukan biar kelihatan alim, tapi untuk merahasiakan tatonya. Oalah.

Sudahlah. Laung sedang menjalani hidup barunya. Perubahan perilaku Laung menyenangkan hati ibunya, jadi penawar sakit pula. Ibu Laung tak pernah tahu jika anaknya dijadikan marbot bukan karena ketulusan pengurus. Namun, karena tak ada yang betah mengurus masjid usai Opung Tikkos meninggal, dua-tiga bulan sebelum kepulangan Laung.

Begitulah, Laung betah melakoni marbot. Dengarlah, sudah belajar pula dia mengumandangkan azan meski nyaris miskin nada alias datar belaka. Tebal-tipis makhrajnya pun masih acap meleset. Ya, ketimbang tak ada yang azan, pikirnya. Suara azan tak bernada Laung sering terdengar waktu zuhur dan asar, saat warga sibuk ke sawah-ladang masing-masing. Tak sedikit warga yang menertawainya. Kaum laki-laki dewasa lebih sibuk mengolok azan Laung daripada bergegas pergi ke masjid.

Pernah suatu kali, Laung dianggap bikin onar di depan pengeras suara. “Catatan duka ada di laci mimbar,” titah seorang pengurus saat menjelang siang. Laung yang sedang menderes getah karet, tergopoh ke masjid, merogoh catatan duka di laci mimbar, lalu membacanya lantang.

“Innalillahi wa innailahirojiun…. Innalillahi wa innailahirojiun….” Laung menurutkan kebiasaan pembacaan berita duka di masjid itu—diulang setiap satu kalimat, “Telah berpulang ke rahmatullah: Lukman, telah berpulang ke rahmatullah: Lukman…” Laung tercekat. Dia pelototi data tanggal yang tercantum di kertas: data dua pekan lalu. Sialnya, di kampung itu tercatat dua warga bernama Lukman. Satu tanpa marga, satu lagi punya marga. Lukman yang tanpa marga meninggal dua pekan lalu. Namun, yang bermarga masih sehat bugar. Warga kampung yang sedang melayat di rumah duka bernama Sabirin, geger mengerubungi rumah Lukman yang bermarga. Sementara Laung berpeluh menggeledah laci mimbar: di mana lembaran kertas duka per tanggal hari ini?

Kontan Laung menjadi samsak kemarahan sekalipun bukan mutlak kesalahannya. Cerita geger terjadi karena kertas catatan duka Sabirin belum tiba di laci mimbar saat Laung sudah berdiri di depan pengeras suara. Habislah Laung kena semprot, bahkan dilabrak Lukman yang ternyata masih bernyawa.

 Laung tahu diri kalau peristiwa ini bisa-bisa mencampakkannya dari posisi marbot, terlebih kalau pengurus menemukan marbot yang bisa bekerja penuh waktu. Namun faktanya, Laung masih marbot sekalipun kerjanya sering diponten merah. Persoalan teranyar terkait kebersihan kamar wudu. Kondisi kamar wudu memburuk entah karena makin ramai jemaah, entah karena perilaku jorok warga, atau karena Laung kewalahan kerja sendiri. Namun, cakap-cakap kede kopi pengurus menjurus kepada kesimpulan: nonmuslim dilarang masuk.

Di berbagai kesempatan lempar dadu pendapat, telinga Laung hanya menangkap potongan perdebatan. Namun, pada sebuah malam bakda Isya, Laung mendengar hampir seluruh pembicaraan rapat pengurus. Dia hanya menyimak suara, tidak menyimak siapa yang bicara.

“Di kampung ini ada juga saudara kita yang tak seagama. Apa enak hati kita bikin maklumat itu?”

“Pas itu. Sejak zaman baholak dulu, aman-aman sajanya pancuran dan kakus dipakai warga kampung ini. Baik Islam maupun tidak.”

“Ini sebenarnya gara-gara segelintir warga jiran yang sering numpang lepas hajat kemari. Kebetulan mereka mayoritas tak muslim, kan?”

“Ya makanya maklumat ini untuk nonmuslim di luar kampung kita.”

“Tak bisa begitu. Musafir penumpang bus umum yang ke sini kan makin banyak. Macam-macam orangnya, pun agamanya. Kita kasih tahu saja kalau pakai kamar wudu, patuhi aturan kebersihan.”

“Iya, lagian manalah tahu kita penumpang mana yang Islam mana yang tidak. Tak kerjaan kita itu, ah.”    

 “Ah, dasar warga kampung kita juga yang ikut bikin jorok.”

“Atau bikin saja ‘dilarang masuk bagi yang tak salat’. Lebih cocok itu aku kira.”

“Alah, sama saja itu.”

“Marbot kita kurang banyak.”

“Heleh. Bukan.”

“Lantas?”

Laung tak tahu lagi kelanjutan rapat karena keburu pergi buang hajat berat dan saat kembali, rapat sudah tamat. Apa kesimpulannya? Tak sampai hitungan hari, di tembok kamar wudu yang menghadap ke jalan raya sudah terulis maklumat: nonmuslim dilarang masuk. Maklumat berwarna merah itu jelas terbaca dari jalan raya, bahkan dari jarak seratus meter sekalipun.

Seperti biasa, bisik-bisik warga riuh menanggapi maklumat tersebut. Laung tak mau ikut campur. Dia hanya ingin menunaikan tugas marbot sebaik mungkin. Ya, begitupun Laung tak menampik jika dia didera kerisauan juga, lebih-lebih kabar angin sudah berhembus menyoal marbot baru. Marbot tambahan atau pengganti, Laung tak tahu. Selain itu Laung juga seolah mendapat kode dari Melim Lelo.

“Rajin-rajin kau, Laung.”

“Siap, Malim.”

“Kuat-kuatkan iman. Kuat-kuatkan lengan,” sambung Melim Lelo sambil menepuk lengan kiri Laung.

Ser. Darah Laung tersirap. Apa Malim Lelo sudah tahu perihal tatonya? Tato burung gereja? Jangan-jangan Haji Somba dan pengurus masjid juga tahu? Apakah dia akan diusir dari masjid? Ah, Laung tetap saja mengerjakan tugas-tugas marbot yang makin banyak. Belakangan dia sering menghalau burung gereja yang agak-agaknya makin banyak berkeliaran dan hinggap di kolong kubah. Maklum, kadang kala bersebab musim tertentu, serangga bertebaran ke mana-mana, tak terkecuali ke kolong kubah. Nah, kumpulan burung gereja memburu serangga-serangga itu. Kerja Laung bertambah karena harus bolak-balik membersihkan lantai atau ambal yang kebetulan dinodai kotoran burung. Ah, kecemasan Laung timbul tenggelam. Di satu sisi, dia sibuk menyembunyikan satu burung gereja di lengannya. Di sisi lain, Laung sibuk mengusir kawanan burung gereja dari masjid.

Kendati demikian, Haji Somba dan pengurus tidak serta-merta memuji kerja rajin Laung. Sebaliknya, malah melontarkan olok-olok.

“Apa kerja si Laung itu, ha?”

“Mengusiri burung. Dipikirnya burung gereja punya agama.”

“Marbot najis!”

Medan, 2024

Hasan Al Banna
Latest posts by Hasan Al Banna (see all)

Comments

  1. hn.zz18h Reply

    Ketika Aku, Bukan Aku

    Haii, pasti d luaran sana banyak sekali orang yang mengalami hal serupa dengan ku. Dimana kadang kita terus di paksa untuk bisa memahami orang lain, dibandingkan diri sendiri. Yang ku ingat, yang ku lakukan hanya demi menjaga perasaan orang-orang di sekeliling ku. Tapi,, mengorbankan perasaan diri sendiri. Ntah ini baik atau buruk, namun untuk berhenti melakukan nya.. Sangatlah sulit. Apakah baik jika harus memendam semuanya sendirian? Menutup mulut untuk hal yang kita tidak inginkan, hanya karena mereka ingin itu? Lalu, jika sibuk terus menerus memperdulikan mereka mereka itu, lalu siapakah yang memperdulikan diri ini? Sejauh ini,, tidak ada hal yang mereka berikan seperti apa yang berikan pada mereka. Apakah pantas jika terus begitu?
    Selama ini aku hanya belajar, belajar menerima, ikhlas dan bersyukur. Menerima sesuatu yang tidak aku inginkan, ikhlas dengan apa yang sudah terjadi, dan bersyukur dengan apa yang aku dapatkan…
    “Love your self”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!