Saya sangat percaya bahwa setiap perjalanan, ke mana pun, pasti akan menghadirkan kisah dan pengalaman seru. Sedikit atau banyaknya, itu kembali kepada diri kita masing-masing; seberapa sering kita berinteraksi dengan orang lokal atau bertukar cerita dengan pendatang lain yang sama-sama melakukan perjalanan ke tempat tersebut.
19 Mei 2015, hari kedua saya di Makkah menjadi salah satu hari yang paling berkesan, di antaranya karena yang menjadi imam shalat Maghrib saat itu adalah Sheikh Abdur Rahman as Sudais, seorang imam Masjidil Haram yang sudah lama saya kagumi. Jika diumpamakan, perasaan saya waktu itu ibarat seorang ELF garis keras yang nggak sengaja naik ojek dan kebetulan abang ojeknya adalah personel SuJu! Meski tak bisa melihat wajahnya, tapi saya sangat hafal dengan suara sang imam yang sangat indah. Sepanjang Maghrib—waktu itu saya kebagian tempat di luar, di pelataran antara masjid dan Abraj al Bait Towers—saya menangis tanpa henti saking bahagianya.
Selepas shalat Maghrib saya memutuskan untuk menunggu waktu Isya’ dengan berkeliling Masjidil Haram sendirian. Berbekal nama-nama bagian dalam masjid—hasil menyontek dari papan-papan yang tersebar di dinding waktu pertama kali masuk—yang ditulis di ponsel dengan menggunakan huruf Arab, saya bersama sekian ratus jamaah lain berjubel memasuki masjid melalui pintu utama King Fahd.
Setelah sekian menit memasrahkan diri diimpit sana-sini dan terdorong dari belakang (ini tanah suci, Sist, jaga emosinya) akhirnya saya tiba di dalam masjid. Sebelum berangkat, saya memang diwanti-wanti oleh keluarga di tanah air, “Jika terjebak di tengah-tengah jamaah yang berdesakan di pintu masuk atau keluar, kamu ‘pasrah’ saja; ikuti arus atau berdiri di belakang orang yang berbadan besar.” Oke, tips ini berguna sekali bagi saya yang mempunyai tinggi badan hampir di bawah rata-rata dan pergi umrah tanpa keluarga. Dalam kondisi crowded seperti itu, saya masih menyempatkan cengar-cengir ke beberapa jamaah perempuan yang tak sengaja bertabrakan mata (buat menghilangkan rasa panik dan tegang). Saya juga tak melewatkan pemandangan indah berupa pria-pria Turki dan Timur Tengah yang terselip di dalam kerumunan itu (ini tanah suci, Sist, jaga pandangan!).
Mengapa nama-nama bagian dalam masjid dan penunjuk arah saya tulis di ponsel? Karena tulisannya Arab gundul dan ilmu nahwu-sharraf saya menyedihkan! Salah-salah ngasih harakat, bisa ke mana-mana maknanya. Alhamdulillah, orang-orang yang pernah saya tanyai, semuanya bisa membaca. Horeeee!!!
Kenapa nggak pakai bahasa Inggris saja? Malas! Pengalaman selama di Madinah sebelum ke Makkah, beberapa orang yang saya tanyai ketika membutuhkan petunjuk justru membuat keadaan makin keruh. Ada yang tidak mengerti berbahasa Inggris sama sekali dan ada pula yang bisa tapi ketika berbicara terdengar seperti sedang kumur-kumur. Entah itu bahasa Inggris rasa Urdu atau Ibrani, saya tak mau membahasnya lagi. Yang pasti, gara-gara itulah saya yang berencana ketemuan dengan rombongan di depan toilet nomor 10 Masjid Nabawi malah bablas sampai ke dekat Raudlah! Karena saya berjalan dari pintu Utsman bin Affan, jadinya itu jauh banget. Sekitar tiga perempat panjang keliling Masjid Nabawi! Kabar baiknya, tak sedikit orang Arab yang-lumayan-bisa bahasa Indonesia, terutama para pedagang di sekitar masjid. Jadi, selamat berbelanja dan jangan lupa untuk menawar setega yang kamu bisa!
Oke, kembali ke acara berkeliling Masjidil Haram. Setelah tanya sana-sini dan naik-turun eskalator yang untuk pertama kalinya tanpa alas kaki (sempat ngeri, sih, takut kesetrum!) akhirnya saya sampai di dekat Ka’bah, tepatnya di bawah jembatan tawaf yang searah dengan Hijir Ismail. Dan, tak lama kemudian adzan Isya’ berkumandang, para jamaah semakin padat, saya pun segera menggelar sajadah di situ.
Di sebelah saya, seorang perempuan asal Tunisia menyapa dengan senyum yang sangat cantik, lalu berbicara dalam bahasa Arab yang asing di telinga sambil menyentuh sarung tangan khusus shalat yang saya kenakan. Saya mencoba menanggapi dengan bahasa Inggris, tapi rupanya dia tidak paham dan masih saja berbicara cepat dengan wajah bersahabat sambil terus memegang sarung tangan saya. Ya Allah, mbak ini maksudnya apa? Nanya sarung tangan atau gimana? Setelah beberapa menit bergugugagagugu menggunakan bahasa isyarat, saya pun iseng-iseng berhadiah mengucapkan satu kalimat dalam bahasa Prancis. Yasalaaammm, dia paham! Rupanya dia penasaran dan suka dengan bordiran sarung tangan saya, dia ingin tahu itu buatan mana. Dari tadi, kek, Mbak…. Kalau cuma percakapan biasa sih saya bisa dengan bahasa Prancis. Asal jangan ngajak ngobrol mengenai perdamaian dunia atau silsilah keluarga Raja Salman. Tetep ya topiknya. Namanya juga wanita, nggak jauh-jauh dari pakaian. Sehari sebelumnya, dua wanita paruh baya asal Aljazair juga terkagum-kagum dengan bordiran gamis teman saya, dan pertanyaannya pun tak jauh beda, “Ini beli mana?” *Indonesia, dong, Sist. Yuk, di-order! Ready stock, loh, di Pasar Beringharjo.
Setelah shalat Isya’, saya yang sedang berdiri melipat sajadah sambil memandang ke arah Ka’bah dihampiri oleh seseorang berpakaian serba hitam dan memakai niqab ala wanita Arab.
“Dari Indonesia?” tanyanya tiba-tiba dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih.
Saya tertegun, memandang ke dalam matanya (satu-satunya yang tampak dari dirinya) dengan perasaan campur aduk; terkejut, bingung, curiga, dan penasaran.
“Saya orang Indonesia,” ujarnya lagi. Mungkin dia membaca kebingungan saya yang tak kunjung menanggapinya.
“Ah, iya. Indonesianya mana?” Saya bertanya dengan wajah semringah. Perasaan nggak jelas yang sempat mengganggu, menguap begitu saja. Bertemu rekan senegara di negeri orang tak jarang membuat kita seolah bertemu kerabat lama dan mendadak akrab satu sama lain. Betul begitu?
“Bangkalan. Madura,” jawab perempuan itu sambil meletakkan tas yang sedari tadi menggantung di tangannya yang tertutup lengan bajunya.
“Wah, saya dari Madura juga. Sumenep. Tapi sekarang tinggal di Jogja.” Saya menyahut, lalu menjabat dan mencium tangannya. Dari suara dan kerutan di tangannya, saya tahu wanita itu sudah tidak muda lagi.
“Sendirian? Mau ke luar masjid juga, kan? Ayo, bareng.” Segera dia menjinjing lagi barang bawaannya yang kelihatan agak berat. Sambil melangkah menuju pintu keluar, wanita itu bercerita tentang pekerjaannya di Makkah dan anaknya di tanah air yang sebentar lagi akan menikah.
“Dia majikan saya. Dan itu temannya. Majikan saya orang baik,” katanya menunjuk dua perempuan Arab berbadan besar yang berjalan sekitar dua meter di depan kami.
“Kalau pulang dari Jogja ke Madura sekarang sudah ada Jembatan Suramadu, kan? Maklum, saya sudah lima belas tahun di sini dan nggak pernah pulang.”
Hati saya mencelos. Lima belas tahun nggak pernah pulang? God, itu bukan waktu yang sebentar. Bahkan dia juga tidak bisa hadir di acara pernikahan anaknya…. Saya tak sanggup membayangkan jika itu terjadi dengan ibu saya. Tidak… tidak.
Sesampainya di luar masjid, dengan mata berkaca-kaca, saya berucap kepadanya, “Ibu sehat-sehat ya di sini. Semoga selalu dijaga sama Allah dan dilancarkan rezekinya.” Kemudian saya memeluk perempuan itu. Memeluk tubuh kurusnya yang tertutup pakaian serba hitam. Sebuah pelukan yang pasti sangat ingin dia dapatkan dari anak dan anggota keluarganya yang lain. Lalu, kami pun berpisah di depan pintu masjid yang berseberangan dengan Hotel Hilton.
Dengan perasaan campur aduk, saya melangkah kembali ke hotel yang berada di samping bangunan Abraj al Bait Towers sembari mengingat kembali kejadian hari ini; ketika saya amat bahagia bisa berkunjung ke tanah suci, dapat kesempatan menjadi makmum seorang imam besar yang sekian lama saya kagumi, di tempat lain ada perempuan yang harus merantau, bekerja keras selama belasan tahun demi menghidupi keluarga yang terpisah ribuan kilometer darinya. Duh, Gusti….
- 12 Oktober 2016; Beberapa Jam Setelah Mantan Kekasihku Berusia 31 Tahun - 12 October 2016
- Mala dan Seseorang dari Selangor - 5 October 2016
- Cinta yang Lain - 1 May 2016