Saat orang-orang berkata selesai, justru segalanya baru dimulai. Orang-orang menganggap kematian akan mengakhiri sebuah kehidupan. Bila hidup bahagia maka kematian menjadi akhir yang menyesakkan, tapi bila hidup menderita maka kematian menjadi pamungkas yang melegakan. Tapi, ini semua tak berlaku bagiku. Kematian jasad manusiaku adalah awal dari kehidupanku sebagai anjing. Ya, aku moksa sebagai anjing pelacak.
Di lembar kehidupan baru ini, aku terlahir sebagai anjing berjenis doberman pinscher dengan bulu hitam kecokelatan. Selain bentuk fisik yang kokoh, karunia terbesar dalam hidupku adalah indra penciuman yang sangat tajam. Endusanku akurat dalam radius yang cukup jauh. Aku dapat memilah bau yang telah tertimbun berhari-hari. Konsentrasiku sangat tinggi terhadap suatu aroma.
Begitulah, aku merasa lebih berguna saat ini dibanding kehidupanku dulu sebagai lelaki papa dari sebuah negeri kaya. Dengan menjadi anjing pelacak, aku dapat mengurai jejak kejahatan yang berusaha dihapus manusia. Terkadang, aku membantu menemukan kebenaran yang sulit diterima akal sehat.
Aku dipiara oleh seorang tuan berwajah murung. Tuanku ini adalah orang penting di Dinas Intelijen Negara. Meski tergolong orang penting, beliau tidak begitu dikenal publik. Sosoknya tak terdeteksi media massa. Beliau menyimpan berbagai rahasia vital dari orang-orang penting pemangku kekuasaan di negeri ini. Dan karena pengetahuan berharga inilah, beliau sebenarnya ikut mengatur jalannya pemerintahan negara dari balik layar. Rahasia-rahasia penting itu digunakan beliau beserta kolega-koleganya sebagai senjata untuk menekan pihak-pihak pengambil keputusan agar membuat kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka.
Beliau memperlakukanku dengan penuh kasih sayang. Segala kebutuhanku dicukupinya. Makananku adalah suplemen pilihan dengan asupan gizi yang terjaga dan terencana. Bahkan, untuk urusan buang kotoranku pun, beliau menggaji dua orang untuk mengurusinya.
Setiap hari aku diajak berkeliling kompleks perumahan, baik oleh beliau maupun asistennya. Kegiatan jalan-jalan santai ini berguna untuk melemaskan kakiku dan menyegarkan pandanganku. Sebisa mungkin aku dihindarkan dari kejenuhan karena terlalu banyak menghabiskan waktu di teralis baja. Menurut dokter hewan, kejenuhan akan menjadikanku lebih buas dan bisa menyerang siapa saja tanpa sebab yang jelas.
Tentu semua perlakuan istimewa ini ada sebabnya. Aku adalah salah satu anjing pelacak terbaik di negeri ini. Aku memiliki indra penciuman yang lebih tajam dibanding kebanyakan anjing pelacak milik kepolisian. Tetapi, aku hanya ditugaskan untuk mengendus kematian mencurigakan orang-orang penting di negara ini.
Suatu ketika pernah ada seorang menteri yang terbunuh di hotel berbintang. Ia terbunuh di sela-sela rapat penting dengan tingkat kerahasiaan tinggi. Karena kadar rahasia yang sangat genting bila sampai bocor, maka dibentuklah tim khusus untuk mengungkap kematian ini. Dan, tuankulah yang ditunjuk sebagai kepala dari tim rahasia ini. Dengan serta-merta pula, aku jadi bagian dari tim. Aku difokuskan untuk mengakrabi bau tubuh asing yang tertinggal di sekitar mayat. Tak butuh waktu lama, fakta segera terungkap. Skandal murahan terkuak. Ternyata menteri itu dibunuh pelacur yang disewanya di jeda rapat rahasia. Bau tubuh dan aroma parfum pelacur yang kasar dan menyengat memudahkanku menemukannya. Ceceran darah masih melekat di payung yang digunakan pelacur itu untuk memukuli kepala menteri dengan bertubi-tubi hingga mati.
Kami menemukannya sekitar tiga jam setelah kejadian dan tentu saja aku adalah pahlawan utama dalam pemecahan kasus ini. Dari bibir pelacur itu, terlontar pembelaan yang mengejutkan. Ternyata pembunuhan itu adalah bentuk perlawanannya terhadap kesadisan seksual yang hendak ditimpakan oleh si menteri kepadanya. Dan benar, setelah digeledah, di tas menteri itu ditemukan perlengkapan seks menyimpang seperti tali, pisau, cambuk kecil, dan bola penyumpal mulut. Hasil investigasi ini disampaikan kepada presiden yang hanya bisa geleng kepala karena malu. Lalu presiden berkata, “Bereskan semuanya.” Dan, tim dengan cekatan membereskannya. Pihak hotel dibungkam. Pelacur dieksekusi mati tanpa sidang di tempat lengang di pinggir kota. Dan, di media massa akan muncul berita bahwa menteri itu meninggal tiba-tiba karena serangan jantung mendadak.
Kasus terselesaikan dengan tuntas. Aku dapat pulang dan menikmati kehidupan nyaman di kandang. Beginilah kehidupan keduaku berlangsung. Segalanya berjalan menyenangkan. Hanya dengan modal indra penciuman yang kuperoleh secara cuma-cuma sejak lahir, segala kemewahan kudapat. Tidak seperti ketika menjadi manusia yang perlu bersusah payah untuk bahagia, pada kehidupan kedua ini segalanya mudah.
***
Tak ada yang lebih terkutuk dibanding menjalani hidup sebagai anjing. Itulah kepercayaan yang kuamini setelah menjalani delapan tahun hidup sebagai anjing peking. Sepanjang hidup yang celaka. Kuhabiskan seluruh waktuku untuk mengibaskan ekor, memekarkan bulu, dan merawat diri di salon anjing. Segala atribut mulia keanjingan yang tersemat padaku mulai dari salah satu ras anjing tertua di dunia hingga lambang penyebaran agama Buddha dari Tibet ke Tiongkok, yang merupakan daerah asal Dinasti Tang leluhurku, tak mampu mengentaskanku dari kesedihan. Aku menjalani kebahagiaan semu, tanpa cinta, tanpa berkelamin dengan anjing betina. Aku telah dikebiri. Nafsu seksualku dihabisi dan hidupku telah diarahkan sebagai hiasan dan hiburan.
Aku adalah langganan juara kontes kecantikan anjing. Meski aku jantan, tapi kuku-ku bercat ungu, kepalaku berpita, dan leherku berkalung merah jambu. Sebuah kombinasi warna ajaib dengan buluku yang bersemu abu-abu. Jadilah aku anjing jantan yang kemayu. Foto diriku yang menyedihkan tapi dianggap orang-orang memesona sering dijadikan sampul majalah hewan piaraan. Aku begitu dipuja oleh sekelompok manusia. Aku dikasihi tuanku hampir setara dengan anak istrinya. Bahkan, aku tak diizinkan sering-sering berjalan dengan kakiku sendiri. Aku punya kereta khusus yang ditarik manusia dengan kehati-hatian yang menakjubkan. Aku kadang bersepatu yang harganya jauh lebih mahal daripada kebanyakan sepatu manusia.
Tapi tetap saja, jika dapat memilih, aku akan berhenti menjadi anjing peking dan menjadi manusia, meski manusia yang miskin harta. Maka kujelang kematianku sebagai anjing yang lucu dengan segumpal doa agar diberi kesempatan menjadi manusia.
Dan, Yang Mahabaik dan Maha Luar Biasa mengabulkan doaku. Aku terlahir kembali sebagai manusia. Meski tampangku pemurung, aku bahagia. Aku terlahir sebagai manusia yang cerdas, berbakat, dan enggan mencuri perhatian. Segala jenis pendidikan kulahap dengan kunyahan ringan. Jalanku terasa begitu lapang untuk memasuki karier yang kuinginkan yakni mengabdikan diri di Dinas Intelijen Negara. Seperti begitu akrab dengan nasib baik, promosi demi promosi kuperoleh dengan mudah. Jenjang karierku melesat dalam waktu singkat.
Sebenarnya karierku ini juga banyak terbantu oleh anjing doberman yang kupiara. Aku memperolehnya saat pelatihan di Jerman dan tak menyangka jika anjing itu memiliki indra penciuman yang demikian hebat dan langka. Justru dari seorang kawan aku mendapat informasi ini. Anjing itu bisa diarahkan menjadi anjing pelacak dan aku mulai melatihnya sendiri. Ketekunanku berbuah manis, anjing itu menjadi anjing pelacak terhebat di negeri ini.
Aku begitu mencintai anjing itu dan ketika karena kemampuannya, negara memintanya sebagai aset, dengan segala upaya aku menolaknya. Penolakanku berhasil dengan sebuah kesepakatan bahwa anjing itu tetap harus dilibatkan tetapi hanya untuk memecahkan kasus-kasus khusus dengan tingkat kerahasiaan yang tinggi.
Jadilah anjing itu seperti milik bersama antara aku dan negara. Hal paling menyenangkan dari kenyataan ini adalah aku masih dapat memeliharanya secara pribadi. Aku dapat menikmati waktu berkeluarga bersamanya.
Entah kenapa aku selalu menaruh perhatian lebih terhadap anjing itu. Ada kilas ingatan yang begitu tipis yang mengharuskanku memperlakukan anjing itu secara manusiawi. Aku sangat ingin ia menjadi anjing yang bahagia karena anjing yang bahagia adalah teman yang baik bagi manusia. Kuperlakukan anjing itu dengan kemewahan paling puncak yang mungkin dinikmati oleh seekor anjing. Kuperhitungkan betul asupan makan dan kesehatannya. Tapi tetap tak kuasa kulawan dalil ilmiah yang mengharuskanku mengebirinya, semata agar anjing itu berkonsentrasi pada keahliannya dan melupakan nafsu kawin yang bisa membuatnya jadi tak terkendali. Aku bisa merasakan betapa sakitnya pengebirian ini baginya, tapi tak ada pilihan lain. Aku berusaha menebus pengebirian ini dengan perlakuan mewah lain yang menurutku dapat mengimpaskan penderitaannya.
Begitulah, aku dan keluargaku begitu mengasihinya seperti saudara. Kami telah bertahun-tahun hidup berdampingan. Tak akan pernah kulupakan jasanya terhadap karierku.
Akan tetapi, akhir-akhir ini kulihat anjing itu berlaku agak aneh, terutama pada anak gadisku. Caranya menunjukkan kasih sayang lewat jilatan terlihat berbeda dengan perlakuannya terhadap anggota keluarga lainnya. Jilatannya terlihat seperti lelaki yang sedang berahi. Anjing itu senang menjilati wajah, tengkuk, telinga, dan selangkangan anak gadisku yang hanya tertawa kegelian. Aku curiga anjing itu sedang berahi meski telah dikebiri.
Aku menjadi lebih waspada terhadap anjing kesayanganku itu.
***
Usiaku kini sudah sembilan tahun. Usia yang terbilang sangat matang untuk anjing jenis doberman. Bobotku kini 43 kilogram. Berat badan ideal untuk anjing doberman dewasa. Dan aku adalah anjing. Aku hidup dengan dituntun naluri. Aku tak bisa bohong. Ada yang berdesir hangat di kelaminku yang buntung ketika melihat anak gadis tuanku itu. Aku ingin menyenggamainya meski tak tahu dengan apa. Saat kujilati tubuhnya, aku juga tahu bahwa anak gadis tuanku itu merasakan berahi serupa. Aku dapat mencium bau tubuhnya yang lain. Peluh ingin setubuh.
Aku adalah anjing. Saat berahi memuncak, aku tak dapat berpikir jernih. Aku tak kenal belas kasih. Aku lupa terima kasih. Ketika berahi meradang dan aku di luar kandang, kuterjang tubuh anak gadis tuanku itu. Ia menjerit kegelian tapi lama-lama berubah jadi jerit ketakutan yang membuat seisi rumah menghambur ke arahku.
Tetap kugesekkan kemaluanku yang buntung pada tubuhnya tanpa memedulikan tatapan jijik tiap orang. Aku melihat kemarahan yang menggila, terutama di mata tuanku. Ia bergegas mengambil pistol dan mengacungkannya kepadaku.
Tapi aku adalah anjing doberman yang gesit dan terlatih. Responsku terhadap bahaya lebih cepat daripada manusia.
***
Hidup sebagai anjing memang sebuah kehinaan. Tapi yang lebih hina lagi adalah manusia yang mati karena dibunuh oleh anjing, apalagi oleh anjing piaraannya sendiri. Takdir menuntunku mengalami kehinaan ini. Segala reputasi harumku sebagai orang penting di Dinas Intelijen Negara seakan tak ada artinya.
Semoga kelak aku tak terlahir kembali sebagai anjing atau menjadi manusia dengan nasib hina seperti ini lagi. Tapi aku tak sempat berdoa, saat anjing doberman piaraanku itu menerjangku, menjatuhkan pistol yang kuacungkan padanya, lalu taring tajamnya mengoyak urat leherku.
***
“Kau telah membunuh tuanmu sendiri!”
Hal itulah yang terus dikatakan anjing-anjing dalam kerangkeng di sekelilingku terhadapku. Dari dalam kerangkengku, aku menyangkalnya dan kukatakan bahwa aku sangat menyayangi tuanku. Anjing-anjing itu tergelak bersama dan mengatakan bahwa banyak saksi mata yang menyaksikan pembunuhan itu. Masih kata mereka, aku tidak dieksekusi karena kemampuanku masih dapat digunakan negara. Itulah alasan kenapa kini aku berada di tempat ini setelah sadar dari pembiusan. Kini aku dikarantina bersama anjing-anjing pelacak lainnya dari berbagai jenis dan ras. Sekarang, negara adalah tuan besarku.
Aku terus menyangkal pembunuhan yang diejekkan anjing-anjing itu karena aku adalah anjing yang jujur. Aku tidak mengingat lengkap tiap kejadian. Aku hanya mengingat dengan aroma. Aku tahu setiap pembunuh dari bau tubuh yang mereka tinggalkan pada mayat. Dan, tak ada bau tubuhku di mayat tuanku. Jadi jelas bukan aku pembunuhnya. Kukatakan ini semua pada anjing-anjing itu.
Tapi seekor anjing jenis belgian malinois yang kelihatan sudah renta dengan umur sekitar sebelas tahun mengajukan pertanyaan yang membuat lidahku beku. “Pernahkah seumur hidupmu kau mampu mencium bau tubuhmu sendiri, selain pesing kencingmu?”
Sebuah pertanyaan yang telak menampar keyakinanku. Sepanjang hidup memang kuhabiskan sendirian tanpa berkawan dengan anjing lain, tanpa berkoloni. Aku tak pernah belajar bahwa seekor anjing pelacak mampu mencium segalanya dalam radius sangat jauh tapi tak pernah mampu mencium bau tubuhnya sendiri. Aku mulai meragukan kejujuranku.
Solo, 2011-2016
- Kasih Ibu Sepanjang Buku - 23 August 2024
- Jodoh dan Reinkarnasi - 19 January 2024
- Yang Gugur di Kios Cukur - 30 November 2018
Nur Arifin
wew keren cerpenya 😉
Ana N. Istiqomah
Aku suka sudut pandangnya. Konfliknya juga keren untuk ukuran cerpen. Ditunggu karya selanjutnya kakak.
Chatrina Darros
Wow, aroma sastranya sudah tidak diragukan lagi. Hebat. Teknis menulisnya membuat saya kepayang. Menerobos beberapa dimensi waktu yang membuat saya ingin segera menuntaskan naluri keanjingan dalam cerpen ini. Alurnya menggebu membuat rahang-rahang mengeras. Rasanya ingin kucabik-cabik, kugigit, kumamah, geram. Kritik sosialnya dapet banget, keras. Cerpen ini nikmat untuk meningkatkan gairah baca sastra. Juga mengingatkan saya pada cerpenis Putu Fajar Arcana dengan ceritanya tentang anjing dan reinkarnasi.
Hanya ada satu hal yang tidak berterima di logika saya adalah penyebutan “moksa”. Atau mungkin penulis memang memilih kata “moksa” dibanding “samsara” untuk menyebutkan tentang peristiwa terlahir kembali (reinkarnasi). Dalam semesta saya, moksa adalah tingkat tertinggi kehidupan manusia, yaitu kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi. Artinya tidak dilahirkan kembali. Jelas ini sudah menyimpang dari maksud yang penulis sodorkan ke pembaca. Bila yang dimaksud “moksa” adalah yaitu kelahiran kembali (reinkarnasi) tetap di otak saya tidak berterima. Saya harap penulis salah ketik (maaf). Selebihnya cerpen ini sangat memukau, berkilau. 🙂
Hotma D.L. Tobing
Hebat. Mencoba MEMBAYANGKAN menjadi anjing. Sangat dalam sekali. Selama ini hanya membayangkan diri sebagai manusia. Terima kasih.
merti lestari
bismillah, belajar
Sinta
Tolong ini keren banget. Puas membacanya.