Satu hal yang sangat menakjubkan di dalam Islam itu adalah kelengkapan doa-doanya. Tentu saja, ada banyak keajaiban yang lain, seperti sanad dalam hadits dan sanad dalam ilmu untuk menjamin sebuah otoritas kebenaran, dst. Namun, soal kelengkapan doa-doa ini adalah hal lain, terutama karena kemencakupannya ke hampir semua sisi hidup manusia, mulai dari doa masuk jamban, memakai dan melepas pakaian, hingga urusan naik-menaiki, baik menaiki kendaraan maupun menaiki orang.
Saking banyak dan lengkapnya doa-doa itu, terkadang kita malah tidak sempat lagi membacanya, sebagian atau seluruhnya, karena keburu ingin “menyelesaikan urusan” atau alasan lainnya. Contoh, menghadapi jalan menanjak ada anjuran doanya, yaitu bertakbir. Sebaliknya, ketika menghadapi jalan menurun, kita dianjurkan bertasbih. Tapi, karena terlalu ingin sampai ke atas atau ke bawah, kita melupakan dua-duanya.
Mengapa orang butuh doa? Di samping karena memang diperintahkan begitu, manusia itu kan memang selalu butuh kepada apa-apa, selalu ingin mendapatkan anu-anu. Ora et labora, sih, iya, tapi masa sebagai mukmin kita tak mau berdoa? Boleh jadi, orang yang tidak mau berdoa itu karena sedang merasa mampu dalam segalanya, baik tubuh maupun duitnya. Ada juga, sih, kisah “orang suci” yang justru malu berdoa karena merasa dirinya tidak tekun beribadah tapi malah minta-mintanya kok macam-macam (sudahlah, yang begitu itu tidak perlu kita urus, biar jadi urusan dia saja).
Sebetulnya, berdoa adalah “meminta” atau “menyuruh”. Istilahnya saja yang berbeda, disesuaikan dengan keadaan. Kata doa ini berasal dari bahasa Arab yang kalau dirinci masih dapat dibagi lagi: Jika permintaan tersebut untuk yang “derajat”-nya berada di bawah kita, permintaan itu disebut “amar” atau perintah, seperti permintaan juragan untuk anak buahnya. Jika permintaan untuk sepantaran, ia disebut “iltimas”, yaitu mengajak atau memohon kepada seseorang yang selevel. Apabila yang dimintai pertolongan atau permintaan itu berada di atas kita, ia disebut “doa”. Jadi, sejatinya, menyuruh (amar) atau harapan (doa) itu sama-sama meminta hanya beda kelasnya. Ia adalah “perintah” dalam bentuk yang lain.
Yang membedakan dengan dua, di dalam doa terkandung unsur “emis”. Apa itu? Yang mengajukan harus memosisikan diri serendah-rendahnya untuk mendapatkan iba dari yang dimintainya karena derajatnya berada di atas si peminta. Mudahnya, lihatlah pengemis! Tidak masuk akal, kan, jikalau ada seorang pengemis yang demi memperoleh keinginannya ia akan marah-marah kepada tuan dermawan sambil membentak-bentak. Mana ada pengemis begitu? Mengemis itu harus mengiba, sama persis dengan orang berdoa. Maka demikian pula, tidak elok jika kita berdoa tapi sambil ketawa-ketiwi dan ha-ha-hi-hi.
Terkadang pula, seseorang mengalami perubahan orientasi dalam hidup sehingga membuatnya malas berdoa. Dulu, saat kami mau melewati tanjakan Druksin—jika Anda tidak tahu, anggaplah tanjakan ini semacam Yungas di Bolivia atau Watu Gudang di Alas Gumitir—saya masih ingat ketika ibu dan nenek serta penumpang lain yang semobil pada komat-kamit membaca doa, entah apa bacaannya. Namun, kini, kayaknya sudah jarang lagi saya dengar ada orang yang membacanya pada saat saya bersama para penumpang lainnya. Apakah kini mereka hanya cukup berdoa di dalam hati atau tidak berdoa sama sekali karena menganggap tenaga mobil-mobil zaman sekarang sudah berlimpah sehingga “cerita mobil tak kuat menanjak di Druksin” telah menjadi mitos belaka? Kalau Anda mau, hal ini dapat Anda teliti secara ilmiah dengan tajuk “Dampak Teknologi Canggih Terhadap Kebiasaan Berdoa di Dalam Masyarakat”.
Anda pernah dengar nama Bambang Hertadi Mas? Orang kadang menyebutnya Paimo. Dia pernah menaklukkan rute bersepeda di trek pegunungan terpanjang di dunia: Andes, dari La Paz ke Punta Arenas. Kalau Ernest Hemingway hanya menemukan salju di puncak Kilimanjaro, maka Paimo ini malah menemukan sepeda ontelnya tiba di sana, di puncaknya. Ia membopongnya dari bawah demi kesetiaan dan tentu saja tekad kegilaan. Soal bersepeda, jangan tantang dia! Anda pasti gemetar bahkan sebelum duduk di atas sadel. Tapi Paimo tidak pernah tahu ada seorang kakek di Guluk-Guluk yang dapat mengayuh sepeda ontel tanpa turun menjejak tanah meskipun yang ia hadapi adalah tanjakan terganas, anggaplah trek sekelas Sitinjau Lauik. Dan masyarakat di sekitar kami tahu, kakek tersebut punya doa khusus untuk melakukan hal ini secara heroik, sebab secara fisik aksinya itu tidak masuk akal.
Kakek yang dikisahkan ini bernama Kiai Husain. Di masa itu, di masa penjajahan hingga pasca-kemerdekaan, beliau selalu ngontel ke mana-mana. Riwayat tentang kesaktiannya dalam bersepeda sudah mutawatir: disampaikan oleh banyak orang yang mereka semua tidak mungkin bersepakat untuk mengada-ada. Saya tidak tahu, doa apa yang dibacanya. Boleh jadi “hanya” bertakbir seperti anjuran di atas (meskipun saya tidak yakin saya bisa melakukannya kalau hanya modal membaca begitu saja, tanpa riyadhah yang sama) atau beliau memang punya bacaan khusus lainnya.
Meskipun saya tidak hidup sezaman dengan beliau, saya tidak repot untuk percaya. Pasalnya, saya juga pernah menjadi saksi peristiwa serupa di masa kanak saya. Tersebutlah Baidawi. Setiap ada lomba lari maraton, dia selalu juara, padahal secara postur, masih banyak peserta saingannya yang lebih kekar; secara otot, masih banyak pula yang melebihi dia. Tapi, manakala para peserta melewati tanjakan Gurmateh, nyaris semua peserta rontok, terengah-engah, malah ngaso di tepi sawah. Sementara itu, Baidawi melibas tanjakan laksana truk Volvo bertransmisi 9 percepatan yang tanpa muatan apa-apa: ngeloyor begitu saja. “Dia curang, dia pakai doa khusus,” kata orang-orang. Makanya, pada lomba-lomba maraton di tahun-tahun berikutnya, Baidawi dilarang ikut serta karena kehadirannya membikin pertandingan jadi tidak menarik.
Saya percaya, doa khusus bisa jadi “beyond power” yang dapat menopang atau bahkan melipatkan kekuatan fisik, seperti kisah doa-nya Kiai Abdul Mu’thi. Doa itu adalah semacam “doa anti-capek” atau bisa juga disebut “doa khusus balapan”. Saya menceritakan ini kepada beberapa orang dan mereka mengamininya.
Kala itu, si penutur berkata kepada saya.
“K. Mu’thi ini kalau berjalan kaki enggak bisa disalip (maklum, ketika itu masih banyak orang berjalan kaki karena memang tidak punya sepeda ontel, apalagi sepeda motor, bukan karena orientasi kebugaran). Meskipun kita sudah melangkah panjang-panjang, tetap saja kita tidak bisa menyalipnya.”
“Sampean nututi masa beliau?”
“Iya, waktu itu saya masih kecil.”
Meskipun akhirnya saya tahu amalan doa itu, cuma saya, ya, tahu diri dengan tidak sembarang membacanya, atau sembarang memberikannya kepada orang lain. Bagaimana kalau ternyata mobil rongsok yang saya bawa coil-nya lemah dan karburatornya bretbet sehingga mobil hanya mampu berjalan 40 km/jam, kan kasihan sama AKAS dan DAMRI yang mau menyalip tapi tertahan di belakang? Andai saja Valentino Rossi mau datang kemari, lalu dia dapatkan amalan itu, niscaya dia tidak perlu terlalu habis-habisan menggeber gas di lintasan motoGP. Rival-rivalnya bakal tertahan di belakang, tak bisa menyalip. Dai akan balapan santai di sirkuit. Balapan dengan kecepatan 40-60 km/jam di lintasan balap itu sesuatu banget, ya?
Masih banyak doa lain di luar tema perjalanan, doa yang aneh-aneh bahkan. Ada doa agar tidak digigit nyamuk; ada doa agar dedek bayi tidak rewel tengah malam. Dan, maaf kata, ya! Ada juga doa yang dapat mengatur durasi hubungan suami istri, sehingga bukan sekadar main lama seperti idealisasi extremis-syahwatis, malahan bahkan bisa kayak stopwatch gitu. Mana ada jamu herbal atau obat kuat yang bisa melakukannya begitu? Dan bacaan-bacaan itu, sebagiannya, dikutip dari teks suci, bukan sekadar bacaan dari bahasa Suryani atau Ibrani.
Setelah itu, kita baru berpikir, alangkah hebat para “pengarang” doa itu! Pasti mereka bukan orang sembarangan karena ia pasti juga menjalani tapa, laku, atau riyadhah. Lagi pula, mereka pastilah bukan mania atau Megaloman karena rata-rata mereka itu anonim, nomen nescio: tidak mencantumkan nama di ujung doa, tanpa biodata atau biografi tercantum di dalam karangan. Barangkali, inilah yang menyebabkan sebuah doa menjadi mujarab dan manjur. Pengarang doa tidak ingin terkenal, tidak seperti….
Namun, jangan lupa, setiap doa yang dipanjatkan, selain dilakukan dengan bersungguh-sungguh, haruslah lengkap, detail. Bukan berarti Allah itu tidak mengerti maksud dan kemauan kita andai pun redaksi doanya hanya “Ya Allah, Engkau pasti tahu segala yang kumau.” Akan tetapi, adalah sepatutnya kita yang tahu diri: menyampaikan selengkap mungkin itu dan ini (aturannya, kan, memang begitu? Kecuali doa sapu jagat sebagai doa pamungkas di antara redaksi permintaan-permintaan sebelumnya).
Ada seorang pemuda yang tidak segera dikaruniai momongan. Ia lantas berdoa agar “segera dikaruniai keturunan”. Giliran sudah diberi anak lalu tumbuh besar lalu jadi anak nakal, baru ia sadar, ada yang kurang dalam redaksi doanya: “segera dikaruniai keturunan yang shalih dan shalihah”. Atau kasusnya sebaliknya; kehilangan. Ketika yang hilang adalah iPhone5, teman-teman yang bersimpati biasanya bilang “semoga kamu diganti yang lebih besar”. Akibatnya, saat mau beli lagi, selalu enggak mampu-mampu dan akhirnya yang tertebus adalah ponsel cap Prince PC-10 yang mirip HT sebesar Gaban itu, bukannya iPhone 7.
Nah, seperti kata orang, kalau ternyata kamu berdoa terus tapi tidak terkabul juga hajatmu, mungkin yang kamu pinta memang belum pas dengan kebutuhanmu. Ibarat kamu minta padi selumbung padahal kamu hanya butuh beras segantang. Ya, lihat-lihat keadaan dan tahu dirilah. Tuhan pasti selalu menjawab doa-doa kita, meskipun jawabannya tidak mesti “iya”, ada kalanya “tidak” dan ada kalanya “belum waktunya!”
- Puisi M. Faizi - 14 May 2024
- Menerjemahkan Kemustahilan - 22 October 2020
- Akal Sehat: Antara Akal yang Logis dan Hati yang Sakit - 14 October 2019