
Ketika politik bersekutu dengan agama untuk meraup kekuasaan yang mahakuasa, maka sempurnalah kekejian manusia ditampilkan. Mikhail Bakunin menyebutkan ada tiga kelompok manusia yang sepanjang sejarah selalu melimpah-ruah dalam ranah ini: pertama, kelompok manusia terinspirasi, kedua, kelompok manusia agak terinspirasi, dan ketiga, kelompok manusia tidak terinspirasi. Pola interaksinya begini: kelompok manusia terinspirasi harus didengarkan dan ditaati oleh kelompok manusia kurang terinspirasi dan kelompok manusia tidak terinspirasi harus mendengarkan dan menaati kelompok manusia kurang terinspirasi dan apalagi terinspirasi.
Bakunin dengan nyalang menandaskan bahwa praktik “perbudakan” sepanjang sejarah dikukuhkan oleh pola interaksi tersebut yang terlembagakan legitimasinya (sakral-profan) melalui gereja dan negara—ingat pandangan Yuval Noah Hariri bahwa otoritas negara jelas pula mengandung “kekuatan sakral” yang menjadikannya sahih.
Apa yang dimaksud “perbudakan” di atas jelas bukanlah semata praktik rodi yang sebenar-benarnya perbudakan. Ia meluas dengan segala wujud dan modusnya hingga hari ini, dan niscaya terus ke depan, melalui pelbagai praktik penggerusan, penguasaan, penjumudan, dan manipulasi kemanusiaan dan kebenaran. Menjadikan marwah kemanusiaan dan kebenaran sebagai parameter paling mendasar bagi anti-perbudakan layaknya kita telah memberikan garis tegas yang tak boleh dilanggar. Mudah dimafhumi lantaran khittah dua parameter ini berlaku universal, fundamental, dan abadi.
Di mana pun, dalam bentuk struktur dan lembaga apa pun, seluas-sekecil apa pun wilayahnya, bila parameter kemanusiaan dan kebenaran terbelenggu, teraniaya, terkooptasi, dapat dipastikan bahwa di situlah terjadi praktik perbudakan. Sebutlah umpama relasi suami-istri sebuah pernikahan atau relasi orang tua-anak di rumah.
Lantas, apa yang dimaksud “gereja” oleh Bakunin hanyalah simbolisme formal bagi semua agama. Kita membaca sejarah dan memahami bahwa lahirnya Kristen Protestan berkaitan erat dengan ketidakpuasan lalu pemberontakan pada hegemoni kooptatif lembaga gereja Katolik dulu. Kristen Protestan dengan cepat mendapatkan simpati dan empati dari kaum marginal, terkungkung, terlemahkan, dus berkembang sedemikian rupa menjadi agama tersendiri yang sangat besar.
Watak kooptasi lembaga agama, atau gereja dalam terma Bakunin, juga jelas berwedaran dalam galur-galur sejarah kelembagaan agama Islam. Anda niscaya tak bisa menutup mata pada lahirnya Dinasti Umayyah yang dinakhodai Muawiyah bin Abi Sufyan yang menjadikan agama sebagai alat tashihnya pada kekuasaan masyarakat muslim masa itu. Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota yang melanjutkan kekuasaan Muawiyah terus melakukan serangan-serangan ke berbagai wilayah, termasuk haromain Mekkah dan Madinah, untuk melanggengkan kekuasaan politiknya. Sebagian kita menyebutnya khilafah, sebagian lain menyebutnya despotisme.
Tak ada yang perlu disesalkan dari bentang panjang sejarah kongsi agama dan politik itu. Toh itu tampaknya telah menjadi sunnatullah. Di kita pun, kini, yang amat dekat, praktik-praktik demikian seturut banjir lagi bandang adanya.
Simaklah bagaimana sosok Hary Tanoesoedibjo, sang taipan, dibela sedemikian gigihnya oleh sekelompok muslim yang melabeli diri “Alumni 212” (sebuah brand) dengan mengatasnamakan keadilan dan kemanusiaan. Ya, kita ingat dengan jernih, setelah sebelumnya dengan sangat gahar brand itu bergerak tanpa lelah menjatuhkan Ahok atas nama penistaan ayat 51 surat al-Maidah yang sangat debatable dan pelecehan marwah Islam.
Tatkala Hary yang nonmuslim (saya harus menyebut label ini, tapi saya tidak bermaksud rasis sedikit pun) semakin terdesak oleh sangkaan-sangkaan hukum yang mendera, tatkala tabuhan genderang pembelaan Alumni 212 yang menjadikan Islam sebagai basis kekuasaan bargaining-nya itu tak membuahkan hasil yang diinginkan Hary, ditinggalkanlah mereka dan merapatlah ia ke poros kekuasaan. Sudah pasti, semua rangkaian taktis itu tidaklah gratis. Tak ada makan siang gratis, Bung!, begitulah jargon yang kita tahu benar. Dengan ungkapan lain, tidak ada kekuatan politik, termasuk beremblem Islam, yang gratis.
Mau apa?
Toh segala sepak terjang demikian memang tidaklah melanggar hukum formal apa pun. Yang kita pekikkan kini sebagai pelanggaran hanyalah berskala etika, moral, paling banter “marwah ruhani-kebenaran”.
Kita teramat sangat mendambakan kebenaran selalu bermartabat, adiluhung, sakral. Tak terkoyak oleh tendensi apa pun. Apa pun!
Kebenaran kemanusiaan, kita sangat mendambakannya selalu dimuliakan dengan spirit kudus egalitarianisme, dialogisme, dan segala item yang menjunjung humanisme-spiritualisme. Ketika tudingan pidana pencurian kepada seorang nenek desa yang mengambil kayu di hutan Perhutani menyeruak, hati kita terkoyak oleh spirit suci keadilan itu. Koruptor yang mengganyang miliaran rupiah enak saja hidupnya, penipu travel umrah yang melumat uang yang diniatkan ibadah oleh 35.000 orang masih dandy saja gayanya, masak iya seorang nenek papa yang tak memperkaya diri dari kayu Perhutani itu dipidana? Kita tak rela, kita lalu menjabarkan tudingan pidana pencurian itu sebagai “hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, “hukum yang tak bernurani”, atau “hukum thaghut”. Apa pun itu, pada hakikatnya rasa kebenaran kemanusiaan kita semua terlukai dan kita melawan.
Jika Anda mengikuti sinyalir sejarah kelahiran Front Pembela Islam (FPI) yang dinyatakan merupakan besutan Wiranto, yang tentunya memiliki kepentingan politis kekuasaan yang lebih utama ketimbang marwah libtighai mardhatillah itu sendiri, kita menjadi mengerti mengapa belakangan ini FPI setelah ditimpa berbagai gelombang sosial dan hukum bagai anak ayam kehilangan induknya. Sikap resmi Wiranto sebagai bagian vital dari kekuasaan negara yang berkali-kali “mendiskreditkan” kelompok tersebut, plus pelarangan ormas HTI dengan tudingan menentang Pancasila, menjadikan ruang napas kelompok-kelompok muslim tersebut semakin sesak.
Melanggengkan impian muluk kita agar agama adalah sebenar-benarnya marwah kebenaran keilahian yang kudus di hadapan realitas hidup yang makin pelik ini sungguhlah hanya akan makin kerap membuat kita sakit hati belaka. Semakin kita menutup mata pada realitas despotik, lalu memilih percaya pada keluhungan kebenaran dan agama sebagai spiritnya, niscaya akan semakin koyak lagi moyaklah batin kita. Kita telah sangat bertubi-tubi mengalaminya sejak dahulu kala, bukan, dan niscaya akan terus menyaksikannya. Sekali lagi, mau apa kita?
Bakunin benar, saya menyetujuinya, bahwa kongsi politik dan agama yang hanya berorientasi pada kekuasaan akan memperparah nasib nahas kebenaran, karena sifat agama(wan) yang senantiasa memberhalakan “kaum terinspirasi” yang tidak enlightening. Apa saja yang difatwakan kaum pertama ini akan digembalakan oleh kaum kedua, dan diyakini sebagai kebenaran itu sendiri oleh kaum ketiga. Label “ulama” yang dilembagakan justifikasinya melalui slogan “ulama adalah pewaris para nabi” kian mendudukkan kaum terinspirasi itu pada kursi emasnya. Bolehlah diekstremkan “kursi Tuhan”—toh memang demikian kan kekudusannya.
Tanpa ampun sempurnalah kaum terinspirasi tersebut mendulang kekuatan-kekuatan yang menjadikannya memiliki daya tawar politis besar. Makin besar jelas makin strategis, makin taktis, makin assetable.
Meski terkesan terlampau kasar, klaim Bakunin kepada praktik kongsi agama dan politik tersebut yang dinyatakannya “despotan paling buruk” memang benar adanya. Saat Bakunin menjadikan kongsi demikian sebagai biang kerok paling berbahaya bagi marwah kemanusiaan dan kebenaran, kita sulit untuk tidak menganggukkan kepala.
Pada derajat faktual ini, sikap anti-Tuhan (agama) yang dikobarkan Bakunin bisa saya mengerti: “Kita telah menyaksikan kejatuhan, yakni tatkala Tuhan muncul, manusia direduksi menjadi bukan apa-apa; dan semakin besar segala yang berkaitan dengan ketuhanan, semakin sengsara umat manusia. Dalam sejarah, nama Tuhan adalah alat pemukul yang mengerikan di mana semua orang yang beroleh ilahiah, “jenius berbudi luhur” yang agung, terkena hantaman hingga tersungkur di bawah kebebasan, martabat, akal budi, dan kesejahteraan manusia.”
Namun, saya tak bisa pula sepenuhnya menafikan keberadaan sekelompok “kaum terinspirasi” yang memilih menjauhi lingkaran setan kongsi kekuasaan itu, setia merawat kekudusan agama(wan) sebagai spiritualitas yang meruah dalam pendar-pendar kemanusiaan. Kelompok asketis ini benar-benar ada, tanpa saya perlu menyebutkan nama-namanya agar tak terkesan tendensius, berposisi sebagai cendekiawan agama yang masih berhasil menampilkan wajah agama yang sejuk, ramah, sederhana, dan tulus.
Semua “kesialan Tuhan” di muka bumi ini jelas dipicu oleh praktik-praktik despotan yang mengatasnamakanNya. Ia sungguh adalah sebenar-benarnya kelaliman, kepada ketuhanan dan kemanusiaan. Kita tahu itu. Dan, tepat di antaranya, kita pun tahu bahwa keberadaan kaum terinspirasi yang tulus tadi merupakan rujukan terakhir kita dalam mendengarkan dan menaati nasihat-nasihatnya tentang kehidupan, kemanusiaan, dan keagamaan.
Masalah terbesarnya buat sebagian besar kita ialah mampukah kita bersikap fair-objektif kepada para pemuka agama yang satu (despotan) di hadapan yang lain (tulus) itu? Ini yang pelik. Kebanyakan kita langsung lunglai di hadapan pekik Allahu Akbar—padahal lafal itu kini bisa bermuka dua: tashih despotan atau ketulusan.
Blandongan, Jogja, 8 Agustus 2017
- Memahami Peta Syariat, Ushul Fiqh, dan Fiqh Dengan Sederhana - 28 October 2019
- Kembalikan Segala Perbedaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya Saw. - 30 September 2019
- Memahami Kompleksitas Maqashid al-Syariah - 16 September 2019