Ananta

Seekor kelinci berdiri di atas satu-satunya meja yang tersisa di kafe itu. Seluruh bulunya hitam kecuali di bagian dalam telinganya, yang lebar seperti topi pesulap, tampak ada bercak putih. Bola matanya oval seperti sebuah planet. Mulutnya tak henti-henti berkedut seakan sedang menggerutu. Aku ragu untuk duduk. Mungkin ada seseorang yang sudah memesan tempat lalu meletakkan kelincinya sebagai tanda; suatu cara yang agak mengherankan. Kuperhatikan sekitar, ramai sekali, tetapi tidak ada satu pun yang memberi perhatian pada kelinci ini.

     Aku lambaikan tangan pada kasir; seorang perempuan muda bertubuh langsing dan mengenakan kacamata, tetapi tampaknya ia tak melihatku. Sementara para pelayan kelihatan sibuk mondar-mandir mencatat dan mengantar pesanan para tamu. Aku putuskan mendatangi kasir untuk bertanya. Baru beberapa langkah, seseorang memotong jalan sehingga kami bertabrakan. Dia mengaduh. Bahunya tersenggol dada kiriku sehingga tubuhnya terdorong ke depan. Dia menengok–seorang perempuan belia. Matanya bagus tetapi bibirnya menunjukkan betapa dia marah oleh kejadian barusan. Aku hendak mengucap maaf namun dia sudah bergerak, melangkah terburu menuju kasir.

     Dari belakang aku lihat sebuah tato tercetak di tengkuknya. Dia dan si kasir nampaknya sudah saling mengenal, terlihat dari cara mereka bicara yang lebih mirip percakapan iseng ketimbang transaksi. Demi kesopanan aku harus mengantre bahkan hanya untuk sekadar bertanya soal kelinci. Tapi aku tak berniat menyela mereka. Untuk mengalihkan pikiran agar tidak diserang kejengkelan, kuperhatikan tato di tengkuk perempuan itu; alur garis sederhana yang membentuk dua bidang vertikal serupa angka delapan yang ditumbangkan. Aku ingat itu simbol ananta, bilangan tak terhingga. Mungkin dia menyukai matematika, atau mungkin juga, dalam dugaan yang agak merendahkan, tato itu tanda cintanya yang tak terhingga.

     Aku menengok kembali ke meja tadi. Kelinci itu masih di sana seolah tak bergerak. Timbul pikiran bisa jadi itu kelinci mainan, tetapi kalau melihat mulutnya yang terus bergumam dan sinar kehidupan di matanya, pikiran itu segera bisa dilenyapkan. Ketika aku berpaling ke kasir, perempuan ananta itu tak lagi ada di sana, begitu juga si kasir. Aku mendekat, sebuah kacamata tergeletak di meja. Meski aku sudah celingak-celinguk, kasir itu tak juga kelihatan. Aku menunggu, para pelayan yang hilir mudik maupun para tamu tak satu pun yang memperhatikanku. Kakiku mulai pegal, rasa jengkel merayap di kepalaku. Karena kasir tak muncul-muncul aku ambil putusan untuk duduk saja di meja tempat kelinci itu berada.

     “Halo,” kataku menyapa. Tentu saja kelinci tak menjawab, tapi ia menggerak-gerakkan telinganya seakan membalas sapaanku. Bersebelahan dengan mejaku, dalam jarak tertentu, seorang lelaki berambut cepak seperti tentara bercakap-cakap dengan seorang perempuan yang sedang mengandung. Di seberangnya, sekumpulan remaja bicara dan tertawa keras-keras seolah hanya mereka yang ada dalam ruangan. Saat itu sekonyong-konyong suara gemuruh menyebar, hujan turun dengan deras bagai binatang gaib yang keluar dari cangkang kesunyian. “Ah, sial!” umpatku, baru saja aku berpikir untuk keluar dan mencari tempat lain. Sekarang rencana itu mustahil terlaksana kecuali kalau aku bersedia basah kuyup sebab berjalan kaki di tengah hujan.     

Seorang pelayan menghampiri, tangannya sibuk menjaga dua piring besar, dua mangkuk, sepasang cangkir dan tatakannya, serta satu piring kecil, agar tetap seimbang. Semua hidangan itu diletakkan di mejaku. Aku terheran-heran. “Maaf, Nona. Saya belum memesan apa-apa,” ucapku segera. Namun pelayan itu seperti tak mendengar, dia langsung pergi setelah melakukan tugasnya. Aku hendak memanggilnya ketika kurasakan sentuhan pada pundakku.

     “Hei. Kau sudah di sini. Kapan datang?” Seorang lelaki berdiri di belakangku. Aku tak bisa menandai mukanya, sebab dia menggunakan riasan dan kostum badut. “Aih, sori mengganggu. Silakan makan dulu.”

     “Aku tidak memesan makanan ini dan sepertinya aku tidak mengenalmu. Kau salah orang,” kataku langsung. Lelaki itu tertawa seraya duduk setelah menggeser kursi di hadapanku.

     “Kalau begitu kenapa kau ada di kafe ini, di meja ini, saat ini?”

     “Apa yang aneh dengan itu? Kafe ini tempat umum, siapa pun bisa datang dan duduk di sini, selama kafe ini buka.”

     “Tentu saja. Tapi kenapa harus kau dan bukan orang lain?”

     “Apa masalahnya?”

     “Justru sama sekali bukan masalah. Bukankah tadi kau yang mempermasalahkannya?”

     Rasa jengkel yang tadi merayap di kepalaku kini menancapkan kuku-kukunya. Aku perhatikan badut di hadapanku dan berusaha memindai tampang di belakang riasannya. Dapat kupastikan aku tak mengenalnya. Aku malas berurusan dengan orang yang tak kukenal, sayangnya hujan di luar masih deras dan sulit bagiku untuk memutuskan apakah akan angkat kaki dari kafe ini atau menunggu beberapa jenak lagi.

     “Silakan, makan dulu. Aku akan menunggu.” Badut itu berkata sambil membelai kepala kelinci.

     “Sudah kubilang aku tak pernah memesan makanan ini dan aku tak mengenalmu.”

     “Yah, aku juga tak mengenalmu,” ujar si badut.

     Baiklah, rupa-rupanya badut sial ini mau cari masalah denganku. Tapi aku masih menahan diri, terlalu besar risikonya membuat keributan hanya karena masalah sepele. Kalau aku pukul dia dan dia melawan, dapat kupastikan kafe ini akan dipenuhi puing-puing perabotan dan aku pula yang harus menggantinya. Maka tanpa berucap apa-apa, aku mendorong kursi ke belakang lantas beranjak menuju pintu keluar melewati lelaki berambut cepak dan sekumpulan remaja yang terus bicara dan tertawa keras-keras. Sampai di dekat pintu, seutas suara yang tajam bagai mata panah menancap di telingaku, “Oii, Bung. Anda belum membayar!”

     Aku berbalik, pelayan yang tadi mengantar makanan ke mejaku berdiri setengah mengangkang. Semua pengunjung kafe mendadak diam dan serentak menatapku. Si badut yang masih duduk juga menatapku. Dia merentangkan tangan sehingga pakaian badutnya nampak seperti sayap burung besar.

     “Maaf, saya tak pernah memesan makanan itu. Saya bahkan belum menyentuhnya.”

     “Bagaimana? Anda duduk di meja itu, makanan diantar ke meja itu, dan Anda bilang tidak pernah memesan? Anda bahkan sudah menghabiskan separuhnya.”

     Aku melirik makanan di meja tadi, namun karena tak bisa melihat dengan jelas, aku mendekat. Hampir separuh makanan dalam dua mangkuk dan dua piring besar sudah dimakan. Rasa jengkel kini menginfeksi pikiranku, inflamasi menyebabkan pembengkakan dan pikiranku terasa berdenyut-denyut. Aku menatap si badut lalu dengan gerak cepat mencengkeram lehernya. Lelaki itu megap-megap, kakinya menekan lantai sehingga kaki depan kursi terangkat. Aku tidak peduli, badut ini sudah seperti bisul bernanah yang harus aku pecahkan. Namun sayang, dunia ini dipenuhi orang-orang baik, para pahlawan, mereka yang suka menolong. Serentak mereka ini–pelayan kafe, lelaki cepak, para remaja–menghambur ke arahku. Lelaki cepak mengalungkan lengannya yang kekar ke leherku, sebagian remaja itu berusaha melepaskan cekikanku di leher si badut, sementara pelayan kafe tidak begitu jelas melakukan apa. Kini giliranku yang megap-megap dalam cekikan lelaki cepak. Setiap kali tangan kiriku berusaha melepaskan cekikan dan tangan kananku menghantamkan siku ke perut lelaki itu, cekikannya semakin kuat. Anehnya tak ada orang yang berusaha menolongku, seolah-olah para pahlawan itu memiliki tombol-tombol pengontrol yang seketika mengubah mereka jadi sekadar penonton.

     Aku sudah nyaris pingsan ketika kurasakan cekikan di leherku perlahan melemah. Darah kembali beredar, pandangan yang semula mengabur kini terang kembali. Aku berbaring di lantai kafe dan tepat di atasku, seorang perempuan berdiri. Itu si perempuan ananta. Di belakangnya, orang-orang berkerumun menatapku seakan-akan aku adalah korban tabrak lari. Aku bertanya pada mereka, “Apa kalian akan melaporkanku?” Perempuan itu berjongkok dan menahan dadaku ketika aku hendak bangkit.

     “Tenang. Kau akan baik-baik saja,” ujarnya. Dari kerumunan, menyeruak seorang perempuan lain. Itu si kasir. Dia mendorong kursi roda. Lantas kedua perempuan itu mendudukkan aku di kursi roda dan mendorongnya melewati orang-orang ke bagian belakang kafe melalui meja kasir. Kami memasuki sebuah lorong yang terasa panjang dan berliku sampai ke sebuah ruangan yang terang benderang. Kecuali sebuah meja dan dua kursi, tak ada benda apa-apa di ruangan itu. Namun nyaris seluruh bagian ruangan dipenuhi oleh kelinci. Binatang-binatang berbulu lembut itu melompat ke sana kemari seakan-akan hendak mencari jalan keluar.

     Aku dipindah ke salah satu kursi, dan sementara perempuan ananta duduk di kursi satunya, si kasir kafe kembali membawa kursi roda keluar ruangan. Tak lama kemudian seorang pelayan masuk membawa dua piring besar, dua mangkuk, dua cangkir dan tatakannya, satu piring kecil, serta sebuah kacamata yang diletakkan begitu saja di atas meja.

     Aku sedang memperhatikan kelinci-kelinci yang terus melompat ketika perempuan ananta bertanya, “Apakah kau melihat kelinci?”

     “Iya.”

     “Itu karena kau tak memakai kacamata.”

     “Ayolah. Soal apa lagi ini?”

     “Soal kacamata.”

     “Dengar. Tadi aku mampir ke kafe ini karena tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku baru tiba di kota ini dan ingin menghabiskan waktu sebelum besok bertemu dengan pacarku. Aku bahkan tak tahu nama kafe ini. Aku masuk dan melihat satu-satunya meja yang kosong, tapi di atasnya berdiri seekor kelinci .…”

     “Tidak ada kelinci,” kata perempuan ananta memotong. “Dan aku tahu, pacarmu sedang mengandung, bukan? Sekarang pakailah kacamatamu.”

     “Ini bukan kacamataku. Aku tak pernah pakai kacamata. Dengar, aku minta maaf atas kejadian tadi. Jika kau hendak menuntutku, lakukan saja. Tapi sekarang biarkan aku pergi.”

     “Kau meninggalkan kacamatamu di meja kasir ketika kita bercakap-cakap tadi. Kau bilang seorang pengunjung yang tadi menabrakku perlu diwaspadai sebab kau melihatnya berbicara sendiri.”

     “Aku tak pernah bercakap-cakap denganmu!”

     Aku benar-benar jengkel. Rasanya ini bukan lagi infeksi, ini sudah menjadi sel kanker. Aku segera mendorong kursi ke belakang lantas beranjak menuju pintu keluar.

     “Tunggu!” seru perempuan itu. “Baiklah. Aku akan membebaskanmu dari semua tuntutan dan kau boleh pergi. Tapi lakukan satu hal untukku. Kau tak menyantap makanan yang sudah kuhidangkan, sekarang bawa makanan ini keluar dan berikan pada seorang pengunjung yang duduk sendirian dan belum memesan.”

     Karena tak mau lagi dipusingkan oleh segala sesuatu, aku ambil semua hidangan di meja dan dengan susah payah menjaganya tetap seimbang. Sebelum aku berjalan keluar, perempuan itu memasangkan kacamata di wajahku. Aku tak terlalu peduli, aku hanya ingin ini semua cepat selesai. Aku tak mau lagi berpikir meski merasa aneh bahwa pintu ruangan itu langsung tembus ke ruangan kafe di mana para pengunjung ramai berkumpul.

     Aku lihat seorang lelaki duduk sendirian, di mejanya tak ada hidangan apa-apa. Lelaki itu menatap meja seakan-akan ada sesuatu di sana. Aku bergegas ke arahnya seraya menjaga hidangan yang aku bawa tetap seimbang. Kuletakkan semua hidangan itu di atas meja kosong. Lelaki itu tampak heran dan berkata, “Maaf, Bung. Saya belum memesan apa-apa.” Tapi aku tak peduli, aku segera berjalan menuju meja kasir. Baru beberapa langkah, seseorang memotong jalan sehingga kami bertabrakan. Aku mengaduh. Bahuku tersenggol dada kirinya sehingga tubuhku terdorong ke depan. Aku menengok. Tampaknya dia hendak mengucap maaf namun aku sudah kembali bergerak, melangkah terburu menuju kasir.

     Sampai di meja kasir aku katakan kalau urusanku sudah selesai. Kacamata kulepas dan kuletakkan begitu saja di atas meja. Saat itu sekonyong-konyong suara gemuruh menyebar. Hujan tumpah bagai jutaan kelinci yang keluar dari lubang kesunyian.

     “Ah, sial!” umpatku.***

Mataram, 2021

Kiki Sulistyo
Latest posts by Kiki Sulistyo (see all)

Comments

  1. onny chan Reply

    Permisi Min. Maaf saya mau tanya, jika ingin mengirim cerpen disini, apakah harus penulis profesional?

    Terina kasih

    • Danwik Reply

      Nah, karena kalo dilihat-lihat memang begitu semua yang lulus seleksi….

  2. Juperi Reply

    ini cerita yang luar biasa, hebat!

  3. Sheel Reply

    Wowww….

    Cerita yang unik dan luar biasa. Baru kali ini Nemu cerita kek gini.. kereeenn

  4. Emh Reply

    Haha nyebelin

  5. Danwik Reply

    Ceritanya keren abis, tapi sayang otak enggak nemu intisarinya… 🤣🤣🤣

    • Annisa A Reply

      sama wkwk, saya nunggu komentar-komentar bermunculan untuk menerangkan inti ceritanya

      • Rml Reply

        Ini semacam eksperimen imajinasi. Pencerita di dalam cerita sedang menceritakan tokoh cerita yang pada akhirnya ternyata adalah dirinya sendiri. Ini memang terbilang unik. Tetapi secara pribadi, saya tidak merasakan kesan apa-apa selain merasa “dipermainkan” dengan rancangan alur. Tidak ada kandungan konflik yang menarik. Alih-alih menghibur, malah terasa ruwet dan membingungkan.

        • Annisa A Reply

          “eksperimen imajinasi”, unik juga

  6. S Reply

    what?? ……aku tidak pernah berfikir kalau yang seperti ini bisa di buat menarik

    • Keken Reply

      Keren ceritanya… Gak kepikiran banget yg awalnya seperti cerita membosankan eh ternyata malah membuat mata melek semelek-meleknya. Hebat banget penulisnya 👍👏 pengin muji lagi tp ntar kesannya malah ngbacot hehe. Pokoknya bagus bangettt

  7. fitman Reply

    mantap lah

  8. Langit Reply

    Ceritanya unik, ternyata itu maksud dari ananta. Tapi belum ngerti sama kelinci dalam cerita.

  9. Luluk_Budi Reply

    I just wanna said “Wow” hehe, keren abis bang ^_^

  10. Arila Kasipahu Reply

    Kata kuncinya “infinity”

  11. Firmansyah Reply

    Keren sih…. Enak baca nya sambil ngopi… Walaupun di bingungkan dengan alur cerita nya.. Tapi jujur,aku suka cerita nya.

  12. Abdul Hehe Reply

    Keren, sampai2 kopiku segelas tinggal ampas hanya untuk menemaniku membaca ini.

  13. Nisa F Reply

    Mungkin kesannya bikin pusing dan ruwet, tapi kalau ingat judulnya Ananta yang yak terhingga, intinya ya ini bakal muter-muter gitu sih. Tapi serius, ini cerpennya bagus dan wow, sederhana tapi unik 👍

  14. Garin Nanda Reply

    apa-apaan ini! Keren sekaliiii

Leave a Reply to Annisa A Cancel Reply

Your email address will not be published.

error: Content is protected !!